Sayyidah Shafiyyah binti Huyay, Putri Pemimpin Yahudi Jadi Istri Nabi Muhammad


Sayyidah Shafiyyah adalah anak Huyay bin Akhthab dari Bani an-Nadlir, seorang pemimpin Yahudi di distrik Khaibar. Sementara ibunya adalah Barah binti Syamuel. Jika dirunut ke atas, maka garis nasabnya sampai kepada Nabi Harun bin Imran, saudara Nabi Musa. Shafiyyah pernah menikah dengan tokoh Yahudi dari Bani Quraizhah, Salam bin Misykam. Namun perkawinannya ini tidak berlangsung lama.

Setelah itu, Shafiyyah menikah dengan Kinanah bin bin Abi Rabi bin Abi al-Huqaiq. Kinanah adalah penghuni benteng terkuat di Khaibar, benteng al-Qamus. Dia terbunuh dalam Perang Khaibar melawan pasukan umat Islam. Tidak hanya suami, Shafiyyah juga kehilangan ayah, keluarga, dan saudaranya dalam peperangan yang diikuti langsung Nabi Muhammad itu.

Sementara Yahudi Khaibar yang masih hidup menjadi tawanan pasukan umat Islam, termasuk di antara Shafiyyah binti Huyay. Setelah peperangan selesai, Bilal bin Rabah membawa Shafiyyah dan anak pamannya melewati medan tempur yang penuh mayat dan darah ke hadapan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad menegur Bilal karena telah menggiring dua tawanan perempuan itu melewati medan tempur yang masih bersimbah darah.

"Bilal, apa sudah tercerabut rasa kasih sayang dari dadamu hingga tega kau bawa mereka berdua menyeberangi lautan mayat manusia?" kata Nabi Muhammad, dalam Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018).

Nabi Muhammad lalu memerintahkan Bilal untuk mengembalikan anak paman Shafiyyah. Sementara Shafiyyah yang terkesan mengharap sesuatu dari Nabiah diminta untuk tetap berada di sisi Nabi Muhammad. Nabi kemudian menutupi Shafiyyah dengan bajunya, sebagai tanda bahwa beliau telah memilihnya.

Nabi Muhammad memberi beberapa tawaran sebelum mempersunting Sayyidah Shafiyyah; Apakah Sayyidah Shafiyyah bersedia memeluk masuk Islam dan dinikahi Nabi, atau dia tetap ingin menjadi tawanan dengan agamanya Yahudi, atau dia ingin kembali kepada keluarganya di Khaibar sebagai seorang merdeka. Sayyidah Shafiyah memilih tawaran yang pertama. Memeluk Islam dan menikah dengan Nabi Muhammad.

Bisa jadi Sayyidah Shafiyyah memilih memeluk Islam dan menjadi Nabi Muhammad disebbakan karena sebelumnya dia pernah mendengar pembicaraan orang tua dan pamannya yang ternyata mengetahui bahwa Muhammad adalah Nabi yang dijanjikan. Namun demikian, mereka tidak mau mengimaninya.

Dalam riwayat lain, seperti diterangkan M Quraish Shihab dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW (2018), semula Shafiyyah telah dimiliki Dahyah al-Kalbi. Pada saat itu seusai perang, Dahyah datang kepada Nabi Muhammad dan meminta seorang tawanan perang perempuan. Dia memilih Shafiyyah. Nabi menyetujui dan mempersilahkannya untuk membawa Shafiyyah. Namun hal ini menimbulkan ketidakterimaan dan kecemburuan di kalangan sahabat lainnya, mengingat Shafiyyah yang merupakan anak pemimpin Yahudi dan berparas cantik dimiliki Dahyah. Menurut mereka, yang wajar dan pantas memiliki Shafiyyah adalah Nabi Muhammad. Nabi kemudian meminta kembali Shafiyyah dari Dahyah.

Sementara itu, Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (2015), sebagaimana biasanya orang-orang besar yang menang perang dan kemudian mengawini putri-putri orang besar, Nabi Muhammad memperistri Sayyidah Shafiyyah untuk mengurangi tekanan batin karena bencana yang dialaminya dan untuk memelihara kedudukannya yang terhormat.

Pesta pernikahan Nabi Muhammad dan Sayyidah Shafiyyah dilangsungkan di sebuah kemah di Shahba’ satu lokasi yang tidak jauh dari Madinah, di tengah perjalanan pulang dari Khaibar. Ummu Salim binti Mulhan didapuk untuk mengurusi segala hal yang berkaitan dengan pengantin perempuan. Sementara Abu Ayyub Khalid al-Anshari berjaga-jaga semalaman di sekitar kemah perkawinan. Dia khawatir Sayyidah Shafiyyah akan membalas dendam dan berbuat macam-macam terhadap Nabi Muhammad, mengingat banyak keluarganya yang tewas dalam Perang Khaibar. Namun kekhawatiran Abu Ayyub tersebut tidak terbukti.

Selama perjalanan menuju Madinah tersebut, Nabi Muhammad membonceng Sayyidah Shafiyyah di belakang untanya. Pada kesempatan itu, Nabi Muhammad mencoba menjelaskan duduk persoalan yang terjadi sehingga meletuslah Perang Khaibar. Kata Nabi Muhammad, pasukan umat Islam melakukan hal ini dan itu karena Huyay ayah Sayyidah Shafiyyah telah memprovokasi bangsa Arab agar mengeroyok dan memerangi Nabi.

"Wahai Rasulullah, dulu engkau adalah orang yang paling ku benci, tetapi sekarang ku tahu kau jauh lebih mulia dibandingkan ayah dan suamiku," kata Sayyidah Shafiyyah, beberapa saat setelah hatinya tenang.

Ketika menikahi Sayyidah Shafiyyah tersebut Nabi Muhammad melihat ada bekas memar hijau di wajah istrinya tersebut. Nabi penasaran dengan guratan itu dan meminta Sayyidah Shafiyyah untuk menceritakan apa dan mengapa itu bisa terjadi. Sayyidah Shafiyyah menceritakan asal-usul bekar memar itu. Dikisahkan bahwa suatu malam Sayyidah Shafiyyah bermimpi melihat bulan jatuh di pangkuannya. Hal itu membuat seluruh isi rumahnya menjadi terang benderang. Karena penasaran dengan makna mimpi itu, dia kemudian menyampaikan mimpinya itu kepadanya suaminya, Kinanah.

"Itu tidak lain karena engkau menginginkan penguasa Hijaz itu, Muhammad!" kata Kinanah yang kemudian memukul wajah Sayyidah Shafiyyah.

Rombongan Nabi Muhammad akhirnya tiba di Madinah setelah beberapa hari dalam perjalanan. Beliau kemudian menempatkan Sayyidah Shafiyah di sebuah rumah sewa miliki Usamah. Riwayat lain menyebutkan, dia ditempatkan di rumah sahabat Nabi, Haritsah bin Nu’man karena tidak ada lagi kamar yang tersisa di rumah beliau.

Pembelaan Nabi Muhammad

Sayyidah Shafiyyah sedih manakala ada orang yang menyebut asal-usulnya Yahudi dengan nada melecehkan atau nyinyir. Dia mengalami beberapa kejadian itu, namun kemudian Nabi Muhammad memberikan pembelaan kepadanya. Misalnya, Nabi Muhammad menegur Sayyidah Aisyah yang menyebut Sayyidah Shafiyyah dengan perempuan Yahudi, dengan nada yang kurang enak.

Pada kesempatan lain, Sayyidah Aisyah dan Sayyidah Hafshah memanggil Sayyidah Shafiyyah dengan sebutan 'anak perempuan Yahudi'. Keduanya juga mengaku lebih mulia di sisi Nabi Muhammad, dibandingkan Shafiyyah, karena mereka istri dan sekaligus putri paman Nabi. Kata-kata itu membuat Sayyidah Shafiyyah tersinggung dan tersakiti. Dia kemudian mengadu kepada Nabi Muhammad.

"Katakanlah kepada mereka: ‘Bagaimana engkau semua lebih baik daripada aku (Sayyidah Shafiyyah)? Suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa," kata Nabi Muhammad, menghubir Sayyidah Shafiyyah.

Suatu ketika, Sayyidah Shafiyyah diadukan budak perempuannya kepada Umar bin Khattab. Kata budak perempuan itu, Sayyidah Shafiyyah masih mencintai hari Sabtu dan masih terus berhubungan dengan orang-orang Yahudi. Umar bin Khattab langsung mengundang Sayyidah Shafiyyah untuk melakukan klarifikasi.

"Hari Sabtu tak kucintai lagi sejak Allah menggantikannya untuk ku hari Jumat. Sedangkan mengenai orang Yahudi, di situ terdapat keluarga dan aku bersilaturahim dengan mereka," jawab Sayyidah Shafiyyah. Umar bin Khattab menerima dengan baik jawaban Sayyidah Shafiyyah tersebut, karena Islam pun mengajarkan untuk menjalin silaturahim kepada siapapun yang tidak memusuhi.

Meski beberapa kali dicurigai akan berkhianat karena statusnya sebagai seorang Yahudi, namun nyatanya Sayyidah Shafiyyah sangat setia kepada Nabi Muhammad dan Islam. Bahkan ketika Nabi Muhammad sakit menjelang wafat, Sayyidah Shafiyyah menyatakan kalau seandainya bisa maka dirinya siap memikul sakit yang dialami Nabi Muhammad tersebut.

Sayyidah Shafiyyah wafat pada tahun ke-50 H, atau pada masa pemerintahan Muawiyah. Dia dimakamkan di Baqi’, Madinah. Selama hidupnya, Sayyidah Shafiyyah menyampaikan 10 hadits Nabi, satu di antaranya diriwayatkan Bukhari dan Muslim.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel