Pentingnya Memperhatikan Keamanan Produk yang Dikonsumsi


Barangkali pembaca sekalian pernah menonton tayangan televisi seputar jajanan atau minuman yang diolah dengan bahan kimia tertentu. Semisal, mi dan tahu yang diawetkan dengan formalin, bakso yang dicampur senyawa boraks, kudapan yang dicampur hewan tertentu, serta banyak lainnya. Belum lagi produk kedaluwarsa yang beredar di pasaran.

Isu ini marak sekian tahun belakangan. Kita pun mengetahui bahwa produk yang dicampur bahan tidak aman tersebut akan berdampak buruk bagi tubuh.

Manusia diperintah Allah untuk mengonsumsi barang yang halalan thayyiban. Halal, dalam artian tidak dilarang agama; thayyiban, dalam salah satu maknanya adalah tidak membahayakan badan, pikiran, dan jiwa. Ibnu Katsir menafsirkan lafal thayyiban sebagai berikut:

مستطابا في نفسه غير ضار للأبدان ولا للعقول


Artinya: “Sesuatu yang baik, tidak membahayakan tubuh dan pikiran” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir al Quran al ‘Azhim [Beirut: Dar Ihya’ Al Kutub al Arabiyyah], jilid I, hal. 253).

Mengapa kita perlu berhati-hati dari pangan dan obat yang membahayakan? Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 195:

 وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ


Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

Makna التهلكة dalam ayat di atas cukup beragam. Secara bahasa, artinya adalah “kerusakan, kebinasaan, keburukan.” Beberapa mufassir menjelaskan dari konteks ayat peperangan sebelumnya bahwa menginfakkan harta untuk perjuangan agama adalah sebuah kebaikan, dan mengabaikannya adalah sesuatu yang buruk. Sementara ulama memahami bahwa ayat di atas berbicara tentang persiapan perang. Serta ada juga yang menjelaskannnya dalam konteks infak dan zakat.

Imam ath Thabari mencatat dalam tafsirnya mengenai ayat di atas sebagai berikut:

ولم يكن الله عز وجلّ خصَّ منها شيئًا دون شيء، فالصواب من القول في ذلك أن يقال: إن الله نهى عن الإلقاء بأيدينا لما فيه هلاكنا، والاستسلام للهلكة - وهي العذاب - بترك ما لزمنا من فرائضه، فغيرُ جائز لأحد منا الدخول في شيء يكرهه الله منا، مما نستوجب بدخولنا فيه عَذابَه


Artinya: Allah tidak menjelaskan secara spesifik apa yang dimaknai sebagai “kebinasaan” itu. Hal yang mungkin benar adalah: Allah melarang kita untuk melakukan hal yang membahayakan kita, apalagi pasrah kepada bahaya itu – yaitu adzab, dengan meninggalkan hal yang diwajibkan-Nya. Jelaslah tidak boleh melakukan apa yang Allah larang untuk kita, yang akan membuat kita diadzab. (Ibnu Jarir ath-Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Ay al Qur’an [Beirut: Dar al Fikr])

Kebinasaan di atas dinilai sebagai dampak “kebinasaan” secara umum. Kendati ayat di atas dilatarbelakangi beragam kisah, tapi ia bersifat umum sesuai redaksi lafalnya, tidak bersifat spesifik berdasarkan latar belakang turunnya ayat (al-’ibrah bi ‘umûmil lafzh lâ bi khushush al-sabab). Intinya: segala hal yang membahayakan dan membinasakan diri mesti dijauhi.

Keamanan produk bisa ditinjau dari segi komposisi, cara penggunaan, indikasi dan kontraindikasi, serta kesesuaiannya dengan kondisi pengguna. Penting mengecek wadah dan wujud barang sebelum dikonsumsi dan digunakan.

Merujuk lembaga berikut bisa menjadi tolok ukur tinjauan produk yang aman. Pemerintah Indonesia memiliki BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sebagai pengawas keamanan beragam produk industri makanan, obat, maupun kosmetik untuk digunakan publik. Keamanan pangan dan obat sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan masyarakat.

Selain itu MUI sebagai salah satu organisasi Muslim di Indonesia membentuk LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika) sebagai sentra untuk menjamin kehalalan di samping keamanannya. Berkonsultasi pada ahli gizi terdekat juga bisa menjadi rujukan tepat. Dengan mencermati batasan, cara penggunaan, serta komposisi produk yang dikonsumsi akan membuat kita hidup aman dan sehat, bisa menjadi modal ketaatan kepada Allah. Wallahu a’lam.

Muhammad Iqbal Syauqi, alumnus Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel