Sejarah Kalender Hijriyah dalam Masyarakat Jahiliyah
Kamis, 20 Agustus 2020
Setelah terjadi perdebatan, terpilihlah peristiwa hijrah Rasulullah ke Yatsrib (Madinah) sebagai hari pertama dimulainya kalender hijriyah dan bulan Muharam terpilih sebagai bulan pertama. Keputusan ini ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, seorang khalifah yang dikenal sangat inovatif di dalam Islam, di masa pemerintahannya.
Mengapa penghitungan kalender hijriyah berdasarkan pada peredaran rembulan, bukan pada peredaran matahari? Bukankah penghitungan kalender berdasarkan peredaran rembulan terbukti sering melahirkan perbedaan pendapat dalam menentukan hari-hari tertentu?
Bukankah penghitungan kalender berdasarkan peredaran matahari lebih memberikan kepastian seperti yang terjadi pada kalender masehi?
Perbedaan pendapat yang paling terang dan paling sering terjadi adalah dalam penentuan jatuhnya awal bulan Ramadhan, bulan Syawal, bulan haji, dan seterusnya.
Umat Islam sering berbeda pendapat dalam hal ini. Bahkan, pada tahun yang sama mungkin terjadi perbedaan pendapat yang lebih dari dua, seperti di Indonesia. Kondisi ini tentu cukup ironi dan entah kapan akan berakhir.
Salah seorang pemikir di Timur Tengah menjelaskan tentang latar belakang kalender hijriyah mendasari penghitungan pada peredaran rembulan. Ia bercerita, sebelum masyarakat Hijaz pra-Islam mengenal konsep Allah, mereka sudah mengenal konsep tuhan-tuhan dari berbagai peradaban yang ada di sekitar wilayah mereka.
Dalam pikiran masyarakat Hijaz terbesit kehendak untuk menciptakan konsep tuhan dari al-Lâta, Dewa Rembulan bagi masyarakat Syria (Syam). Masalahnya dewa ini adalah dewa perempuan dan tidak sesuai dengan karakter maskulinitas atau kejantanan masyarakat Hijaz (Tafsir Ibnu Katsir, halaman 1780).
Selain itu, mereka juga tidak ingin "menyakiti" Al-Lâta dengan mengubahnya jadi dewa laki-laki dan mengkhawatirkan murkanya.
Mereka kemudian mengubah (menderivasi) kata al-Lâta (mu'annats/perempuan) menjadi kata "Allah" (mudzakkar/laki-laki). Dengan kata lain, secara linguistik mereka mengubah rembulan dari berstatus perempuan menjadi berstatus laki-laki.
Setelah menyepakati kata "Allah" sebagai Tuhan, mereka memposisikan Allah sebagai Tuhan tertinggi. Sementara posisi al-Lâta berada di bawahnya. Tepatnya, al-Lâta diposisikan sebagai salah satu anak perempuan Allah.
Dengan demikian mereka merasa telah berhasil mendamaikan antara karakter maskulinitas atau kejantanan mereka dan feminitas/keperempuanan al-Lâta, di satu sisi, serta tetap menjaga diri dari murka al-Lâta di sisi lain.
Selain al-Lâta, mereka menambahkan anak-anak perempuan Allah dari peradaban lain: Uzza, Dewa Kekuatan dari Sinai, dan Manat, Dewa Pembagi Nasib dari Mesir. Terbentuklah konsep Allah, Tuhan Laki-laki, Dewa Rembulan, dalam kesadaran mereka.
Selain Allah, mereka juga mengagungkan al-Lâta, Uzza, dan Manat yang menjadi anak-anak perempuan Allah. Tentang tiga anak perempuan Allah ini juga digambarkan oleh Philip K Hitti dalam History of The Arabs, halaman 123.
Selain itu mereka juga menjadikan rembulan (hilâl) sebagai simbol Allah dan bintang (najmah) sebagai simbol Uzza. Keduanya menjadi simbol yang mereka agungkan. Hingga saat ini, negara-negara di wilayah Timur Tengah menggunakan rembulan dan bintang dalam bendera-bendera mereka.
Berdasarkan ketuhanan rembulan inilah mereka menetapkan penghitungan kalender pada rembulan. Mereka juga menentukan berbagai ritual berdasarkan rembulan, baik shalat, puasa, maupun haji.
Penghitungan kalender berdasarkan peredaran rembulan ini diteruskan setelah Islam datang dan berkembang di wilayah Arab. Dalam Al-Qur’an ditegaskan, "Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, 'Itu adalah petunjuk waktu bagi manusia dan ibadah haji,'" (Surat Al-Baqarah ayat 189).
Inilah sekelumit penjelasan tentang penanggalan hijriyah yang mendasari penghitungannya pada rembulan. Wallahu a'lam bis shawâb.
Penulis: Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta KH Taufik Damas Lc Editor: Alhafiz Kurniawan