Hukum Kurban dari Dana Yayasan atau Instansi
Jumat, 10 Juli 2020
Setiap tahun, ketika menghadapi hari raya Idul Adha, kita disuguhi berbagai sajian berita yang mengabarkan bahwa Perusahaan A membagikan hewan kurban berupa sapi, dengan jumlah sekian-sekian. Tidak ketinggalan, beberapa instansi pemerintah juga mengadakan sendiri-sendiri di kalangan karyawannya. Bahkan, Kepala Negara juga membagikan hewan kurban ke sejumlah wilayah dengan niat dijadikan sebagai hewan kurban. Di tingkatan instansi swasta yang paling dekat dengan masyarakat, juga ada budaya mengadakan hewan kurban.
Masing-masing dari pihak di atas, adakalanya dana pembelian hewan kurban itu adakalanya berasal dari dana perorangan (pribadi), namun ada juga yang berasal dari dana instansi atau yayasan. Untuk pembelian hewan kurban yang berasal dari dana pribadi, hal itu tidak ada kesulitan sama sekali mengenai status sahnya. Yang menjadi persoalan adalah bila dana itu diambil dari dana kas yayasan atau instansi.
Bagaimanapun juga, kas sebuah instansi atau yayasan merupakan gambaran dari dana bersama dan secara hukum termasuk dana patungan. Namun, ada batasan ketentuan di dalam syariat bahwa kurban patungan hanya diperbolehkan maksimal untuk 10 orang mudlahhi (pekurban) dengan objek hewan kurban berupa unta, 7 orang pekurban bila objeknya adalah berupa sapi. Adapun untuk kambing, hanya diperbolehkan bila diperuntukkan untuk 1 orang pekurban saja. Dan di Indonesia, umumnya kurban bersama itu dilakukan dengan rupa sapi.
Nah, adakah cantolan hukum mengenai kurban yang diambil dari kas instansi tersebut? Inilah yang hendak kita bahas dalam kesempatan tulisan ini.
Setidaknya ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setiap tahun berkurban sebanyak 2 ekor kambing. Satu di antaranya untuk pribadi Nabi, dan satu lainnya untuk umat beliau. Hadits ini secara tidak langsung dianggap sebagai dalil pokok bagi kurban patungan dan kurban yang dilakukan oleh sebuah instansi/yayasan.
Di dalam Tuhafatu al-Muhtaj ‘ala Syarh al-Minhaj, disebutkan secara tegas bahwa:
وَيُسَنُّ لِلْإِمَامِ أَنْ يُضَحِّيَ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ عَنْ الْمُسْلِمِينَ بَدَنَةً فِي الْمُصَلَّى وَأَنْ يَنْحَرَهَا بِنَفْسِهِ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَإِنْ لَمْ تَتَيَسَّرْ بَدَنَةٌ فَشَاةٌ وَإِنْ ضَحَّى عَنْهُمْ مِنْ مَالِهِ ضَحَّى حَيْث شاء
“Dan disunnahkan bagi Imam untuk menyembelih hewan kurban berupa unta budnah yang diambil dari kas Baitul Mal yang ditujukan atas nama umat islam semuanya di tempat melaksanakan sholat dan juga berkurban untuk dirinya sendiri. Hadits riwayat al-Bukhari. Jika tidak mudah mendapatkan unta budnah, maka cukup dengan seekor kambing. Dan jika berkurban untuk umat Islam ini diambil dari kas miliknya sendiri, maka ia boleh melakukannya sekira ia mau.” (Tuhafatu al-Muhtaj, Juz 8, halaman 1). Di dalam Nihayatu al-Muhtaj, dijelaskan lebih lanjut bahwa kebolehan mengambil dana untuk kurban dari kas yayasan atau instansi ini, adalah dengan catatan jika dana kas itu longgar.
وَإِنَّ لِلْإِمَامِ الذَّبْحَ عَنْ الْمُسْلِمِينَ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ إنْ اتَّسَعَ
“Sesungguhnya seorang imam hendaknya menyembelih kurban atas nama kaum muslimin yang diambil dari kas baitul mal, jika kas tersebut longgar” (Nihayatu al-Muhtaj, juz 8, halaman 144).
Disunnahkannya imam atau pemimpin instansi/yayasan itu untuk berkurban dengan pola semacam adalah karena syara’ mendudukkan seorang pemimpin sebagai representasi dari keseluruhan anggota (yaqum maqama al-kulli).
وَبَعْضُ أَهْلِ الْبَيْتِ وَالْإِمَامُ جَعَلَهُمَا الشَّارِعُ قَائِمَيْنِ مَقَامَ الْكُلِّ
“Dan sebagian ahli bait dan imam, Allah menjadikan kedunya sebagai representasi dari umat Islam seluruhnya (yang ada diinstansi itu).” (Nihayatu al-Muhtaj, juz 8, halaman 144).
Pelaksanaan kurban yang diatasnamakan seluruh anggota yang terlibat dalam instansi tersebut bersifat tidak menggugurkan tuntutan berkurban bagi orang yang kaya yang ada dalam instansi.
وَلَا يَسْقُطُ بِفِعْلِهِ الطَّلَبُ عَنْ الْأَغْنِيَاءِ، وَحِينَئِذٍ فَالْمَقْصُودُ مِنْ الذَّبْحِ عَنْهُمْ مُجَرَّدُ حُصُولِ الثَّوَابِ لَهُمْ
“Tuntutan berkurban, tidak gugur atas orang yang kaya yang disebabkan kurbannya Imam. Karena yang dimaksud dengan penyembelihan kurban oleh imam itu adalah hanya semata tercapainya pahala kurban secara umum untuk orang muslimin (yang terlibat dalam instansi)” (Nihayatu al-Muhtaj, juz 8, halaman 144).
Jika kurban yang dilakukan atas nama instansi itu bersifat ditentukan/mu’ayyanah sehingga statusnya adalah menempati derajat kurban wajib, maka berlaku segala ketentuan mengenai kurban wajib juga berlaku atas pemimpin instansi dan sekaligus anggota instansi.
وَحَيْثُ امْتَنَعَتْ عَنْ الْغَيْرِ وَقَعَتْ عَنْ الْمُضَحِّي إنْ كَانَتْ مُعَيَّنَةً وَإِلَّا فَلَا
“Dan sekira daging kurban tersebut terhalang memakannya bagi pihak yang berkurban wajib, maka jika kurban dalam instansi itu ditentukan (sebagai kurban wajib), maka berlaku pula ketentuan tersebut atas mudlahhi dan anggota instansi. Namun, bila tidak diwajibkan, maka tidak ada pula ketentuan yang berlaku atasnya” (Nihayatu al-Muhtaj, Juz 8, halaman 144).
Meski sebuah instansi sudah melaksanakan kurban yang diatasnamakan anggotanya, namun kurban oleh instansi tersebut hukumnya sunnah dan menempati derajat sedekah sebab bersekutu di luar batas yang telah ditentukan syara’ dalam pahala kurban adalah bukan karakteristik kurban.
الْإِشْرَاكَ فِي الثَّوَابِ لَيْسَ أُضْحِيَّةً
“Bersekutu dalam pahala kurban (di luar batas yang ditetapkan syara’) adalah bukan kurban” (Nihayatu al-Muhtaj, juz 8, halaman 144).
Bersekutu dalam pahala dengan kapasitas lebih dari yang ditentukan syara’, hukumnya menempati derajat sedekah bersama. Itulah sebabnya, karena kas instansi merupakan kas bersama, maka kurban yang sudah dilakukan oleh instansi tidak mampu menggugurkan tuntutan melaksanakan perintah berkurban secara pribadi atas orang kaya yang ada di dalam lembaga instansi tersebut.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur; Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur