Pentingnya Rasa Cinta dalam Pernikahan
Minggu, 07 Juni 2020
Adanya cinta sangat diperlukan dalam sebuah ikatan pernikahan. Boleh jadi cinta itu muncul sebelum menikah dan boleh jadi muncul setelah terjadi pernikahan. Adapun yang pertama terjadi pada pasangan yang sebelumnya telah saling mengenal dan yang kedua terjadi pada pasangan yang dijodohkan dan baru mengenal ketika akad nikah. Dalam kamus remaja, proses yang kedua ini dikenal dengan istilah pacaran setelah nikah.
Pernikahan yang tidak didasari dengan cinta bisa sukses dan bisa gagal. Pada masa Rasulullah ada seorang wanita bernama Burairah dan seorang lelaki bernama Mughits. Mereka berdua adalah pasangan suami istri yang mana pernikahannya kandas karena Burairah tidak mencintai Mughits. Sementara Mughits sangat mencintai Burairah.
Kisah Burairah dan Mughits juga diceritakan dalam Umdatul Qori Syarah Shohih Bukhori karya Abu Muhammad Mahmud. Suatu ketika setelah perceraian mereka, Mughits melihat mantan istrinya. Lalu ia mengikutinya dari belakang sambil meneteskan air mata, karena menahan kesedihan. Nabi saw. Yang melihat peristiwa tersebut berkata kepada Ibnu Abbas,
“فَقَالَ النَّبِي [ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ] (لعباس : ” يَا عَبَّاس أَلا تعجب من حب مغيث بَرِيرَة ، وَمن بغض بَرِيرَة مغيثاً
Wahai Abbas, tidaklah engkau takjub dan merasa heran melihat cinta Mughits terhadap (mantan istrinya) Burairah, dan bencinya Burairah terhadap (mantan suaminya) Mughits.
فَقَالَ النَّبِي [ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ ] : ” لَو راجعتيه ” . فَقَالَت : يَا رَسُول الله تَأْمُرنِي ؟ قَالَ : ” إِنَّمَا أشفع ” قَالَت : فَلَا حَاجَة لي فِي
Kemudian Nabi saw. Berkata kepada Burairah, “Seandainya engkai ruju?” Burairah menjawab,” Apakah engkau menyuruhku wahai Rasulullah?”, Nabi menjawab, “Tidak, aku hanya mengimbau. Burairah menolak imbauan Nabi sambil berkata, “Aku tidak butuh kepadanya”.
Cerita pasangan Mughits dan Burairah adalah salah satu kisah zaman dahulu tentang kandasnya pernikahan akibat tidak adanya cinta.
Di sisi lain ada kisah menarik dari seorang perempuan yang datang kepada Nabi Muhammad saw. untuk menceritakan kisahnya bahwa dia dinikahkan oleh ayahnya dengan lelaki yang tidak ia cintai.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْن بُرَيْدَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ؛ انَّ فَتَاةً دَخَلَتْ عَلَيْهَا . فَقَالَتْ: انَّ ابِى زَوَّجَنِى ابْنَ اخِيهِ لِيَرْفَعَ بِى خَسِيسَتَهُ وَانَا كَارِهَةٌ . قَالَتِ اجْلِسِى حَتَّى يَاتِىَ النَّبِىُّ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ ( فَاخْبَرَتْهُ فَارْسَلَ الَى ابِيهَا فَدَعَاهُ فَجَعَلَ الامْرَ الَيْهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اجَزْتُ مَا صَنَعَ ابِى وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَعْلَمَ النِّسَاءَ أَنَّ لَيْسَ لِلْاَبَاءِ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ
Siti Aisyah pernah menceritakan mengenai kedatangan seorang perempuan muda. Ia mengatakan: “Ayahku telah mengawinkan aku dengan anak saudaranya. Laki-laki itu berharap dengan mengawini aku kelakuan buruknya bisa hilang. Aku sendiri sebenarnya tidak menyukainya.”
Aisyah berkata kepadanya, “Kamu tetap duduk di sini sambil menunggu Rasulullah Saw.” Begitu Nabi datang, dia menyampaikan persoalannya tadi. Nabi kemudian memanggil ayahnya, lalu memintanya agar menyerahkan persoalan perjodohan itu kepadanya (anak perempuan itu). Si perempuan kemudian mengatakan kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, aku sebenarnya menuruti apa yang telah diperbuat ayahku. Akan tetapi, aku hanya ingin memberitahukan kepada kaum perempuan bahwa sebenarnya para bapak tidak mempunyai hak atas persoalan ini.”
Dalam kisah kedua ini, meskipun perempuan muda tersebut dinikahkan tanpa ada rasa cinta, dia tetap mau bertahan. Menurut pemahaman penulis, dia melapor kepada Rasulullah agar tidak ada lagi perempuan yang senasib dengannya. Dia ingin memberitahu bahwa perempuan juga punya hak untuk menentukan calon pasangan.
Secara singkat dapat digambarkan bahwa kisah di atas ingin memberi pelajaran bahwa dalam pernikahan diperlukan cinta. Dalam penentuan jodoh, alangkah bijaksananya jika orang tua bermusyawarah dengan anak-anaknya tentang siapa calon pendamping yang cocok buat mereka.
Abdurrahman al- Jaziri dalam Fiqh Ala Madzahib Al-Arba`ah dalam hal ini memberikan beberapa catatan. Dalam persoalan perjodohan oleh orang tua, ada hal yang perlu dicatat bahwa orang tua tidak boleh semena-mena menikahkan anak gadisnya.
Ulama fiqih memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi, di antaranya (1) tidak ada permusuhan yang nyata di antara anak gadisnya dan calon suami, (2) tidak ada permusuhan yang nyata di antara anak gadisnya dan walinya, dan (3) calon suami harus sekufu dan mampu membayar maskawin. Jika syarat ini tidak dipenuhi, dan anak gadisnya tidak rela dengan pernikahan tersebut, maka pernikahannya tidak sah jika tetap dilangsungkan.
`Ala kulli hal, perempuan dan laki-laki selaku subjek dan objek cinta tinggal memilih, mau mencintai dulu kemudian menikah, atau menikah dulu kemudian mencintai. Keduanya sama-sama menjadi penyebab kuatnya ikatan pernikahan. Adapun yang persoalan adalah sebelum menikah ada cinta, namun setelah menikah cintanya hilang atau sebelum menikah tidak mencintai dan setelah menikah pun cintanya tidak kunjung tumbuh.