Hukum Bersuci dengan Air Daur Ulang Limbah


Air merupakan material pokok dalam bersuci, baik bersuci dari hadats kecil atau besar maupun bersuci dari najis. Sebagaimana yang sudah maklum, air yang digunakan untuk bersuci harus berupa air mutlak, yaitu air yang mempunyai kualitas suci dan menyucikan. Suci untuk dirinya sendiri dan bisa menyucikan benda lain. Air mutlak dapat diartikan sebagai air netral.

 Netral di sini mempunyai maksud bahwa air tidak terpaku dengan satu nama khusus. Contohnya adalah air bening. Apabila air bening dituangkan di dalam gelas, orang-orang akan mudah mengatakan itu sebagai air gelas. Jika air tersebut dimasukkan ke dalam teko, masyarakat akan menyebutnya sebagai air teko. Begitu pula seumpama air itu dipindah ke dalam kulah, sumur dan lain sebagainya, ia akan netral menyesuaikan nama tempat di mana ia berlabuh. Intinya, di mana ada air masih bisa berubah sesuai tempat di mana air tersebut bertempat, maka air yang seperti demikian dinamakan sebagai air mutlak atau suci menyucikan. 


Berbeda misalnya dengan air kelapa muda. Air kelapa muda apabila dituangkan ke dalam tempat yang berbeda-beda, ia tidak akan bisa berubah nama sesuai tempatnya. Nama air kelapa muda sudah melekat erat. Hal yang sama berlaku juga untuk air netral yang sudah dicampur dengan daun teh dan kemudian berubah menjadi wedang teh. Ketika sudah menjadi wedang teh, dipindah ke wadah apa pun, orang akan menyebutnya sebagai air wedang teh. Air yang sudah mempunyai ciri-ciri nama melekat seperti ini tidak lagi dinamakan sebagai air mutlak (air netral). 

Bagaimana dengan status hukum air limbah yang kembali berubah menjadi bening? 

Pada dasarnya, air limbah yang tampak kotor atau berubah salah satu dari tiga sifat air disebabkan karena bercampur dengan najis, ulama sepakat bahwa hukum air tersebut menjadi mutanajjis (terkena najis). 

أجمع العلماء على أن الماء إذا وقعت فيه نجاسة فغيرت أحد أوصافه: لونه أو طعمه أو ريحه فهو نجس


Artinya: “Para ulama sepakat jika ada air tercampur dengan najis kemudian salah satu sifat-sifatnya berubah baik warna, rasa atau pun baunya, air tersebut hukumnya najis.” (Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syekh Hasan Sulaiman Al-Nuri, Ibânatul Ahkâm, [Al-Bidayah, 2018], juz 1, halaman 21)  

Apabila air yang telah berubah menjadi najis tersebut kembali pulih menjadi air netral sehingga bening lagi dan orang-orang tidak bisa membedakan ini air bekas limbah dan yang satunya tidak dari limbah, maka hukum air yang seperti demikian hukumnya kembali menjadi suci dengan catatan jumlah volume air minimal sebanyak dua kulah (setara dengan 216 liter atau air penuh dalam kubus ukuran rusuk 60 cm). Jika sudah pernah melewati dua kulah dalam satu waktu, setelah itu kembali kurang dari dua kulah, maka hukum air sudah suci menyucikan selamanya.  

ـ (فَإِنْ زَالَ تَغَيُّرُهُ بِنَفْسِهِ) بِأَنْ لَمْ يَنْضَمَّ إلَيْهِ شَيْءٌ كَأَنْ طَالَ مُكْثُهُ (أَوْ بِمَاءٍ) انْضَمَّ إلَيْهِ وَلَوْ مُتَنَجِّسًا، أَوْ أَخَذَ مِنْهُ وَالْبَاقِي كَثِيرٌ بِأَنْ كَانَ الْإِنَاءُ مُنْخَنِقًا بِهِ فَزَالَ انْخِنَاقُهُ وَدَخَلَهُ الرِّيحُ وَقَصَرَهُ أَوْ بِمُجَاوِرٍ وَقَعَ فِيهِ أَيْ أَوْ بِمُخَالِطٍ تَرَوَّحَ بِهِ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ مِمَّا يَأْتِي فِي نَحْوِ زَعْفَرَانٍ لَا طَعْمَ وَلَا رِيحَ (طَهُرَ) لِزَوَالِ سَبَبِ التَّنَجُّسِ 


Artinya: “Jika air yang berubah tersebut kembali netral, bisa jadi karena diam dalam tempo lama, tidak ada benda atau zat yang dimasukkan, atau dengan cara ditambah air yang banyak walaupun dengan air najis, atau juga ada bagian air yang diambil sedangkan sisanya masih banyak seperti air yang ditaruh diwadah tertutup, setelah itu tutupnya dibuka lalu kemasukan angin, atau sebab benda yang jatuh kemudian berdampingan dengan air, atau bisa jadi karena tercampur dengan benda yang bisa menyegarkan seperti minyak za’faran yang tidak mempunyai rasa dan bau, maka hukumnya suci sebab sebab najisnya sudah hilang.” (Ibnu Hajar Al-Haitami. Tuhfatul Muhtâj, [al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, Mesir, 1983], juz 1, halaman 85). 

Pada salah satu pengelolaan air limbah adalah Andrich Tech System di yang pernah diujicobakan di Jakarta. Teknologi ini dinilai dapat mengembalikan limbah septic tank yang bercampur antara tinja dengan air, bisa memisahkannya kembali menjadi 95 persen air bersih. Secara dasar, cara kerja teknologi Andrich yang pertama adalah memisahkan kotoran tinja manusia yang besar dari air dengan penyaring besar. Kedua, menyaring air berulang kali sehingga yang tersisa pada air adalah air dengan campuran kotoran tinja yang lembut atau ringan. Ketiga, memberikan zat kimiawi yang berfungsi mengelompokkan kotoran ringan yang masih terapung menjadi berat secara beban dan kemudian mengkristal sehingga kotoran yang mengapung tersebut bisa mengendap ke bawah. Air yang tersisa di atas menjadi bening kembali.  

Perlu diketahui, tinja adalah benda najis yang tidak bisa menjadi suci lagi, namun air limbah atau air yang diambil dari septic tank tidak murni dari unsur tinja 100 %. Septic tank yang berisi tinja, terdapat kadar air yang dibuat menyiram kloset dengan komposisi air sekian persen. Artinya, apabila air yang bercampur najis tersebut dapat dipisahkan kembali dari najisnya dan air bisa bersih seperti sedia kala, maka air bisa kembali suci dengan bagaimana pun caranya. Menurut Imam Nawawi, yang membuat najis itu perubahan sifatnya. Apabila perubahan sifat sudah hilang, maka kembali menjadi suci. 

لِأَنَّ سَبَبَ النَّجَاسَةِ التَّغَيُّرُ، فَإِذَا زَالَ طَهُرَ


Artinya: “Karena sebabnya najis adalah perubahan (sifat air). Apabila hilang perubahannya, hukumnya kembali suci.” (Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz I, halaman 132) 

Pada prinsipnya, menurut Imam Nawawi, air yang berubah sifatnya kemudian kembali netral itu dibagi menjadi lima. Empat di antaranya disepakati oleh ulama, itu pasti suci. Dan yang satu terdapat perbedaan pendapat. 

Dalam referensi yang sama dijelaskan: 

وَيَطْهُرُ بِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهَا وَخَامِسٍ مُخْتَلَفٌ فِيهِ فَذَكَرَ زَوَالَهُ بِنَفْسِهِ وَبِمَا يُضَافُ إلَيْهِ أَوْ يَنْبَعُ فِيهِ أَوْ يُؤْخَذُ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ وَالْمُخْتَلَفُ فِيهِ أَنْ يَزُولَ بِالتُّرَابِ فَقَوْلَانِ


Artinya: “Air bisa menjadi suci dengan empat hal. Yang empat disepakati ulama, sedangkan yang kelima terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, perubahan air hilang dengan sendirinya. Kedua, sebab dimasuki benda baru. Ketiga, perubahan air hilang karena ada benda yang tumbuh di dalam air tersebut. Misalnya lumut atau ganggang yang kemudian bisa menyerap perubahan air sehingga air menjadi bening kembali. Ketiga, sebab ada hal yang diambil dari air. Contohnya ada air yang berubah warnanya karena kejatuhan bangkai tikus. Bangkainya diambil lalu menjadikan air bening kembali. Seperti ini ulama sepakat air menjadi suci menyucikan. Kelima, air berubah lalu diberi tanah, ini ulama berbeda pendapat. Menurut qaul ashah, air berubah yang diberi tanah sifatnya tidak kembali netral, namun perubahannya tertutup dengan tanah.” (Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, I:134) 

Imam Nawawi memandang netralitas air tersebut dengan kata kunci “yang penting kembali netral dan jumlah volume air lebih dari kulah”, maka sucilah air tersebut. Kalau perubahan najisnya hilang karena rekayasa ditimpa oleh sifat sejenis maka tidak bisa suci. Misalkan ada air berbau busuk, kemudian airnya disiram parfum menjadi wangi, atau pula warna air keruh sebab najis lalu dikasih pewarna makanan, konsep rekayasa yang seperti demikian tidak bisa menjadikan suci menyucikan. Berbeda apabila airnya direkayasa menjadi netral dan bening kembali, maka menjadi suci menyucikan. 

Kesimpulannya, air limbah atau air apapun yang mengalami perubahan sifat, apabila suatu saat bisa kembali netral atau bening kembali dan volumenye lebih dari dua kulah, maka air tersebut suci menyucikan karena yang menyebabkan najis sudah hilang. Wallahu a’lam.  

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang 

Belum ada Komentar untuk "Hukum Bersuci dengan Air Daur Ulang Limbah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel