Tiga Hal yang Seharusnya Kita Perhatikan terhadap Orang-orang Lemah
Jumat, 21 Agustus 2020
Orang-orang lemah adalah mereka yang tidak memiliki daya atau kekuatan yang memadai untuk menghadapi kesulitan-kesulitan hidupnya. Kesulitan-kesulitan itu pada umumnya berupa kondisi sosial-ekonomi atau kesehatan yang lemah seperti yang dialami para fakir miskin, anak-anak terlantar, orang-orang sakit yang tak kunjung sembuh hingga sangat lemah keadaannya, mereka yang tak mampu bekerja karena keterbatasan fisik atau mental (kaum difabel), atau para korban bencana yang kehilangan harta benda, pekerjaan, dan mengalami gangguan fisik atau mental, serta mereka yang menjadi korban kekerasan oleh perseorangan, kelompok ataupun sistem politik atau budaya yang menyengsarakan.
Mereka hidup menderita dan memerlukan kepedulian dari masyarakat berupa bantuan apa saja untuk meringankan beban hidupnya. Islam memperhatikan nasib mereka dengan menganjurkan umatnya untuk berpihak kepada mereka dengan membantu mengatasi kesulitan-kesulitan mereka sebagaimana dinasihatkan oleh Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, hal. 136-137) sebagai berikut:
ـ(وعليك) بجر قلوب المنكسرين، وملاطفة الضعفاء والمساكين، ومواساة المقلين، والتيسير على المعسرين، وإقراض المستقرضين، وفي الحديث أن ثواب القرض يزيد على ثواب الصدقة بثمانية أضعاف؛ وذلك أن القرض لا يأخذه إلا محتاج
Artinya: “Hendaknya Anda selalu berusaha menghapus duka lara kaum sengsara, menghibur hati kaum lemah dan fakir miskin, menolong kaum melarat, meringankan derita kaum yang dilanda nestapa serta memberikan pinjaman (uang atau barang) kepada yang terpaksa meminjam darimu. Dalam hadits disebutkan bahwa pahala memberi pinjaman lebih besar dari pahala sedekah sebanyak delapan kali lipat. Sebabnya ialah karena tak akan mengambil pinjaman kecuali yang benar-benar memerlukannya.”
Dari kutipan di atas dapat diuraikan hal-hal apa saja yang sebaiknya kita lakukan dan tidak kita lakukan terhadap kaum lemah sebagai berikut:
Pertama, kita tidak sepatutnya tinggal diam terhadap mereka yang hidupnya sengsara seperti orang-orang yang hidup sebatang kara termasuk para janda miskin dan anak-anak terlantar. Upaya menghapus kesengsaraan mereka hendaknya dilakukan dengan memberinya bantuan berupa uang, makanan, barang, tenaga, pikiran atau perlindungan berupa tempat tinggal misalnya, hingga kesengsaraan mereka dapat berkurang atau terhapus sama sekali. Anak-anak terlantar yang masih usia sekolah perlu mendapat bantuan berupa kesempatan mengenyam pendidikan secara gratis atau dengan mendapatkan beasiswa.
Jika kita tidak bisa melaksanakan hal tersebut secara langsung, kita dapat menyampaikan bantuan kita melalui lembaga-lembaga kredibel yang memiliki concern terhadap persoalan-persoalan ini seperti lembaga amil zakat, infaq dan sedekah, semisal LAZISNU yang berafiliasi dengan NU, atau BAZ yang berafiliasi dengan pemerintah, atau lembaga lainnya. Lembaga-lembaga seperti itu memang didirikan untuk mengatasi persoalan-persoalan di atas dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam bentuk penyaluran zakat, infaq dan sedekah.
Kedua, kita tidak sepatutnya menambah penderitaan orang-orang lemah dan fakir miskin yang dalam kehidupan sehari-harinya sudah sangat menderita. Caranya adalah dengan tidak mem-bully, tidak menyakiti, tidak menzalimi, tidak mengeksploitasi, apalagi menindas mereka. Hal ini sangat dilarang di dalam agama sebagaimana pesan Allah di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
فَأَمَّا ٱلْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ (٩) وَأَمَّا ٱلسَّآئِلَ فَلَا تَنْهَرْ (١٠
Artinya: “Terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.” (QS ad-Duha 9-10).
Kedua ayat tersebut merupakan landasan teologis yang sangat kuat tentang larangan mem-bully, menzalimi, mengeksploitasi, apalagi menindas mereka yang dalam kehidupan sehari-harinya sangat menderita baik secara fisik, psikis maupun sosial-ekonomi.
Rasululullah shallahhu ‘alaihi wa sallam menjanjikan penghargaan yang tinggi kepada siapa saja yang membela, melindungi, menyantuni dan memelihara orang-orang lemah seperti fakir miskin terutama yatim piatu sebagai berikut:
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَا وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئاً
Artinya: “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah beliau, serta agak merenggangkan keduanya.”
Jadi Rasulullah telah menegaskan barang siapa berpihak kepada orang-orang lemah sebagaimana disebutkan di atas, mereka akan berkumpul bersama Rasulullah kelak di akhirat di dalam surga. Hubungan mereka sangat dekat dan hampir tak berjarak karena diibaratkan bagaikan jari telunjuk dan dari jari tengah yang tak terhalang oleh apapun.
Ketiga, terhadap orang-orang miskin yang karena terdesak kebutuhan lalu bermaksud meminjam kepada kita, maka hendaknya kita berikan pinjaman itu baik berupa uang atau barang sesuai dengan kebutuhan mereka. Memenuhi permintaan pinjaman sesungguhnya lebih besar pahalanya dari pada memberikan sedekah baik dia meminta atau tidak memintanya sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ssallam yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik radhiallahu ‘anhu sebagai berikut:
رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ مَكْتُوبًا الصَّدَقَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا وَالْقَرْضُ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيلُ مَا بَالُ الْقَرْضِ أَفْضَلُ مِنْ الصَّدَقَةِ قَالَ لِأَنَّ السَّائِلَ يَسْأَلُ وَعِنْدَهُ وَالْمُسْتَقْرِضُ لَا يَسْتَقْرِضُ إِلَّا مِنْ حَاجَةٍ
Artinya: "Pada malam aku diisra’kan aku melihat di atas pintu surga tertulis, “'Sedekah akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali, dan memberi pinjaman akan dilipat gandakan menjadi delapan belas kali. Kemudian saya bertanya kepada Jibril, 'Bagaimana orang yang memberi pinjaman lebih utama dari pada oarang yang bersedekah?’ Kemudian Jibril menjawab 'Karena orang yang meminta, dia sendiri seringkali dalam keadaan mempunyai harta. Sedangkan orang yang meminjam (utang), ia tidak akan meminjam kecuali dalam keadaan butuh.'” (HR Ibnu Majah).
Hadits tersebut berdasarkan pengalaman Rasulullah ketika sedang melaksanakan Isra Mi'raj dan diajak jalan-jalan masuk surga. Di sana beliau menemukan sebuah tulisan yang bunyinya sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas. Tulisan itu kemudian dijelaskan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah bahwa maksudnya adalah memberikan pinjaman lebih besar pahalanya dari pada sedekah dengan selisih 8 kali lipat.
Argumentasi Malaikat Jibril adalah karena orang yang meminta seringkali dia sendiri dalam keadaan mempunyai harta. Sedangkan orang yang meminjam, ia tidak akan meminjam kecuali dalam keadaan butuh." (lihat Abu al-Husain Yahya ibn Abi al-Khair Salim al-‘Imrani asy-Syafi’i al-Yamani, al-Bayan fi Madzahib al-Imam asy-Syafi’i, Dar al-Minhaj, jilid 5, Cetakan I, 2002, hal. 456).
Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin kita pernah mengalami seseorang menyampaikan maksudnya kepada kita untuk meminjam uang sebesar yang dia butuhkan, taruhlah Rp1.000.000 untuk membayar SPP anak. Tetapi kita tidak bisa meminjaminya sebesar itu dengan alasan tertentu. Lalu kita memberinya sedekah seikhlas kita, taruhlah Rp100.000.
Uang sedekah senilai itu tentu tidak signifikan, meski tetap berpahala, dibandingkan dengan nilai yang dia butuhkan sebagai pinjaman, apalagi jika hanya senilai itu dia sendiri memilikinya. Di sinilah logikanya dilihat dari besarnya kemanfaatan menyelesaikan masalah mengapa memberi pinjaman sesuai dengan kebutuhan si peminjam lebih besar pahalanya dari pada sedekah yang besarnya tidak dia butuhkan, sekalipun dalam meminjam seseorang harus mengembalikan dengan jumlah yang sama, sedangkan dalam sedekah si penerima tidak ada kewajiban mengembalikan.
Demikianlah tiga hal yang hendaknya kita perhatikan dalam bersikap terhadap orang-orang lemah seperti fakir miskin, yatim piatu, anak-anak terlantar, orang sebatang kara, janda tua miskin tak berdaya, para difabel yang membutuhkan pertolongan, para korban bencana atau korban pengurusan sewenang-wenang yang jatuh miskin, dan sebagainya. Sikap yang dianjurkan kepada mereka adalah lemah lembut, kasih sayang, membela, menyantuni dan melindungi. Sikap sebaliknya merupakan kezaliman yang sangat dibenci oleh Allah subhanu wa ta’ala.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.