Delapan Adab saat Mendengarkan Khutbah


Dalam khutbah, di samping ada beberapa anjuran bagi khatib, juga terdapat beberapa anjuran bagi para pendengarnya. Apa saja adab (etika) saat mendengarkan khutbah? Berikut ini penjelasannya.

Adab pertama, menghadap khatib.

Jamaah dianjurkan untuk menghadap khatib dengan wajahnya. Ada dua alasan kenapa hal ini dianjurkan. Pertama, karena menjalankan etika berkomunikasi. Kedua agar jamaah memperoleh keutamaan menghadap kiblat. Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan:

ـ (وينبغي) أي يستحب للقوم السامعين وغيرهم (أن يقبلوا عليه) بوجوههم ؛ لأنه الأدب ولما فيه من توجههم القبلة


Artinya, “Seyogianya, maksudnya disunahkan bagi jamaah yang mendengarkan dan selainnya, menghadap khatib dengan wajah mereka karena sebagai bentuk etika dan agar mereka dapat menghadap kiblat,” (Lihat Syekh Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz I, halaman 258).

Adab kedua, diam dan mendengarkan

Jamaah disunahkan untuk diam dan mendengarkan secara seksama pesan khutbah yang disampaikan khatib. Anjuran ini berlandaskan firman Allah:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ


Artinya, “Apabila dibacakan Al-Quran (khutbah), maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat,” (Surat Al-A’raf, ayat 204).

Menurut mayoritas pakar tafsir, ayat tersebut turun saat menjelaskan khutbah Jumat. Ada dua kata anjuran dalam ayat di atas. Pertama “al-istima’”. Kedua “al-inshat”. Al-istima’ adalah menyibukkan telinga dengan mendengarkan khutbah. Sedangkan al-inshat artinya diam.

Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan:

و أن (ينصتوا ويستمعوا) قال تعالى {وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا} ذكر كثير من المفسرين أنه ورد في الخطبة وسميت قرآنا لاشتمالها عليه


Artinya, “Dan sunah bagi mereka untuk memperhatikan dan mendengarkan khutbah. Allah ﷻ berfirman, Dan apabila dibacakan Al-Qur'an (khutbah), maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang. Mayoritas pakar tafsir menyebutkan bahwa ayat tersebut turun dalam persoalan khutbah, disebut dengan Al-Quran, karena khutbah memuat ayat Al-Qur'an.”

قال في الأصل والإنصات السكوت والاستماع شغل السمع بالسماع انتهى فبينهما عموم وخصوص من وجه


Artinya, “Berkata dalam kitab asal, al-inshat adalah diam. Sedangkan al-istima’ adalah menyibukkan pendengaran dengan mendengarkan khutbah. Maka di antara keduanya terdapat sisi umum dan khusus dari satu sudut pandang,” (Lihat Syekh Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz I, halaman 258).

Adab ketiga, menghindari hal-hal yang dapat melalaikan khutbah.

Saat khutbah berlangsung, jamaah hendaknya tidak mengobrol, bermain gadget, bergurau dan hal-hal lain yang dapat menghilangkan fokus dalam menyimak khutbah. Oleh karenanya, Nabi melarang orang yang bebicara saat khutbah berlangsung. Nabi bersabda:

إذَا قُلْت لِصَاحِبِك أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ


Artinya, “Jika kamu katakan kepada temanmu, diamlah, di hari Jumat saat khatib berkhutbah, maka kamu telah melakukan perbuatan menganggur (tiada guna),” (HR Muslim).

Berkaitan dengan larangan melakukan aktivitas yang melalaikan khutbah, Syekh Sulaiman Al-Jamal mengatakan:

ويكره المشي بين الصفوف للسؤال ودوران الإبريق والقرب لسقي الماء وتفرقة الأوراق والتصدق عليهم ؛ لأنه يلهي الناس عن الذكر واستماع الخطبة ا هـ . برماوي


Artinya, “Makruh berjalan di antara shaf untuk meminta-minta, mengedarkan kendi atau geriba untuk memberi minuman, membagikan kertas dan bersedekah kepada jamaah, sebab hal tersebut dapat melalaikan manusia dari zikir dan mendengarkan khutbah,” (Syekh Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal, juz II, halaman 36).

Adab keempat, berdoa di dalam hati Sebagaimana dijelaskan banyak hadits Nabi, terdapat satu waktu di antara satu kali 24 jam di hari Jumat yang sangat mujarab untuk dibuat berdoa. Ulama mengistilahkan waktu tersebut dengan “Sa’atul Ijabah” (waktu terkabulnya doa). Barang siapa berdoa di waktu tersebut, maka segala permintaannya akan terkabul.

Dalam hadits riwayat Al-Bukhari disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ فِيهِ سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا


Artinya, “Dari Sahabat Abi Hurairah RA, sungguh Rasulullah SAW menyebut hari Jumat kemudian berkomentar perihal Jumat, ‘Pada hari itu terdapat waktu yang tidaklah seorang Muslim menemuinya dalam keadaan beribadah seraya ia meminta kepada Allah sesuatu hajat, kecuali Allah mengabulkan permintaannya.’ Rasulullah memberi isyarat dengan tangannya bahwa waktu tersebut sangat sebentar,” (HR Al-Bukhari).

Menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i, waktu ijabah yang paling diharapkan adalah waktu di antara duduknya khatib di atas mimbar saat pertama kali ia naik, sampai salamnya imam jamaah shalat Jumat.

Al-Imam An-Nawawi mengatakan:

ساعة الإجابة هي ما بين أن يجلس الإمام على المنبر أول صعوده إلى أن يقضي الإمام الصلاة ثبت هذا في صحيح مسلم من كلام رسول الله صلى الله عليه و سلم من رواية أبي موسى الأشعري وقيل فيها اقوال كثيرة مشهورة غير هذا اشهرها أنها بعد العصر والصواب الأول


Artinya, “Waktu ijabah adalah waktu di antara duduknya khatib di atas mimbar saat pertama kali ia naik, hingga imam shalat Jumat menyelesaikan shalatnya. Hal ini sesuai dengan keterangan dalam Shahih Muslim dari sabda Nabi, riwayatnya Sahabat Abi Musa Al-Asy’ari. Pendapat lain mengatakan, ada beberapa versi yang banyak dan masyhur selain pendapat yang pertama. Yang paling masyhur adalah setelah Ashar hari Jumat. Pendapat yang benar adalah yang pertama,” (Lihat Al-Imam An-Nawawi, Tahriru Alfazhit Tanbih, juz I, halaman 87).

Waktu ijabah yang dimaksud sangat sebentar. Oleh karenanya bagi jamaah dianjurkan untuk berdoa di dalam hati selama khutbah berlangsung, dengan harapan bisa menemui waktu ijabah tersebut. Berdoa saat khutbah berlangsung tidak perlu diucapkan dengan lisan, namun cukup dihadirkan di dalam hati, sehingga hal tersebut tidak bertentangan dengan anjuran diam saat khutbah berlangsung.

Syekh Jalaluddin Al-Bulqini sebagaimana dikutip Syekh Mahfuzh At-Tarmasi menjawab sebagai berikut.

وَسُئِلَ الْبُلْقِيْنِيُّ كَيْفَ يُسْتَحَبُّ الدُّعَاءُ فِيْ حَالِ الْخُطْبَةِ وَهُوَ مَأْمُوْرٌ بِالْإِنْصَاتِ؟ فَأَجَابَ بِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ شَرْطِ الدُّعَاءِ اّلتَّلَفُّظُ بَلِ اسْتِحْضَارُ ذَلِكَ بِقَلْبِهِ كَافٍ فِيْ ذَلِكَ


Artinya, “Imam Al-Bulqini ditanya. ‘Bagaimana mungkin jamaah Jumat disunahkan berdoa saat berlangsungnya khutbah sementara ia diperintahkan diam?’ Ia menjawab, ‘Doa tidak disyaratkan untuk diucapkan. Menghadirkan doa di dalam hati saat khutbah berlangsung sudah cukup,’” (Lihat Syekh Mahfuzh Termas, Hasyiyatut Tarmasi ‘alal Minhajil Qawim, [Jeddah, Darul Minhaj: 2011 M], cetakan pertama, juz 4, halaman 344).

Adab kelima, mendoakan jamaah yang bersin

Saat jamaah mendengar orang yang bersin dan ia mengucapkan hamdalah, maka sunah untuk mendoakannya. Mendoakan orang yang bersin adalah dengan berkata “Yarhamukallah” (semoga Allah merahmatimu). Demikian pula sunah bagi jamaah yang bersin untuk mendoakan balik orang yang mendoakannya, dengan ucapan “Yahdikumullah wa yushlihu balakum” (Semoga Allah menunjukanmu dan memperbaiki keadaanmu). Anjuran ini sebagaimana dijelaskan oleh beberapa hadits Nabi.

Adab keenam, membaca shalawat ketika khatib menyebut nama atau sifat Nabi

Saat Khatib menyebut nama atau sifat Nabi, semisal ketika khatib membaca “Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad”, maka jamaah dianjurkan untuk membaca shalawat. Bacaan shalawat tersebut dianjurkan tidak terlalu keras agar tidak mengganggu keberlangsungan khutbah.

Adab ketujuh, mendoakan taraddhi untuk para sahabat ketika nama mereka disebut

Di bagian akhir khutbah kedua, biasanya khatib menyebut para nama sahabat seperti Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali. Maka, ketika mendengar nama mereka, jamaah disunahkan membaca taraddhi, yaitu mendoakan ridla untuk mereka, contohnya “Radliyallahu ‘anhum” (Semoga Allah meridhai mereka).

Adab kedelapan, mengamini doanya khatib

Ketika khatib berdoa, jamaah dianjurkan untuk membaca “Amin”. Anjuran membaca “amin” dan taraddhi sebaiknya dilakukan tidak dengan suara yang keras agar tidak mengganggu.

Syekh Zainuddin Al-Malibari mengatakan:

ويسن تشميت العاطس والرد عليه ورفع الصوت من غير مبالغة بالصلاة والسلام عليه صلى الله عليه وسلم عند ذكر الخطيب اسمه أو وصفه صلى الله عليه وسلم  قال شيخنا ولا يبعد ندب الترضي عن الصحابة بلا رفع صوت  وكذا التأمين لدعاء الخطيب  اه


Artinya, “Sunah mendoakan orang yang bersin dan baginya sunah membalas mendoakan. Demikian pula sunah mengeraskan suara dengan tidak berlebihan, dengan bacaan shalawat dan salam kepada Nabi ketika khatib menyebut nama atau sifat Nabi. Guruku berkata, tidak jauh dari kebenaran kesunahan membaca taraddli untuk para sahabat tanpa mengeraskan suara, demikian pula sunah mengamini doanya khathib,” (Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, juz II, halaman 99).

Demikianlah delapan adab saat mendengarkan khotbah. Semoga kita bisa mengamalkannya.

(Ustadz M Mubasysyarum Bih)

Belum ada Komentar untuk "Delapan Adab saat Mendengarkan Khutbah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel