Bagaimana Menyikapi Makna Denotatif dari Sifat Allah?


Dalam diskusi tentang aqidah, ada pernyataan yang saling bertolak belakang dari para Imam Ahlussunnah apakah makna dhâhir bagi sifat-sifat khabariyah (yang dinyatakan dalam ayat dan hadits, red) Allah ditiadakan secara mutlak ataukah ditetapkan keberadaannya tetapi ditegaskan bahwa yang dimaksud adalah makna yang layak? Kerancuan dalam hal ini akan menyebabkan kebingungan dan diskusi yang tak akan berujung. Untuk itu, penulis perlu kiranya dijelaskan apa dan bagaimana makna dhâhir itu sebenarnya dan bagaimana para ulama menyikapinya.

Secara bahasa, makna dhâhir adalah kata lain dari makna denotatif atau makna yang bukan kiasan atau majas. Jadi semisal ada kata yadu-Llah, maka makna dhâhir-nya adalah “tangan Allah” tanpa perlu diartikan sebagai “kekuasaan Allah” atau “nikmat Allah.” Para Ulama terbagi menjadi dua kelompok besar dalam menyikapi makna dhâhir ini.

Golongan pertama meniadakan makna dhâhir dari akarnya sebab makna ini adalah sesuatu yang memang mustahil bagi Allah. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Imam al-Mufassir al-Qurthubi berikut:

وَقَدْ عُرِفَ، أَنَّ مَذْهَبَ السَّلَفِ تَرْكُ التَّعَرُّضِ لِتَأْوِيلِهَا مَعَ قَطْعِهِمْ بِاسْتِحَالَةِ ظَوَاهِرِهَا، فَيَقُولُونَ أَمِرُوهَا كَمَا جَاءَتْ


“Telah diketahui bahwa mazhab Salaf adalah meninggalkan takwil terhadap ayat-ayat sifat sambil memastikan kemustahilan seluruh makna dhâhirnya, maka mereka berkata: Baca ulang lagi redaksi itu seperti halnya datangnya.” (Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubîy, juz IV, halaman 14)

Imam al-Qurthubi di bagian lain dari tafsirnya menegaskan bahwa yang meyakini makna dhâhir adalah para musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Beliau berkata:

وَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَقْرَؤُهَا وَنُفَسِّرُهَا عَلَى مَا يَحْتَمِلُهُ ظَاهِرُ اللُّغَةِ. وَهَذَا قَوْلُ الْمُشَبِّهَةِ


“Sebagian orang berkata: ‘Kami membacanya dan menafsirkannya sesuai apa yang dikandung oleh dhâhir bahasa’. Ini adalah perkataan Musyabbihah.” (Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubîy, juz I, halaman 254)

Golongan kedua, mereka menetapkan makna dhâhir sebagaimana redaksi dari Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini misalnya dikatakan oleh Imam as-Subki sebagai berikut:

وما صح الكتاب والسنة من الصفات يعتقد ظاهر المعنى وينزه عند سماع المشكل


"Keterangan yang shahih dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang sifat-sifat Allah,  kita meyakini dhahir maknanya,  dan kita menyucikan Allah (dari sifat-sifat yang tak layak dimiliki-Nya) ketika mendengar keterangan yang musykil (aneh).” (As-Subki, Jam’u al-Jawâmi’).

Pernyataan Imam as-Subki di atas diberi syarah/komentar oleh Imam az-Zarkasyi sebagai berikut:

أن كل ما ورد في الكتاب والسنة الصحيحة من الصفات اللائقة بجلاله، نعتقد ظاهر المعنى وما ورد فيهما من المشكل مما ظاهره الاتصاف بالحدوث والتغير كقوله تعالى: {وجاء ربك والملك} وقوله صلى الله عليه وسلم: ((ينزل ربنا كل ليلة)) فإنا ننزه عند سماعه عما لا يليق به


"Keterangan yang shahih dari Al-Quran dan As-Sunnah tentang sifat-sifat Allah yang layak bagi-Nya, kita meyakini zhahir maknanya. Dan redaksi yang datang pada kita yang dhâhirnya mengandung sifat kebaruan dan perubahan, seperti firman Allah ‘Tuhanmu telah datang bersama Malaikat’ dan sabda Nabi ‘Tuhan Kita turun setiap malam’, maka kita menyucikan Allah dari sifat-sifat yang tak layak dimiliki-Nya ketika mendengar hal itu.” (Az- Zarkasyi, Tasynîf al-Masâmi’ bi Jam’i al-Jawâmi’, juz IV, halaman 676).

Senada dengan itu, Imam al-Asy’ari dalam al-Ibanah juga menetapkan makna dhâhir sebagai berikut:

لأن القرآن على ظاهره، ولا يزول عن ظاهره إلا بحجة، فوجدنا حجة أزلنا بها ذكر الأيدي عن الظاهر إلى ظاهر آخر، ووجب أن يكون الظاهر الآخر على حقيقته لا يزول عنها إلا بحجة


“Sebab Al-Qur’an seluruhnya atas makna dhâhir. Makna dhâhir itu tak hilang kecuali dengan hujjah.” (Abu Hasan al-Asy’ari, al-Ibânah, halaman 138)

Lalu bagaimanakah sebenarnya makna dhâhir ini? Sebenarnya perselisihan dalam penetapan atau penafian makna dhâhir ini hanyalah redaksional semata. Semua tergantung apa yang dimakud makna dhâhir itu sendiri; bila makna dhâhir diartikan sebagai makna asal yang dibawakan oleh Allah dan Rasulullah tetapi bukan makna jismiyah (makna organ tubuh, susunan, pergerakan, volume dan sebagainya), maka ini disetujui oleh para ulama. Namun bila makna dhâhir diartikan sebagai makna jismiyah sebagaimana makna yang melekat pada makhluk, maka inilah yang ditolak seluruh ulama.

Karena itulah, Adz-Dhahabi mengatakan bahwa kata dhâhir mempunyai dua makna yang berbeda:

 قُلْتُ: قَدْ صَارَ الظَّاهِرُ اليَوْم ظَاهِرَيْنِ: أَحَدُهُمَا حق، والثاني باطل، فالحق أن يَقُوْلَ: إِنَّهُ سمِيْع بَصِيْر، مُرِيْدٌ متكلّم، حَيٌّ عَلِيْم، كُلّ شَيْء هَالك إلَّا وَجهَهُ، خلق آدَمَ بِيَدِهِ، وَكلَّم مُوْسَى تَكليماً، وَاتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً، وَأَمثَال ذَلِكَ، فَنُمِرُّه عَلَى مَا جَاءَ، وَنَفهَمُ مِنْهُ دلاَلَةَ الخِطَابِ كَمَا يَليق بِهِ تَعَالَى، وَلاَ نَقُوْلُ: لَهُ تَأْويلٌ يُخَالِفُ ذَلِكَ. وَالظَّاهِرُ الآخر وَهُوَ البَاطِل، وَالضَّلاَل: أَنْ تَعتَقِدَ قيَاس الغَائِب عَلَى الشَّاهد، وَتُمَثِّلَ البَارِئ بِخلقه، تَعَالَى الله عَنْ ذَلِكَ، بَلْ صفَاتُهُ كَذَاته، فَلاَ عِدْلَ لَهُ، وَلاَ ضِدَّ لَهُ، وَلاَ نظير له، ولا مثيل لَهُ، وَلاَ شبيهَ لَهُ، وَلَيْسَ كَمثله شَيْء، لاَ فِي ذَاته، وَلاَ فِي صفَاته، وَهَذَا أمرٌ يَسْتَوِي فِيْهِ الفَقِيْهُ وَالعَامِيُّ، وَاللهُ أَعْلَمُ


“Saya berpendapat bahwa kata dhâhir hari ini ada dua macam, yang pertama adalah benar dan yang kedua adalah bathil. Yang benar adalah  berkata bahwa Allah Maha Mendengar, Melihat, Berkehendak, Berfirman, Hidup, Mengetahui, segala sesuatu akan hancur kecuali Wajh-Nya, Allah menciptakan Adam dengan yad-Nya, berfirman pada Musa dengan firman sebenarnya, menjadikan Ibrahim sebagai kekasih, dan yang semisal itu. Maka kita membaca ulang sebagaimana redaksi aslinya dan kita memahaminya sesuai dengan apa yang layak bagi Allah Ta’ala. Dan, kita tak berkata bahwa itu punya takwil yang menyelisihi itu. Adapun dhâhir lainnya adalah yang batil dan sesat yaitu meyakini analogi hal yang ghaib (sifat Allah) terhadap yang terlihat dan menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Allah Maha Suci dari hal itu. Tetapi sifat-sifatnya seperti halnya Dzat-Nya, sehingga tak punya saingan, tak punya lawan, tak punya perbandingan, tak punya hal yang kemiripan, tak punya keserupaan. Dan tak ada satu pun yang sama dengan-Nya, tidak di dalam Dzat-Nya atau sifat-sifatnya. Ini adalah perkara yang sama antara orang yang terpelajar dan orang bodoh. Wallahu a’lam.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, juz XIV, halaman 332)

Dengan demikian menjadi jelas bahwa makna dhâhir yang mengarah ke tafwîdh (memasrahkan makna hakikat yang layak pada Allah) adalah makna dhâhir yang diterima dan ditetapkan. Sedangkan makna dhâhir yang mengarah pada adanya perbandingan dengan makhluk, misalnya ketika melihat makhluk turun bergerak dari atas ke bawah, lalu meyakini nuzûl Allah juga turun bergerak dari arah atas ke bawah, maka ini adalah makna dhâhir yang ditolak sebab merupakan aqidah kaum musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Wallahu a’lam.

Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center Jember.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel