Khutbah Jumat: Cara Kaisar Heraclius Memverifikasi Kenabian Muhammad
Senin, 02 Maret 2020
Tulis Komentar
Khutbah I
بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ للهْ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَدَّبَ نَبِيَّهُ مُحَمَّدًا ﷺ فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللُه وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، الَّذِيْ جَعَلَ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا ﷺ صَفِيَّهُ وَحَبِيْبَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا ﷺ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه الْمَبْعُوْثُ الْمَمْلُوْءُ بِالْهُدَى وَالرَّحْمَة، اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ﷺ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةْ. أما بعدَه: فَيَا عِبَادَ اللهِ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Hadirin hafidhakumullâh,
Dalam kesempatan Jumat kali ini, saya berpesan untuk pribadi saya sendiri dan para hadirin sekalian, mari kita tingkatkan takwa kita kepada Allah subhânahû wa ta’âlâ seraya menunaikan semua perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Hadirin.
Nabi Muhammad merupakan utusan Allah sebagai rahmat untuk seluruh alam. Beliau diutus tidak hanya disuruh berbuat baik kepada orang mukmin saja, bukan diutus hanya berbuat baik untuk orang muslim saja. Bukan. Namun Baginda Rasul diutus untuk semuanya, baik manusia secara keseluruhan, hewan, tumbuhan, semua yang ada di jagat raya ini.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya: “Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk seluruh alam.” (QS Al-Anbiya’: 107)
Sikap Nabi Muhammad menjadi cerminan perilaku agung bagi seluruh umat manusia. Dalam kitab Ad-Dibaiy, Syekh Abdurrahman menceritakan, di antaranya:
إِنْ أُوْذِيَ يَعْفُ وَلَا يُعَاقِبْ، وَإِنْ خُوْصِمَ يَصْمُتْ وَلَا يُجَاوِبْ
Artinya: “Jika disakiti, beliau mengampuni dan tidak kemudian membalas. Jika didebat, beliau memilih diam dan tidak melayani perdebatan itu.”
Sayyid Ali bin Alwi Al-Habsyi, dalam maulid Simtud Durar mengisahkan:
إِذَا دَعَاهُ الْمِسْكِيْنُ أَجَابَهُ اِجَابَةً مُعَجَّلَةً، وَهُوَ الأاَبُ الشَّفِيْقُ بِالْيَتِيْمِ وَالْأَرْمَلَةِ
Artinya: “Apabila Nabi Muhammad diundang oleh orang yang miskin, beliau akan mendatangi undangannya dengan segera. Beliau merupakan sosok ayah yang kasih sayangnya begitu besar kepada anak yatim dan para janda.”
Hadirin.
Sangat banyak kisah akhlak Rasulullah yang diriwayatkan di berbagai buku sejarah. Tidak hanya kepada orang Islam yang iman saja kebaikan perilakunya diakui. Namun hingga yang tidak mau tunduk pada beliau pun ketika bicara jujur, mereka mengakui keagungan sikap Nabi Muhammad ﷺ.
Sebagai contoh, berikut ini adalah pengakuan jujur dari Abu Sufyan kepada Kaisar Heraclius sebagaimana diungkap dalam kitab Irsyâdus Sârî syarah Shahîh Bukhâri karya Syekh Ahmad bin Muhammad al-Qathalani juz 1, halaman 72.
Hadirin.
Heraclius atau dalam bahasa latinnya Flavius Heraclius Augustus merupakan Kaisar Bizantium (Romawi Timur) yang berkuasa selama 30 tahun yaitu sejak 5 Oktober 610 – 11 Februari 641 setelah ia mampu melengserkan Pochus.
Kemungkinan, karena pengaruhnya yang besar disertai luas wilayah kekuasaannya, mendorong Nabi Muhammad untuk berkirim surat kepada Kaisar Romawi tersebut. Namun ada sedikit kendala. Kaisar belum mengetahui profil pengirim surat, sehingga ia perlu tahu dahulu siapa sebenarnya yang mengirimkan surat itu.
Kebetulan, Abu Sufyan bin Harb bersama orang-orang kafir Quraisy sedang berdagang di Syam. Waktu itu Abu Sufyan belum masuk Islam. Ia merupakan ayah dari Muawiyah seorang pendiri Bani Umayyah.
Abu Sufyan bersama rombongan diminta menghadap Kaisar Romawi. Di sekelilingnya, para punggawa-punggawa kerajaan siap mendengarkan apa isi risalah yang telah diterima Kaisar.
Kaisar Heraclius mencoba bertanya kepada rombongan dengan Bahasa Romawi, rombongan dari Arab tidak ada yang paham. Sehingga perbincangan dibantu dengan translator (penerjemah)
“Mana di antara kalian yang mempunyai hubungan kerabat paling dekat dengan orang yang merasa dirinya sebagai Nabi itu?” tanya Heraclius.
“Saya. Saya keluarga paling dekat dengan orang yang anda maksud,” jawab Abu Sufyan. Memang Abu Sufyan bin Harb termasuk keluarga dekat Rasulullah. Ia menjadi suami dari bibi Nabi yang bernama Shafiyyah binti Abdul Muthallib. Hanya saja ia belum mendapat hidayah masuk Islam kala itu.
Setelah mengaku sebagai kerabat, Heraclius tentu yakin, Abu Sufyan banyak tahu kepribadian saudaranya sendiri. Ia meminta Abu Sufyan dibawa mendekat. “Bawa orang itu mendekat kemari sekaligus teman-temannya sekalian,” pinta Kaisar.
Kaisar berpesan kepada penerjemahnya, “Katakan kepada mereka. Saya akan bertanya tentang profil laki-laki yang mengirim surat ini. Jika dia berbohong kepada saya, maka berbuat bohonglah kalian kepadanya! Demi Tuhan, kalau bukan karena malu, jika mereka membohongiku, saya akan membohonginya.”
Setelah bercerita tentang ancaman Kaisar, Abu Sufyan lalu berkisah. “Sayalah orang pertama yang dicecar aneka macam pertanyaan raja Romawi itu.”
“Bagaimana nasab laki-laki ini?” tanya Kaisar.
Saya jawab, “Dia orang yang mempunyai nasab terpandang.”
“Apakah ada orang lain yang pernah sekalipun mengaku, saya sebagai nabi sebelum dia?”
“Belum pernah ada.”
“Apakah ayah atau nenek moyang dia ada yang pernah jadi raja?”
“Tidak ada.”
“Siapa saja pengikut laki-laki itu? Orang-orang terpandang atau kaum lemah?”
“Orang-orang lemah.”
“Bagaimana pengikutnya? Semakin bertambah atau berkurang?”
“Semakin bertambah terus.”
“Dari pengikut-pengikutnya, setelah mereka bergabung apakah ada yang menyatakan diri keluar lagi dari komunitasnya disebabkan kebencian?”
“Tidak ada.”
“Apakah kalian pernah ragu atas kebenaran ucapannya saat ia akan berbicara.”
“Tidak. Kami tidak pernah meragukan perkataannya.”
“Apakah dia pernah menipu?”
“Tidak. Selama yang kami tahu, hingga sekarang, kami tidak pernah tahu dia melakukan penipuan.”
Kaisar menimpali “Saya tidak mampu menyampaikan kalimat apapun selain kalimat tersebut.”
Ia kembali bertanya “Apakah kalian memeranginya?”
“Ya.”
“Bagaimana cara perang di antara kalian?”
“Perang antara kami dengan dia (Muhammad) pasang surut. Terkadang dia yang menang terkadang juga kalah.”
“Apa yang dia perintahkan kepada kalian?”
“Dia (Muhammad) mengatakan ‘Sembahlah Allah yang Maha Esa. Janganlah kalian sekutukan Allah dengan apapun!. Tinggalkan apa saja yang pernah dikatakan oleh nenek moyang kalian.’ Dia juga menyuruh kami melaksanakan shalat, berperilaku jujur, menjaga diri dan selalu menjalin silaturrahim.”
Usai mendengarkan uraian Abu Sufyan yang demikian detail, Kaisar Heraclius menyuruh penerjemahnya sebagai penyambung lidah selanjutnya.
Kaisar menjelaskan, “Yang pertama tadi saya tanya bagaimana nasabnya, kamu (Abu Sufyan) menjawab, ia mempunyai nasab, begitulah para rasul (utusan Allah) semuanya juga mempunyai nasab yang terpandang daripada kaumnya itu sendiri.”
“Saya tanyakan tadi, ‘apakah sebelumnya ada seseorang yang mengaku juga sebagai nabi sebelumnya?’ Kalau jawabannya ada yang mengaku, pastinya nabi yang mengaku sebelumnya itulah yang menjadi nabi.”
“Lalu, saya tanyakan apakah di antara bapak dan nenek moyangnya terdapat orang yang mempunyai pangkat sebagai raja? Kamu menjawab ‘tak ada satupun’. Saya sampaikan, andai saja dia keturunan raja, saya meyakini dia sedang berusaha meraih jabatan yang pernah diraih kakek, nenek moyangnya.”
“Saya tanyakan, ‘apakah kalian pernah menduga ia melakukan sebuah kebohongan sebelum ia menyampaikan kata-katanya?’ Kamu menjawab ‘tak pernah’. Perlu saya jelaskan lagi, ‘saya yakin, kalau orang itu tidak pernah membiarkan dirinya berbohong kepada manusia, pasti ia tidak akan pernah berbohong kepada Allah.”
“Tadi saya juga menanyakan, ‘pengikutnya terdiri dari orang-orang terpandang atau kaum lemah?’ Kamu katakan pengikutnya adalah orang lemah. Begitulah pengikut-pengikut para rasul sepanjang sejarah.” Pengikutnya adalah orang-orang lemah.
“Saya tadi minta klarifikasi, ‘apakah pengikutnya terus bertambah atau berkurang?’ Kamu jawab ‘bertambah’. Ya begitulah keadaan orang yang beriman. Orang beriman itu akan selalu meningkat, terus meningkat hingga mencapai kesempurnaan imannya.”
“Di antara mereka yang beriman adakah yang murtad karena benci kepada agamanya itu?’ Kamu jawab ‘tidak ada’. Begitulah iman. Saat manisnya sudah bercampur menjadi satu dengan hati tidak akan bisa lekang.”
“Saya tanya, ‘apakah dia pernah menipu?’ Kamu jawab ‘tidak’. Begitulah ihwal para utusan. Ia tak pernah menjadi penipu.”
“Saya tanyakan lagi, ‘apa yang dia perintahkan kepada kalian?’ Kamu menjawab dia memerintahkan sembahlah Allah, jangan sekutukan Dia dengan apapun. Dia mencegah kalian dari menyembah berhala. Memerintahkan kalian melakukan shalat, jujur dan menjaga diri dari kemaksiatan.- Apabila yang kamu katakan itu sungguh-sungguh benar, maka orang itu pasti kelak akan menguasai negeri yang kita injak dengan kedua kaki kita saat ini. Saya yakin, orang itu sekarang sudah lahir. Sedianya, saya mengira nabi itu tidak akan lahir dari komunitas kalian, tapi tidak. Ia ternyata lahir dari golongan kalian. Andai saja saya tahu, sungguh saya sangat berkeinginan untuk menemuinya. Apabila saya berada di sisinya, pasti saya akan membasuh kedua telapak kakinya.”
Setelah menjelaskan demikian panjang lebar, Heraclius meminta dihadirkan surat yang kemudian dibacaan di hadapan Kaisar Romawi tersebut. Berikut isinya:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ. سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى، أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ. فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ وَ {يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لاَ نَعْبُدَ إِلاَّ اللَّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang maha kasih dan pengasih. Dari Muhammad, hamba Allah dan utusan-Nya kepada Heraclius pemuka Romawi. Keselamatan semoga selalu tercurahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk Tuhan.
Berikutnya, saya ajak anda dengan seruan masuk Islam (syahadat). Peluklah Islam, Allah akan memberikan anda pahala berlipat ganda. Jika anda tidak berkenan, anda akan memikul dosa Arisiyyin (dosa semua keluarga kerajaan. Sebab dalam beragama, keluarga pasti akan ikut Heraclius),
Hai para ahli kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).
Abu Sufyan kembali melanjutkan kisah pertemuannya dengan Heraclius. “Setelah Kaisar berbicara banyak dan dibacakan surat dari Nabi Muhammad, suasana tiba-tiba gaduh. Suara-suara semakin menguat. Kami kemudian dikeluarkan dari lokasi pertemuan.”
Dalam satu riwayat, hati Kaisar Heraclius sudah mantap bahwa Nabi Muhammad memang benar-benar hadir. Atas komentarnya yang mengarah condong kepada Nabi Muhammad, setelah Abu Sufyan keluar, Heraclius menyuruh orang-orang mengikuti Abu Sufyan itu. Namun tiba-tiba ia merasa keberatan jika terjadi kegaduhan lebih lanjut. Oleh karena itu, ia kemudian mengatakan “Ini tadi saya menyuruh kalian mengikuti orang-orang tadi hanya sebagai ujian saja. Saya mau menguji seberapa patuh kalian kepadaku.”
Hadirin jamaah Jumat hafidhakumullah,
Abu Sufyan yang belum masuk Islam, Kaisar Heraclius yang tidak Islam, mau-tidak mau secara jujur ia mengakui akhlak dan keshahihan perkataan Nabi Muhammad. Apalagi kita yang menjadi seorang muslim. Sudah menjadi kewajiban kita, acuan adab kita adalah Nabi Muhammad, bukan artis tv, bukan pula budaya yang jauh dari nilai Islam, mabuk-mabukan, meninggalkan shalat, suka menggunjing, adu domba dan lain sebagainnya.
Semoga kita diberi pertolongan oleh Allah subhânahu wa ta’âlâ untuk meniru sikap Nabi Muhamamd ﷺ, amin.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ العَظِيْمِ، وَجَعَلَنِي وَإِيَّاكُمْ بِماَ فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ التَّوَّابُ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمِ. أعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشيطن الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Khutbah II
Belum ada Komentar untuk "Khutbah Jumat: Cara Kaisar Heraclius Memverifikasi Kenabian Muhammad"
Posting Komentar