Beda Pendapat Ulama soal Berziarah ke Makam Wali
Rabu, 01 April 2020
Tulis Komentar
Bagi kalangan mayoritas umat Islam Indonesia, berziarah ke makam para wali merupakan tradisi yang sangat digemari. Mereka rela meluangkan waktu, mengeluarkan biaya, dan menempuh perjalanan yang jauh guna memanjatkan doa dan mengharap berkah dari para kekasih Allah subhanahu wata’ala tersebut.
Karenanya, tidak mengherankan jika makam-makam itu selalu penuh dengan peziarah. Mereka datang dan pergi silih berganti. Sebagai informasi, jumlah pengunjung makam Gus Dur di hari-hari biasa, yaitu hari Senin sampai Kamis, ada sekitar 3 ribu orang per hari. Sedangkan di hari Jumat sampai Minggu, jumlah pengunjung bisa sampai 10 ribu per hari. Ini merupakan bukti bahwa ziarah wali merupakan tradisi yang sangat diminati.
Akan tetapi, ada sebagian orang yang tidak mengikuti tradisi ini, bahkan cenderung menyalahkannya. Mereka berasumsi bahwa ziarah wali merupakan perbuatan haram, karena mengandung kemusyrikan. Mereka menganggap, ziarah wali berarti meminta kepada orang yang sudah mati agar diberi keberkahan hidup dan dijauhkan dari segala musibah, padahal meminta kepada selain Allah subhanahu wata’ala termasuk perbuatan syirik. Lalu, bagaimanakah pendapat para ulama tentang hukum ziarah wali?
Para ulama berbeda pendapat terkait hukum permasalahan ini. Pertama, ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali menyatakan, ziarah wali hukumnya sunnah, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Salah seorang ulama bermazhab Syafi’i, Syekh Khatib Assyarbini menyebutkan:
يُنْدَبُ لَهُنَّ زِيَارَةُ قَبْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهَا مِنْ أَعْظَمِ الْقُرُبَاتِ، وَيَنْبَغِي أَنْ يُلْحَقَ بِذَلِكَ بَقِيَّةُ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ
“Disunnahkan bagi perempuan menziarahi makam Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam, karena hal itu merupakan sarana terbesar untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Dan sepatutnya, makam-makam para nabi dan orang-orang shaleh disamakan dengan makam Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam” (Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Assyarbini, Al-Iqna’ fi Halli Alfadzi Abi Syuja’, h. 423).
Senada dengan Assyarbini, Syekh Zakaria Al-Anshari menuturkan:
إلَّا قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) فَلَا تُكْرَهُ لَهَا زِيَارَتُهُ، بَلْ تُنْدَبُ. وَيَنْبَغِي - كَمَا قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ وَالْقَمُولِيُّ - أَنْ تَكُونَ قُبُورُ سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْأَوْلِيَاءِ كَذَلِكَ
“… Kecuali makam Nabi shallallahu a’laihi wasallam. Maka tidak dimakruhkan bagi perempuan menziarahinya, bahkan disunnahkan. Dan sebaiknya, sebagaimana diutarakan oleh Ibnur Rif’ah dan Al-Qamuli, makam-makam para nabi dan para wali disamakan dengan makam Nabi shallallahu a’laihi wasallam” (Zakaria bin Muhammad Al-Anshari, Asnal Mathalib Fi Syarhi Raudhit Thalib, juz 1, h. 331).
Sedangkan seorang ulama bermazhab Hanbali, Syekh Ar-Rahyabani menjelaskan:
إلَّا لِقَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَبْرَيْ صَاحِبَيْهِ) أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، (فَتُسَنُّ) زِيَارَتُهُمَا لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ (وَكَذَا) تُسَنُّ لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ زِيَارَةُ (قَبْرِ نَبِيٍّ غَيْرِهِ
“…Kecuali ke makam Nabi shallallahu a’laihi wasallam dan makam kedua sahabatnya, yaitu Abu Bakar dan Umar radhiyallahu anhuma. Maka disunnahkan menziarahi keduanya bagi laki-laki dan perempuan. Begitu pula disunnahkan bagi laki-laki dan perempuan menziarahi makam nabi lain” (Musthafa bin Sa’ad Ar-Rahyabani, Mathalibu Ulinnuha fi Syarhi Ghayatil Muntaha, juz 1, h. 932).
Senada dengan Ar-Rahyabani, Syekh Al-Bahuti menjelaskan:
وَتُكْرَهُ) زِيَارَةُ الْقُبُورِ (لِلنِّسَاءِ) (غَيْرَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَبْرِ صَاحِبَيْهِ) أَبِي بَكْر وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا (فَيُسَنُّ) زِيَارَتُهَا لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ
“Dan ziarah kubur dimakruhkan bagi perempuan, kecuali makam Nabi shallallahu a’laihi wasallam dan makam kedua sahabatnya, yaitu Abu Bakar dan Umar radhiyallahu anhuma, maka menziarahinya disunnahkan bagi laki-laki dan perempuan” (Mansur al-Bahuti, Kasysyaful Qina’ an Matnil Iqna’, juz 4, h. 437).
Kedua, ulama mazhab Hanafi dan ulama mazhab Maliki menegaskan, hukum ziarah wali adalah mubah. Imam Badruddin Al-Aini dari mazhab Hanafi memberikan contoh ibadah-ibadah yang pahalanya dapat dihadiahkan kepada orang yang sudah mati:
كَالْحَجِّ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَالْأَذْكَارِ، وَزِيَارَةِ قُبُوْرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ وَالْأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ
“Seperti berhaji, membaca Al-Qur’an, berdzikir, menziarahi makam-makam para nabi, syuhada’, para wali, dan orang-orang shaleh” (Mahmud bin Ahmad Al-Aini, Al-Binayah fi Syarhil Hidayah, juz 4, h. 422).
Sedangkan Syekh Ibnu Abidin menyebutkan:
وَالتَّبَرُّكُ بِزِيَارَةِ قُبُورِ الصَّالِحِينَ فَلَا بَأْسَ إذَا كُنَّ عَجَائِزَ
“Memohon berkah dengan menziarahi makam orang-orang shaleh hukumnya tidak apa-apa, jika para peziarah (perempuan) tersebut sudah tua” (Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 3, h. 151).
Tidak jauh dari kedua ulama mazhab Hanafi di atas, salah satu ulama mazhab Maliki, Syekh Ibnul Haj Al-Maliki menerangkan:
إنَّ زِيَارَةَ قُبُورِ الصَّالِحِينَ مَحْبُوبَةٌ لِأَجْلِ التَّبَرُّكِ مَعَ الِاعْتِبَارِ، فَإِنَّ بَرَكَةَ الصَّالِحِينَ جَارِيَةٌ بَعْدَ مَمَاتِهِمْ كَمَا كَانَتْ فِي حَيَاتِهِمْ
“Sesungguhnya menziarahi makam orang-orang shaleh dianjurkan, guna memperoleh keberkahan dan pelajaran. Sebab, berkah orang-orang shaleh senantiasa masih mengalir setelah mereka wafat, sebagaimana ketika mereka masih hidup” (Ibnul Haj Al-Maliki, Al-Madkhal, juz 1, h. 255).
Syekh Al-Qairuwani juga menuliskan:
وَتُؤْتَى قُبُوْرُ الشُّهَدَاءِ بِأُحُدٍ، وَيُسَلَّمُ عَلَيْهِمْ، وَيُؤْتَى قَبْرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيُسَلَّمُ عَلَيْهِ، وَعَلَى ضَجِيْعَيْهِ
“Dan makam-makam Syuhada’ perang Uhud dikunjungi, lalu diucapkan salam atas mereka. Dan makam Nabi shallallahu a’laihi wasallam dikunjungi, lalu diucapkan salam atasnya, dan kedua sahabat yang menyertainya” (Abu Zaid Al-Qairuwani, an-Nawadir wa Azziyadat, juz 1, h. 656).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ulama berbeda pendapat tentang hukum berziarah ke makam para wali, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali menghukuminya sunnah, sedangkan ulama mazhab Hanafi dan Maliki menghukuminya mubah. Artinya, para ulama tersebut sepakat akan kebolehan ziarah wali, baik dengan status sunnah ataupun mubah. Adapun pengkhusus kata “perempuan” dalam redaksi teks-teks di atas mengandung makna bahwa perempuan saja disunnahkan atau dibolehkan menziarahi makam wali, apalagi laki-laki.
Semoga tulisan ini mampu memberikan pencerahan, baik bagi umat Islam yang meyakini kebolehan ziarah wali, maupun bagi yang tidak meyakininya. Bagi mereka yang melakukan ziarah wali, semoga tulisan ini semakin memantapkan hatinya akan disyariatkannya amaliah tersebut. Sedangkan bagi yang tidak melakukannya, semoga dengan membaca karya ini mereka bisa berlapang dada atas apa yang menjadi tradisi saudaranya. Wallahu A’lam.
Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung, dan Dosen IAIN Tulungagung.
Belum ada Komentar untuk "Beda Pendapat Ulama soal Berziarah ke Makam Wali"
Posting Komentar