Dialog Kurban Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam Kajian Tasawuf
Senin, 20 Juli 2020
Ibadah kurban yang dikenal sampai saat ini tidak dapat dilepaskan dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail (sebagian riwayat menyebut Nabi Ishak). Ibadah kurban berawal dari perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. Riwayat keduanya dapat ditemukan pada Surat As-Shaffat ayat 102.
Riwayat tersebut menceritakan ungkapan Nabi Ibrahim AS kepada Ismail AS atas mimpinya selama tiga malam terakhir.
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sungguh aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?’"
Apa yang terjadi dalam mimpi Ibrahim AS dipahami oleh dirinya dan Ismail AS sebagai perintah Allah SWT. Pasalnya, mimpi para nabi, kata Ibnu Abbas RA, adalah wahyu ilahi. Muhammad bin Ka’ab mengatakan, wahyu ilahi mendatangi para nabi saat mereka terjaga dan tertidur. Oleh karena itu, keduanya memiliki pengertian yang sama atas takwil mimpi Ibrahim AS.
"Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar," jawab Ismail AS.
Abu Ali Ad-Daqaq mengisahkan ulang perintah kurban yang melibatkan Ibrahim AS dan Ismail AS dari kajian tasawuf. Menurutnya, perintah kurban berkaitan erat dengan kewajiban untuk berjaga agar tidak tertidur.
Tidur bagi sebagian orang saleh adalah sebuah kesalahan karena orang yang tidur adalah orang yang lalai kepada Allah. Sedangkan Ibrahim AS dengan sedih menceritakan mimpinya kepada Ismail AS.
“Bapakku, inilah balasan orang yang tidur melalaikan Kekasihnya (Allah). Seandainya bapak tidak tidur, niscaya bapak tidak diperintahkan untuk menyembelih anak sendiri,” jawab Ismail. (Abul Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 210).
Tidur malam hari (semalam suntuk) bagi sebagian orang saleh pada tingkat tertentu merupakan sebuah kesalahan sebagaimana kaidah “Hasanatul abrār sayyi’ātul muqarrabīn” atau kebaikan bagi mereka di maqam abrār adalah kesalahan bagi muqarrabīn.
Oleh karena itu, ulama tasawuf membuat syair sebagai berikut, “Sungguh aneh mereka yang mengaku para pecinta (Allah). Bagaimana mereka dapat tertidur nyenyak? Padahal tidur bagi para pecinta diharamkan.” (Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H: 210). Wallahu a’lam.