Kewajiban Pertama Seorang Manusia Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah
Senin, 08 Juni 2020
Apa kewajiban pertama bagi seorang manusia? Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah) berbeda pendapat dalam menjawab pertanyaan yang sepintas sederhana ini. Imam Abu Hasan al-Asy'ari mengatakan bahwa yang paling pertama kali diwajibkan bagi seorang manusia adalah mengenal Allah subhanahu wa ta'ala (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah Jauharat at-Tauhîd, 82).
Imam al-Hafidz al-Baihaqy menjelaskan dalil hal ini sebagaimana berikut:
أَوَّل مَا يَجِبُ عَلَى الْعَبْدِ مَعْرِفَتُهُ وَالْإِقْرَارُ بِهِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ لِنَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ} [محمد: 19] ، وَقَالَ لَهُ وَلِأُمَّتِهِ: {فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَوْلَاكُمْ} [الأنفال: 40] ، وَقَالَ: {فَاعْلَموا أَنَّمَا أُنْزِلَ بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ} ، وَقَالَ: {قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا} [البقرة: 136] الْآيَةَ. فَوَجَبَ بِالْآيَاتِ قَبْلَهَا مَعْرِفَةُ اللَّهِ تَعَالَى وَعِلْمُهُ، وَوَجَبَ بِهَذِهِ الْآيَةِ الِاعْتِرَافُ بِهِ وَالشَّهَادَةُ لَهُ بِمَا عَرَّفَهُ. وَدَلَّتِ السُّنَّةُ عَلَى مِثْلِ مَا دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ
"Hal pertama yang wajib bagi seorang hamba yaitu mengenal Allah dan mengakuinya. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad ﷺ: "Ketahuilah bahwasanya tiada Tuhan selain Allah" [QS: Muhammad: 19] dan juga berfirman kepada umatnya: "Ketahuilah bahwa Allah adalah Tuhan kalian" [QS. al-Anfal: 40] dan "Maka ketahuilah bahwasanya Alquran itu diturunkan dengan pengetahuan dari Allah dan bahwasanya tiada Tuhan selain Dia, maka Apakah kalian menerimanya?" [QS.Hud: 14]dan "Katakanlah kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami" [ QS. al-Baqarah: 136]. Maka dengan ayat-ayat itu menjadi wajib untuk mengenal dan mengetahui Allah Ta'ala. Dengan ayat-ayat ini wajiblah mengenal Allah dan bersaksi terhadap apa yang ia ketahui tentang Allah. Demikian juga hadis nabi menunjukkan apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’an tadi.” (al-Baihaqi, al-I’tiqâd wa al-Hidâyah Ila Sabîl ar-Rasyâd, 35)
Jawaban ini adalah jawaban yang paling banyak dipakai di kalangan ulama Asy'ariyah dari masa ke masa sehingga Syekh Ibnu Ruslan, dalam Nadham Zubad-nya yang biasa dijadikan kurikulum standar di berbagai pesantren Indonesia, menjelaskan sebagaimana berikut:
اول وَاجِب على الْإِنْسَان # معرفَة الْإِلَه باستيقان
"Hal yang pertama diwajibkan atas manusia adalah mengetahui tentang Tuhan dengan meyakininya" (Ibnu Ruslam, az-Zubad, 5)
Adapun para Imam Asy'ariyah yang lain menjawabnya dengan sedikit berbeda. Ini bukti bahwa dalam mazhab Asy'ariyah, atau lebih tepatnya manhaj Asy'ariyah, tidaklah dikenal istilah taklid atau ikut-ikutan pada tokoh tertentu saja. Dalam hal kewajiban pertama ini, Imam Al Baqillani mengatakan:
أول ما فرض الله عز وجل على جميع العباد النظر في آياته
"Hal pertama yang diwajibkan oleh Allah azza wa jalla atas semua hamba adalah berpikir tentang tanda-tanda kekuasaannya.” (al-Baqillani, al-Inshâf, 33)
Jadi, menurut beliau ada yang lebih awal daripada pengetahuan itu sendiri, yaitu berpikir. Faktanya, memang sebelum seseorang dianggap tahu atau mengenal Tuhan, pastilah mereka terlebih dahulu berpikir. Barulah setelah proses berpikir ini selesai, maka ia menjadi tahu dan yakin tentang Tuhan. Sedangkan Imam al-Juwaini melihat ada hal lain sebelum proses berpikir itu sendiri sehingga ia berkata:
أول ما يجب على العاقل البالغ باستكمال سن البلوغ أو الحلم شرعاً، القصد إلى النظر الصحيح
"Awal hal yang wajib bagi seorang berakal yang dianggap baligh dengan genapnya usia baligh atau bermimpi basah secara syariat adalah menyegaja berpikir yang benar.” (al-Juwaini: al-Irsyâd Ila Qawâthi' al-Adillah fi Awwâl al-I'tiqâd, 25)
Jadi, baginya kewajiban pertama manusia adalah berniat untuk berpikir. Kita tahu bahwa sebelum proses berpikir dimulai, orangnya pasti berniat dulu untuk berpikir baru kemudian proses berpikirnya dimulai. Dengan kata lain, yang berusaha ditekankan di sini adalah bahwa proses berpikir itu selalu dalam keadaan sadar dan memang disengaja.
Sebenarnya ketiga jawaban ini mengarah pada hal yang sama tetapi diungkapkan dengan cara yang berbeda dan dari perspektif yang berbeda pula. Ketiganya punya benang merah yang sama, yaitu: pengetahuan tentang Tuhan. Sedang pengetahuan tentang Tuhan itu sendiri pastilah mencakup proses berpikir (nadhar) yang pastinya punya unsur kesengajaan (qashdu) untuk melakukannya. Hal ini adalah satu paket yang tidak terpisah dalam sebuah pengetahuan. Intinya, sebenarnya perbedaannya hanya redaksional semata, bukan perbedaan esensial yang bisa dipertentangkan. Grand Syaikh al-Azhar di masanya, Syekh al-Bajuri, dalam Syarahnya terhadap Jauharah al-Tauhid menjelaskan bahwa awal kewajiban yang menjadi tujuan utama adalah mengetahui tentang Allah, awal kewajiban yang berupa sarana terdekat untuk tahu adalah berpikir dan yang berupa sarana yang lebih jauh adalah menyengaja berpikir (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah Jauharat at-Tauhid, 83).
Imam Ar Ramli menjelaskan bahwa pengetahuan tentang Allah adalah pondasi dari segala kewajiban yang lain bagi seorang muslim sebab tanpanya tidak ada kewajiban atau kesunnahan yang akan dianggap sah. (ar-Ramli, Ghayat al-Bayan Syarh Zubad ibn Ruslan, 5). Jika ada seorang manusia melakukan gerakan shalat, maka itu percuma bila ia tak meyakini bahwa Allah itu ada. Demikian juga percuma seseorang beribadah bila ia masih ragu bahwa Allah mengetahui dan mendengarnya atau tidak. Semua bentuk ibadah hanya akan sah bila yang bersangkutan sudah tahu betul dan meyakini tentang Allah dan sifat-sifatnya.
Dari uraian ini, terlihat jelas bahwa poin utama dari kewajiban pertama ini adalah untuk meneguhkan makna syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah. Tanpa tahu dan yakin tentang keberadaan Allah, keesaan dan kehebatan-Nya, maka tak mungkin seseorang akan bersyahadat menjadi seorang Muslim. Dari sini tampak kesalahan segelintir orang yang menganggap sesat jawaban ulama Asy’ariyah tentang kewajiban pertama di atas dengan alasan bahwa kewajiban pertama seorang manusia adalah bersyahadat, bukan tahu atau berpikir. Justru tahu dan berpikir itulah yang menjadi kunci adanya syahadat dan bukan sebaliknya. Wallahu a'lam.
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur.