Soal Jenazah Positif Covid-19 yang Berbantal Semen dan Tidak Dimandikan
Senin, 31 Agustus 2020
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya mohon izin bertanya. Keponakan saya telah didiagnosa mengalami gagal ginjal, yang karenanya, selama 2 bulan terakhir telah keluar-masuk rumah sakit untuk keperluan cuci darah. Pada 19 Agustus kemarin, ia meninggal dunia di rumah.
Dalam perjalanan pulang, jenazah diminta Dinas Kesehatan (Dinas Kesehatan) karena berdasar hasil swab, ia dinyatakan positif tertular Covid-19. Saya yang mendampingi Almarhum saat naza', akhirnya diisolasi tanggal 19 Agustus sampai 2 September. Hingga kini terjadi pro-kontra di keluarga kami.
Saat itu saya yang memang meng-ACC agar kita manut (patuh kepada) Dinkes. Pihak keluarga yang kecewa akhirnya ikut masuk ke tempat pemulasaraan Jenazah. Di ruang itu, mereka menemukan beberapa masalah:
- Jenazah hanya diseka, lalu ditayamumi, tidak dimandikan.
- Betul dikafani tapi bantalan yang digunakan untuk menyangga jenazah adalah semen kering, bukan tanah.
- Jenazah tidak dikeluarkan dari peti (itu pasti karena memang dinyatakan positif Corona)
Pada poin 1 dan 2 adik-adik Almarhum masih mencecar saya. Jawaban saya masih bermuatan logika belum bisa menjelaskan dasar fiqih yang gamblang. Karenanya saya mohon pencerahannya Njenengan. Terima Kasih. (Hamba Allah)
Jawaban
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.
Penanya yang budiman! Semoga Allah SWT senantiasa menyampaikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kita sekalian sehingga kita dimudahkan untuk menggapai ridha-Nya.
Covid-19, merupakan wabah yang sudah ditetapkan status bahayanya oleh para ahli yang berkompeten dengannya, yang dalam hal ini adalah para dokter. Untuk itu, kita selaku masyarakat awam yang tidak memahami seluk beluk dunia kedokteran, dan merupakan pihak yang membutuhkan kinerja mereka, informasi dari mereka, dan pengobatan dengan wasilah keahlian mereka, sudah selayaknya bersyukur atas diagnosa mereka ini sehingga kita bisa mengantisipasinya sejak jauh-jauh hari untuk menjaga kesehatan kita.
Bagaimanapun juga, memprioritaskan kesehatan, khususnya bagi pihak keluarga atau masyarakat yang masih hidup, adalah tindakan yang diutamakan dalam syariat. Salah seorang ulama yang bergelar Sulthanu al-Auliya (pembesar para ulama) Syekh Izzuddin bin Abdissalam rahimahullahu di dalam kitabnya, menjelaskan:
الضَّرْبُ الثَّانِي: مَشَقَّةٌ تَنْفَكُّ عَنْهَا الْعِبَادَاتُ غَالِبًا، وَهِيَ أَنْوَاعٌ: النَّوْعُ الْأَوَّلُ مَشَقَّةٌ عَظِيمَةٌ فَادِحَةٌ كَمَشَقَّةِ الْخَوْفِ عَلَى النُّفُوسِ وَالْأَطْرَافِ وَمَنَافِعِ الْأَطْرَافِ فَهَذِهِ مَشَقَّةٌ مُوجِبَةٌ لِلتَّخْفِيفِ وَالتَّرْخِيصِ؛ لِأَنَّ حِفْظَ الْمُهَجِ وَالْأَطْرَافِ لِإِقَامَةِ مَصَالِحِ الدَّارَيْنِ أَوْلَى مِنْ تَعْرِيضِهَا لِلْفَوَاتِ فِي عِبَادَةٍ أَوْ عِبَادَاتٍ ثُمَّ تَفُوتُ أَمْثَالُهَا
“Jenis masyaqqah (kesulitan) yang kedua adalah masyaqqah yang bisa melepaskan tuntutan dari ibadah secara umum. Masyaqqah yang masuk kelompok ini ada beberapa macam. Pertama, adalah masyaqqah yang sangat besar, seperti timbulnya rasa khawatir atas keselamatan jiwa, keselamatan organ tubuh, dan manfaatnya. Masyaqqah jenis ini menghendaki upaya peringanan dan dispensasi ibadah, sebab menjaga kesehatan tubuh dan anggota badan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat adalah lebih diprioritaskan dibanding memaksakan diri dalam aktivitas satu ibadah atau beberapa ibadah, namun ibadah yang lain menjadi terbengkalai karenanya” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalihi al-Anamli al-‘Izz ibn Abd al-Salam, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991, Juz 2, h. 10).
Tidak Memandikan Jenazah dengan Hanya Menyeka dan Mentayamuminya
Adapun terkait dengan penanganan jenazah, idealnya jenazah seorang muslim adalah wajib untuk dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan sebagaimana mestinya. Akan tetapi, tuntutan realitas terkadang menghendaki hal lain. Dalam penjelasan Syekh Izzuddin bin Abdissalam di atas, menjaga keselamatan pihak yang masih hidup lebih kuat (aqwa) dari sisi syariat untuk diprioritaskan. Dengan demikian berlaku kebolehan mengambil keringanan berupa mengikuti tuntunan yang juga dilegitimasi oleh syariat.
Tuntunan yang paling mendekati sempurna tapi dengan tidak mengabaikan protokol kesehatan serta tidak membahayakan pihak lain seumpama petugas dan masyarakat yang hadir, adalah tuntunan yang menyatakan bolehnya jenazah untuk sekadar diseka dengan air, atau cukup ditayamumi. Catatan yang mesti diperhatikan adalah selagi jasad mayit (jenazah) masih belum hancur. Hasil bahtsul masail PBNU menukil sebuah keterangan dari Syekh Abdurrahman Al-Jaziry yang menegaskan praktik pemulasaraan jenazah terhadap korban tenggelam, sebagai berikut:
أما إن كان لاينقطع بصب الماء فلا يتيمم بل يغسل بصب الماء بدون دلك
“Adapun bila mayit tidak dikhawatirkan terputus anggota badannya akibat dituangi air, maka tidak perlu ditayamumi, namun dimandikan dengan jalan menuangkan air dengan tanpa digosok” (al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah li Abdurrahman al-Jaziry, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, Jilid 1, h. 476).
Jika terhadap korban yang tenggelam berlaku ketentuan semacam, maka bagaimana dengan korban meninggal yang diidentifikasi sebagai tertular penyakit menular? Maka dalam hal ini, berlaku ketentuan pendekatan fiqih, yaitu (1) upaya menanganinya dengan cara yang mendekati sempurna dan lebih menyelamatkan, dan (2) tetap memprioritaskan keselamatan petugas dan pihak lain yang hadir dengan alasan dlarurat li al-hajah (darurat kebutuhan).
Dan cara yang memungkinkan ke mendekati sempurna tersebut adalah dengan jalan menyeka. Namun, karena menyeka belum masuk kategori mandi secara sempurna, maka disempurnakan dengan jalan tayamum.
Sebenarnya, dengan jalan mentayamumi mayit saja sudah cukup berdasar nash. Akan tetapi, karena adanya tuntunan bahwa setiap darurat harus bisa ditentukan kadar ukurannya (ma ubiha li al-dlarurati tuqaddaru biqadariha), maka diperlukan tindakan menyeka tersebut oleh petugas yang memakai perangkat pengaman/baju APD.
Soal Bantalan dari Semen Kering dan Peti Jenazah
Adapun mengenai bantalan mayit, Sayyid Bakri bin Syatha’ di dalam I’anatu al-Thalibin Hasyiyah Fathu al-Mu’in telah menjabarkan mengenai ketentuan bantalan tersebut. Beliau menegaskan bahwa bantalan mayit itu boleh terdiri atas tiga hal, yaitu (1) turab (tanah/debu), (2) labinah (batu bata) atau (3) hajar (batu). Penjelasan dari beliau ini dihadirkan ketika menjelaskan mengenai maksud dari Syekh Zainuddin al-Malaibary yang menyatakan:
ويندب الافضاء بخده الايمن - بعد تنحية الكفن عنه - إلى نحو تراب، مبالغة في الاستكانة والذل، ورفع رأسه بنحو لبنةوكره صندوق – إلالنحو نداوة فيجب
“Disunnahkan menempelkan pipi bagian kanan - setelah menyingkap kafan darinya – ke tanah, dengan maksud sebagai penekanan terhadap sifat kejadian dan hinanya makhluk, dan meninggikan bagian kepala dengan seumpama labinah (batu bata). Makruh hukumnya menaruh mayit di dalam peti, kecuali karena ada unsur yang mengharuskannya, sehingga wajib dimasukkan peti.”
Saat menjelaskan lafadh ila nahwi turab (mengarah ke tanah), Sayyid Bakri ibn Syatha’ menegaskan:
متعلق بإفضاء ودخل تحت نحو الحجر واللبن
“Lafadh ini berkaitan dengan lafadh ifdla’ (menempelkan), dan termasuk di dalam bagian pengertiannya adalah menempelkan ke arah batu (hajar) atau batu bata (al-labin).” (I’anatu al-Thalibin Hasyiyah Fathu al-Mu’in, Beirut: Dar al-Fikr li al-Thalabah wa al-Tauzi’, Jilid 2, h. 124).
Dengan mencermati dua keterangan terakhir, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa:
- Hukum menempelkan pipi mayit ke tanah adalah sebuah kesunnahan. Artinya, dalam kondisi tertentu dan tidak darurat, maka sangat dianjurkan untuk dilakukan. Namun, dalam kondisi darurat, maka meninggalkan penempelan pipi ke tanah adalah tidak menjadi sebuah keharusan. Semen, tidak masuk bagian dari debu yang dimaksudkan sebagai turab. Sebab, yang dimaksud dengan debu di dalam fiqih, adalah tanah yang bisa dijadikan alat untuk bersuci (tayamum), sebagaimanahal yang sama juga berlaku untuk batu bata (labinah) dan batu (hajar), yang keduanya merupakan sarana yang bisa dipergunakan untuk istinja’.
- Sementara semen, adalah bukan termasuk yang bisa dijadikan sebagai sarana bersuci. Akan tetapi, jika semen itu dipadatkan untuk tujuan bantalan, maka hukumnya menempati hukum batu. Namun, ada atau tidaknya debu serta bantalan bagi mayit, tidak bersifat bahaya bagi penanganan jenazah, sebab hal tersebut adalah kesunnahan semata.
- Menaruh mayit di dalam peti (kotak) karena wabah yang diidentifikasi sebagai bahaya, hukumnya adalah wajib. Sayyid Bakri di dalam kitab I’anah menambahkan tujuan pemetian tersebut adalah untuk kemaslahatan dalam menguburkan mayit.
ويكره صندوق - أي جعل الميت فيه - ولا تنفذ وصيته بذلك، فإن احتيج إلى الصندوق لنداوة ونحوها - كرخاوة في الأرض - فلا كراهة، وهو - أي الصندوق المحتاج إليه من رأس المال - كالكفن، ولأنه من مصالح دفنه الواجب
“Makruh menggunakan peti – yakni memetikan mayit di dalam suatu kotak. Tidak boleh melaksanakan wasiat berupa permintaan dipetikan. Namun, bila peti tersebut dibutuhkan karena adanya keharusan melaksanakannya – sebagaimana mencari tempat yang lunak dari bumi – maka tidak makruh menggunakannya, sebab peti yang dibutuhkan tersebut berasal dari harta tinggalan mayit, sebagaimana kafan. Selain itu, peti juga dibutuhkan karena arah mencari kemaslahatan dalam menguburkan mayit, yang mana hukum menguburkan adalah wajib (secara syariat).” (I’anatu al-Thalibin Hasyiyah Fathu al-Mu’in, Beirut: Dar al-Fikr li al-Thalabah wa al-Tauzi’, Jilid 2, h. 124)
Demikian jawaban kami, semoga dapat menjadi solusi bagi permasalahan yang tengah terjadi di keluarga penanya. Semoga almarhum dilapangkan kuburnya dan diterima amal ibadahnya oleh Allah SWT, serta mendapatkan ampunan dari-Nya! Wallahu a’lam bish shawab.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Kabupaten Gresik dan Anggota PD DMI Kabupaten Gresik