Hukum Potong Gaji Karyawan karena Ada Barang Hilang
Minggu, 16 Agustus 2020
Sebuah tajuk berita yang dilansir dari sebuah harian kanal berita menyebutkan bahwa karyawan sebuah waralaba ternama mengancam akan melakukan aksi mogok kerja, bila pihak manajemen memotong gaji mereka. Pemotongan upah ini sebagaimana ditentukan adalah bilamana terjadi kasus nota selisih barang (NSB) yang di dalam klausulnya menyebutkan bahwa jika hasil akhir perhitungan stok opname melebihi batas toleransi kehilangan sebesar 0,02 persen, maka pihak waralaba ini akan melakukan pemotongan upah karyawan sebesar 10 persen tiap bulan.
Nah, yang hendak kita tarik pelajaran dari kasus ini, adalah: (1) Bagaimana syariat memandang relasi antara karyawan dengan pihak yang mempekerjakan? (2) Apa hak dan kewajiban pihak yang mempekerjakan? (3) Apa hak dan kewajiban karyawan? (4) Apa buah dari relasi ikatan karyawan dan pihak yang mempekerjakan ini? Dan selanjutnya, (5) bagaimana bila terjadi kasus sengketa antara karyawan dan pihak yang mempekerjakan khususnya terkait dengan timbulnya kerugian?
Sudah barang tentu isi dari kajian ini, hanya akan mengambil pokok-pokoknya saja. Dan kita tidak hendak menghukumi pihak yang tengah bersengketa, karena kasus tersebut merupakan wewenang sepenuhnya pihak pengadilan. Kita hanya memetik pelajaran saja, untuk memperkaya wawasan kita dalam fiqih muamalah.
Tak syak lagi bahwa relasi pekerja dan orang yang mempekerjakan adalah termasuk rumpun relasi akad ijarah (sewa jasa). Di dalam relasi ini, pihak yang mempekerjakan memiliki tanggung jawab berupa ikatan kelaziman dengan orang yang dipekerjakan.
Kewajiban Orang yang Mempekerjakan
Pertama, membayar gaji pihak yang bekerja qabla an yajiffa ‘irquhu (sebelum keringatnya kering). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَعْطُوا الْأَجِيرَ أُجْرَتَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah upah pekerja sebelah kering keringatnya.” (Sanad hadits berasal dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dan terdapat dalam kitab al-Hawi al-Kabir, juz 7, halaman 389).
Kedua, memberikan penjelasan mengenai bidang pekerjaan yang harus dilakukan oleh pekerja dan berikut larangan-larangannya. Mengapa? Sebab ijarah adalah bagian dari akad jual beli sehingga objek akadnya, wajib diketahuioleh masing-masing pihak.
فالإجارات صنفٌ من البيوع لأنها تمليك لكل واحدٍ منهما من صاحبه
“Ijarah itu merupakan satu bagian dari akad jual beli, karena di dalam ijarah, masing-masing pihak memilliki hak penguasaan atas lainnya” (Al-Hawi Al-Kabir, juz 7, halaman 388).
Ketiga, karena ijarah merupakan bagian dari akad bai’ maka berlaku ketentuan wajibnya orang yang mempekerjakan seorang karyawan untuk menjelaskan mengenai upah yang berlaku bagi pekerja tersebut, dan
Keempat, menjelaskan mengenai masa kontrak yang berlaku atasnya. Imam Syafi’i, sebagaimana dinukil oleh Imam Al-Ruyani dalam Bahru al-Madzhab li al-Ruyani, menjelaskan:
ولأن الحاجةَ داعيةً إلى جوازها لأن كل أحدٍ لا يجد دارًا يسكنها [١٥٤/ أ] ملكًا ولا يجد من يتطوع به فجوز الإجارةً كما جوّز سائر البياعات فإذا ثبت جوازها فإنما تجوز على الوجهين إما أن يعقد على مدةٍ ومعلومةً، أو على عمل معلوم
“Karena adanya kebutuhan terhadap akad ijarah, dan karena sesungguhnya setiap orang tidak selalu memiliki rumah yang bisa ditinggalinya sebagai hak milik, dan tidak semua orang bisa berbuat shadaqah membolehkan orang lain tinggal di rumah yang dimilikinya, maka berlaku kebolehan akad ijarah, sebagaimana berlaku kebolehan akad jual belli. Bila mana akad kebolehan ini telah tsubut berdasarkan nash, maka akad ijarah ini menjadi boleh karena dua latar belakang, yaitu adakalanya diikatkan dengan lamanya kontrak, dan adakalanya diikatkan berdasarkan pekerjaan/job yang sifatnya juga diketahui” (Bahru al-Madzhab li al-Ruyani, juz 7, halaman 141).
Tanpa kejelasan dari keempat perkara tersebut, maka akad ijarah yang mengikat keduanya dapat berlaku sebagai akad bathil sehingga menghendaki pembatalannya, atau bahkan masuk ijarah fasidah (ijarah yang rusak) disebabkan unsur ketidaktahuan terhadap perkara yang diakadkan. Bila hal ini terjadi, maka pihak pekerja berhak mendapatkan upah berupa ujrah mitsil, yaitu upah standart berdasarkan keumuman orang yang bekerja sepertinya (sesuai adat).
Kewajiban Karyawan yang Dipekerjakan
Pihak yang dipekerjakan memiliki tanggung jawab dalam syariat, yaitu:
- menjaga harta pihak juragannya selama bekerja atau selama ia terikat akan kontrak
- melaksanakan tugas sebagaimana ia disewa/ditugaskan,
- tidak melakukan sesuatu di luar bidang tugas yang di luar tanggung jawabnya tanpa seizin dari juragan yang mempekerjakannya, dan
- bekerja dengan sungguh-sungguh dalam melakukan pengelolaan sesuai dengan tugasnya dan selama durasi kontrak pekerjaan itu berlaku wajib atasnya.
Oleh karena itu, di dalam akad ijarah, seolah berlaku dua akad lainnya yang secara tidak langsung include di dalamnya, yaitu akad wakalah, dan sekaligus akad kafalah. Baik akad wakalah maupun akad kafalah, dua-duanya merupakan amanah. Itu sebabnya, maka akad ijarah juga merupakan bagian dari akad amanah.
Di dalam amanah, dilarang berlaku menyelisihi bidang amanat tersebut sebab melakukan sesuatu di luar bidang amanah itu, adalah merupakan tindakan khianat. Tindakan pekerja di luar bidang tugas yang dibebankan padanya dan menimbulkan efek kerugian terhadap harta juragan, dapat dikenai tanggung jawab ganti rugi (dlamman).
Buah Ikatan Kelaziman antara Pekerja dan yang Mempekerjakan
Karena dalil asal dari akad ijarah adalah menunjukkan adanya sifat kelaziman (relasi saling mengikat) yang berlaku atas kedua pihak penyewa dan yang disewa, maka di dalam akad ijarah, juga berlaku ketentuan-ketentuan yang mengikat antara pihak pekerja dan juragan yang mempekerjakan, antara lain:
- Juragan tidak boleh melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak terhadap pekerjanya selama masa kontrak masih berlangsung. Namun, pendapat ini ditentang oleh Ibnu Rusyd dengan alasan bahwa sifat relasi antara pekerja dan juragan adalah akad jaizah (boleh), sehingga juragan berhak untuk merusak (fasakh) akad selama ia membutuhkan,
- Pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan bilamana terjadi kasus yang di luar ekspektasi bersama (al-thari’), misalnya terbakarnya toko tempat bekerja, atau hal-hal yang menyebabkan hilangnya bidang pekerjaan, termasuk di dalamnya adalah bilamana karyawan tidak mampu bekerja sesuai dengan bidang pekerjaan yang dilakukan, Juragan harus menepati gaji sesuai dengan yang dijanjikan kepada pekerja, dan
- Tidak boleh adanya penghilangan sebagian hak pekerja atau seluruhnya, selain akibat kasus wanprestasi yang menimbulkan kerugian sehingga wajib berlaku atasnya dlaman (ganti rugi).
- Bila terjadi kasus wan-prestasi oleh pihak yang dipekerjakan, pihak pekerja tetap berhak atas gaji yang dimilikinya, namun ia juga wajib melakukan ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkannya.
إذا تعدي في المال الذي وكله فيه بأن يكون قد فرط في حفظه في حرز مثله، أو كان عبئاً فاستخدمه أو كانت جارية فوطئها هل تنفسخ الوكالة؟ وجهان: أحدهما: تنفسخ لأن الضمان والوكالة لا يجتمعان، والحكم فيه كما ذكرنا فيما قبله. والثاني: لا تنفسخ وهو الأصح، كالرهن إذا تعدى فيه المرتهن ضمن وبطلت أمانته ولا يبطل الرهن وتحريره أنه تضمن الأمانة والتصرف فبطلت بالتعدي الأمانة دون التصرف
“Ketika seseorang telah berbuat melampaui batas atas harta yang diwakilkan kepadanya, misalnya sebab ia teledor dalam menjaganya di tempat yang seharusnya, atau barang itu menjadi rusak karena dipergunakannya, atau jariyah yang diwakilkan padanya dijimaknya, apakah akad wakalah (baca: ijarah ) menjadi rusak karenanya? Maka ada dua pandangan jawaban,yaitu pertama: akad wakalah menjadi rusak disebabkan ganti rugi tidak bisa dikumpulkan bersama dengan akad wakalah. Hukum atas hal ini, berlaku sebagaimana keterangan yangtelah kami jelaskan sebelumnya. Kedua, tidak rusak dan ini adalah pendapat yang paling shahih. Sebagaimana akad gadai, bila pihak yang menerima sewa berbuat melampaui batas atas barang gadai, maka ia wajib menanggung ganti rugi. Sifat amanahnya menjadi batal, namun akad gadainya tidak batal. Singkatnya, pihak wakil wajib ganti rugi atas amanah dan pengelolaan. Amanahnya batal, namun tidak dengan tasharruf yang diilakukan” (Bahru all-Madzhab li al-Ruyani, juz 6, halaman 54).
Penyelesaian Sengketa Karyawan-Perusahaan
Persoalannya kemudian adalah, bagaimana bila terjadi perbedaan pendapat antara pihak pekerja dengan pihak yang mempekerjakan terhadap suatu hal yang menjadi penyebab timbulnya suatu kerugian (dlarar)? Bolehkah pihak juragan melakukan pemotongan secara sepihak terhadap gaji karyawan/pekerja? Inti utama dari permasalahan ini adalah ada pada sebab terjadinya kerugian, dan bahwa dalam setiap kerugian wajib berlaku dlaman (ganti rugi) atas pihak yang telah berbuat idlrar (merugikan pihak lain). Oleh karenanya diperlukan bukti yang memperkuat tuduhan. Ketentuan yang berlaku atas pihak yang menuduh dan tertuduh adalah:
الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي، وَالْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
“Bukti/saksi merupakan tanggung jawab pendakwa, sementara terdakwa berkenaan dengan kewajiban bersumpah” (Raudlatu al-Thalibin wa Umdatu al-Muftin, juz 12, halaman 7).
Berdasarkan pendapat Imam al-Ruyani di atas, maka menurut pendapat terkuatnya (qaul ashah), hukum memotong gaji secara sepihak hukumnya adalah tidak diperbolehkan sebab akad ijarah yang berlaku atas kedua pihak adalah masih berjalan. Pemotongan gaji hanya dibenarkan bila sudah ada bukti atau saksi yang disampaikan oleh juragan.
Yang mutlak batal adalah akad amanah-nya. Artinya, pihak karyawan tidak bisa dijadikan sebagai pihak wakil lagi, sehingga pihak perusahaan boleh melakukan pemecatan (PHK) (in’izal), khususnya bila penyebab idlrar itu terbukti adalah disebabkan keteledorannya.
Wallahu a’lam bish shawab.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syarî'ah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur