Ketika Murid-murid Nabi Isa Hendak Berjalan di Atas Air
Minggu, 28 Juni 2020
Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mencatat riwayat murid-murid Nabi Isa yang hendak meniru gurunya berjalan di atas air. Berikut riwayatnya:
حدثنا عبد الله حدثنا أبي حدثنا بهز حدثنا أبو هلال حدثنا بكر بن عبد الله قال: فقَدَ الحواريون نبيهم عليه السلام فخرجوا يطلبونه قال فوجدوه يمشي علي الماء فقال بعضهم: يا نبي الله أنمشي إليك, قال: نعم, قال فوضع رجله ثم ذهب يضع الأخري فانغمس, فقال: هات يدك يا قصير الإيمان لو أن لابن آدم مثقال حبة أو ذرة من اليقين إذا لمشي علي الماء
Abdullah bercerita, ayahku bercerita, Bahj bercerita, Abu Hilal bercerita, Bakr bin Abdullah bercerita kepada kita, ia berkata:
(Suatu ketika) para hawari (teman atau murid Nabi Isa) tidak menemukan nabinya. Mereka keluar untuk mencarinya. Mereka menemukannya tengah berjalan di atas air. Sebagian dari mereka berkata:
“Ya Nabi Allah, apakah kami (harus) berjalan (di atas air) ke arahmu?”
Nabi Isa menjawab: “Iya.”
Kemudian sebagian hawari itu meletakkan (satu) kakinya (di air) lalu meletakkan kaki lainnya, maka tenggelam lah kaki (mereka).
Nabi Isa berkata (lantang): “Kemarikan tanganmu, wahai orang yang pendek iman! Andai saja anak Adam memiliki keyakinan sebesar biji atau atom, dia pasti (bisa) berjalan di atas air.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 74)
****
Keyakinan memang sukar diukur dari luar. Tidak ada alat yang memungkinkan kita dapat mengukur keyakinan orang lain dengan tepat. Kita hanya bisa memprediksi atau menilainya, tapi tidak mungkin bisa memastikannya. Orang yang paling mengetahui keyakinan adalah orang itu sendiri. Bukan ayah, ibu dan teman-temannya, tapi orang itu sendiri.
Dalam kisah di atas, Nabi Isa ‘alahissalam mengkritik murid-muridnya karena kaki mereka masih tenggelam di dalam air ketika hendak mendatanginya. Ia menyebut mereka, “yâ qashîrul îmân” (wahai orang yang pendek imannya). Penyebutan Nabi Isa ini bukan tanpa alasan. Ada pelajaran besar dari penyebutan tersebut.
Jika diuraikan kira-kira seperti ini. Nabi Isa meyakini betul bahwa kebaikan Allah tidak bisa diukur dengan bahasa pujian tertinggi sekalipun. Misal diucapkan “Yang Maha-Maha-Maha-Maha-Maha” hingga berjuta-juta triliun masih jauh dari kata mendekati. Kebaikan-Nya tidak bisa diistilahkan; kasih sayang-Nya tidak bisa dibahasakan. Allah melebihi segala ukuran yang ada di pikiran dan bahasa manusia.
Dengan kebaikan dan kasih sayang yang teramat besar tersebut, Allah akan mengabulkan setiap keinginan hamba-Nya selama mereka yakin dan pasrah sepenuhnya. Kita tidak sedang bicara “yakin” yang tampak dari luar, atau “yakin” yang sekedar basa-basi karena kita mengaku orang beriman, tapi “yakin” yang murni, yang di dalamnya tidak ada keraguan sedikit pun.
Contoh paling sederhana adalah kisah di atas. Ketika murid atau sahabat Nabi Isa mencoba berjalan di atas air, kaki mereka tenggelam. Mereka tidak bisa menapaki air seperti menapaki bumi. Melihat itu, Nabi Isa tahu di hati mereka masih ada keraguan. Mereka tidak yakin bahwa mereka bisa berjalan di atas air. Padahal dengan izin Allah, tidak ada yang tidak mungkin.
Yang perlu mereka lakukan hanyalah meminta dengan penuh keyakinan. Tak masalah jika keyakinannya hanya sebesar biji atau atom yang sangat kecil. Selama keyakinan itu murni ketika mereka memintanya, dengan izin Allah tidak ada yang mustahil. Rasulullah pernah bersabda (HR. Imam al-Tirmidzi):
لَا يَرُدُّ الْقَضَاءُ إِلَّا الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ إِلَّا الْبِرُّ
“Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa, dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali perbuatan baik.” (Imam Ibnu Mulaqqin al-Anshari al-Syafi’i, al-Badr al-Munîr fî Takhrîj al-Ahâdîts wa al-Âtsâr al-Wâqi’ah fî al-Syarh al-Kabîr, Riyadh: Dar al-Hijrah, 2004, juz 9, h. 174)
Ini menunjukkan bahwa dengan doa (permintaan/permohonan) seseorang dapat merubah takdirnya. Allah memberikan peluang besar pada manusia untuk meminta segala sesuatu. Selama di hatinya bersemayam keyakinan murni, doanya akan dikabulkan.
Jika kita bicara jujur, kita pasti mengenali ketidak-yakinan kita ketika berdoa. Misalnya ketika kita minta diberikan mobil saat ini juga, atau meminta kemampuan terbang, meskipun lidah dan hati kita mengucapkannya, lubuk hati kita yang terdalam tidak yakin doa itu akan terkabul. Tanpa sadar hati kita berujar, “Apa iya, ya? Tidak mungkin ah,” dan ujaran lainnya. Artinya kita sedang meminta sesuatu yang kita sendiri tak yakin dengan permintaan itu, sedangkan Allah Mahatahu apa yang di langit dan apa yang di bumi; apa yang di lidah dan apa yang di hati. Gerak-gerik terkecil di hati kita pun, Allah mengetahuinya.
Oleh karena itu, selama hati kita diselimuti keraguan, kita tak akan pernah mampu mencapai apa yang kita minta sendiri. Sebab itu Nabi Isa mengatakan: “Andai saja anak Adam memiliki keyakinan sebesar biji atau atom, dia pasti (bisa) berjalan di atas air.”
Ya, Nabi Isa memang berkata seperti itu. Mungkin ada sebagian orang yang tidak mempercayainya, silahkan. Yang jelas, jika menghidupkan orang mati saja bisa dilakukan (dengan izin Allah), apalagi sekedar membuat murid-muridnya berjalan di atas air. Lagi pula, keyakinan Nabi Isa kepada Allah tidak lagi menyisakan sedikit pun keraguan di hatinya.
Pertanyaannya, pernahkah sekali saja kita yakin bahwa Allah pasti mengabulkan doa kita? Wallahu a’lam bish shawwab.
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.