Imam Hamzah az-Zayyat dan Otentisitas Qira’atnya


Dalam Islam ada adagium yang sangat terkenal yaitu “konsisten dalam beramal lebih baik daripada seribu karamat”. Adagium ini, barangkali, layak disematkan kepada salah satu imam qira’at sab’ah yang terkenal konsisten dalam berkhidmah kepada kalam-Nya, yaitu Imam Hamzah az-Zayyat.

Konsistensi yang dimiliki imam ini tidak hanya soal ibadah saja tapi juga menyangkut prinsip yang tidak bisa ditawar demi ketulusannya meraih ridha dan surga-Nya.

Ketulusan jiwanya meraih ridha dan surga-Nya, ia impelementasikan dalam kehidupan sehari-harinya tanpa pamrih, walau pun kesulitan yang ia dapatkan. Ia tegas menolak setiap pemberian yang diberikan para murid-muridnya kepadanya walaupun itu berbentuk segelas air minum saat dirinya dahaga di tengah-tengah panasnya terik matahari. Begitu mulyanya yang diucapkannya saat menolak pemberian itu “s]Saya tidak menerima pemberian apa pun dari orang yang pernah belajar Al-Qur’an kepadaku, saya hanya berharap ridha dan surga-Nya”.

Biografi Imam Hamzah

Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Habib bin Imarah bin Ismail az-Zayyat al-Kufi al-Taymi. Kuniyahnya Abu Imarah. Beliau lebih dikenal dengan panggilan Hamzah az-Zayyat (pedangan minyak), karena membawa minyak dari Urf ke Hulwan di Iraq. Dan membawa keju dan kacang-kacangan dari Hulwan ke Kufah.

Imam zahid ini lahir pada tahun 80 H, dan pada saat memasuki usia lima belas tahun, ia memantapkan hafalan bacaan Al-Qur’annya.

Dalam salah satu riwayat, beliau “menangi” sahabat saat kecil, kemungkinannya beliau pernah melihat dan menjumpai sebagian mereka, maka dari itu, beliau disebut sebagai tabi’in.

Imam Hamzah adalah salah satu imam qira’at sab’ah yang memiliki predikat “al-Hibr” (tinta) dan syaikh al-Qurra’ di Kufah. Ia menjadi panutan masyarakat Kufah dalam bidang Al-Qur’an setelah wafatnya Ashim dan al-A’masy.

Dalam bidang Al-Qur’an, kepakarannya tidak diragukan, sehingga beliau mendapat predikat prestisius, yaitu tsiqah, hujjah, tegak dalam soal kitab Allah, mahir dalam bidang faraidh, bahasa Arab dan banyak hafal hadis.

Imam Abu Hanifah berkata: “Ada dua hal yang Anda mengungguli kami dan tidak terbantahkan oleh kami, yaitu Al-Qur’an dan ilmu Faraidh.

Perjalanan Intelektualnya

Sejak kecil Imam Hamzah sudah mulai menghafal Al-Qur’an, dan saat menginjak umur lima belas tahun, beliau memantapkan hafalan tersebut, kemudian melakukan pengembaraan berguru kepada beberapa ulama yang ahli dalam bidang Al-Qur’an, salah satunya adalah:

1. Abu Muhammad Sulaiman bin Mahran al-A’masy,
2. Abi Hamzah Hamran bin A’yun
3. Abu Ishaq Amr bin Abdullah al-Sabi’I
4. Muhammad bin Abi Laila
5. Thalhah bin Mushrif

6. Abi Abdullah Ja’far al-Shadiq Semua nama-nama gurunya di atas, transmisi sanadnya bermuara kepada empat sahabat, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit. Artinya qira’at Hamzah adalah qira’at yang dapat dipertanggung-jawabkan kemutawatiran dan kesahihannya.

Meskipun demikian, dari guru yang telah disebut di atas, secara kwalitas sanad, ada yang tinggi dan ada yang rendah. Sanad yang tinggi adalah antara Nabi dan Imam Hamzah melalui tiga jalur, sedangkan sanad yang rendah antara Nabi dan Imam Hamzah empat jalur. Setelah pengembaraan intelektualnya selesai, Imam Hamzah kemudian membuka majlis pengajian Al-Qur’an untuk masyarakat setempat.

Setelah Imam Ashim dan Imam al-A’masy wafat, Imam Hamzah menjadi kiblat dan imam dalam bidang al-Qur’an menggantikan posisi keduanya.

Komentar Ulama kepada Imam Hamzah

Kepakaran Imam Hamzah dalam bidang Al-Qur’an dan qira’atnya mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak termasuk gurunya sendiri, yaitu Imam al-A’masy, dan memberinya gelar “al-Hibr”.

Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Imam al-A’masy jika bertemu dengan Imam Hamzah ia memujinya dan berkata: هذا حبر القرأن ini adalah “hibr” (tinta) Al-Qur’an.

Pada suatu kesempatan yang lain, ketika Imam al-A’masy bertemu dengan Imam Hamzah seraya berucap: “ وبش رالمحسنين 

Kealimannya telah menumbuhkan sikap yang khusyuk, tunduk, menjadi teladan dalam kejujuran dan wira’I (meninggalkan perkara syubhat apalagi haram), ahli ibadah dan zuhud dunia.

Sikap-sikap di atas diimplementasikan dalam kehidupannya dengan berupaya menjauhi segala bentuk penberian dan upah dari hasil mengajar Al-Qur’an.

Suatu ketika ada seorang laki-laki dari kalangan orang yang terkenal di Kufah belajar kepada Imam Hamzah. Sebagai ungkapan terima kasih, laki-laki tersebut memberikan sejumlah dirham kepada Imam Hamzah, namun Imam Hamzah menolaknya seraya berkata: “Saya tidak mau mengambil upah dari hasil mengajar Al-Qur’an. Saya hanya berharap surga firdaus.

Imam Jarir bin Abdul Hamid bercerita bahwa ia bertemu dengan Imam Hamzah di saat terik matahari, (cuaca panas menyelimuti siapapun yang melakukan perjalanan), kemudian saya mengambilkan air minum kepadanya untuk diminum agar hilang rasa dahaganya, namun ia menolak, sebab ia tahu bahwa saya pernah belajar Al-Qur’an kepadanya.

Maka tidak berlebihan jika Muhammad bin Fadhil berkata: “Saya tidak beranggapan bahwa Allah menolak bala’ (bencana) kepada masyarakat Kufah kecuali dengan adanya Hamzah.

Komentar Ulama Atas Qira’at Imam Hamzah

Qira’at hamzah merupakan qira’at yang banyak disorot oleh para ulama, bahkan dalam kitab-kitab turats banyak jumpai komentar-komentar ulama yang bernada negatif, salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hambal, Syu’bah bin Ayyasy, Abdullah bin Idris bin Yazid bin Abdurrahman al-Audi, dan Sufyan bin Uyainah.

Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Saya tidak suka qira’at Hamzah dalam masalah imalah dan hamzah”.

Imam Syu’bah berkata: “Qira’at Hamzah bid’ah”.

Imam Sufyan bin Uyainah berkata: “Andai saya shalat dibelakang orang yang membaca qira’at Hamzah, saya akan mengulang shalat saya”.

Imam Abdullah bin Idris berkata: “Saya tidak berkenan mengatakan orang yang membaca qira’at Hamzah sebagai shahib sunnah”.

Untuk menjawab komentar di atas, ada sebagian ulama yang menulis secara khusus menjawab komentar-komentar di atas, salah satunya adalah

(1) al-Sayyid bin Ahmad Abdurrahim dengan karyanya “Radd al-Kalam wa al-Syubhat ‘An Qira’at min al-Mutawatirah fi al-Radd ‘Ala al-Tha’an fi Qira’at al-Imam Hamzah al-Kufi”;

(2) Ali bin Muhammad Taufiq al-Nahhas dengan karyanya “Risalah fi al-Radd ‘Ala Man’I Qira’at Hamzah wa al-Kisa’I”.

Apa yang disampaikan oleh Imam Syu’bah tidak bisa diterima, sebab secara teoritis ushul qira’at dan praktek bacaan, antara Imam Syu’bah dengan Imam Hamzah memiliki banyak kesamaan. Bahkan Imam al-Syatibi menggunakan rumus kata (صحبة) sebagai isyarat tiga imam, yaitu Imam Syu’bah, Hamzah dan Ali al-Kisa’I.

Sementara itu, secara transmisi periwayatan, Imam Hamzah berguru kepada Imam Ashim. Artinya dalam hal ini, antara Hamzah dan Syu’bah satu perguruan. Ini menunjukkan bahwa qira’at Imam Hamzah tidak jauh berbeda dengan bacaan imam-imam qira’at yang lain. Jika ada beberapa perbedaan, itu soal yang lain sebab Imam Hamzah tidak hanya belajar Al-Qur’an dan qira’atnya kepada satu guru. Bukankah antara Syu’bah dengan Hafs juga ada perbedaan meskipun satu guru, Imam Ashim.

Jika bacaan Imam Ashim dapat diterima, kenapa qira’at Imam Hamzah harus ditolak?!. Bagaimana mungkin qira’at Hamzah dilabeli sebagai qira’at bid’ah, sementara ia pemilik gelar shahib sunnah dan banyak ulama yang menerima bacaannya. Bahkan ulama ternama seperti Sufyan al-Tsauri menerima bacaannya.

Sementara apa yang disampaikan oleh Ahmad bin Hambal juga tidak bisa dibenarkan. Sebab antara Imam Hamzah dengan Ahmad bin Hambal memiliki jarak yang terpaut sangat jauh. Imam Hambal baru lahir setelah Imam Hamzah wafat. Ahmad bin Hambal lahir pada tahun 164 H, sementara Imam Hamzah wafat pada tahun 156 H. Keduanya tidak pernah bertemu, dan tidak semasa.

Ini artinya, bisa jadi apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad tidak dimaksudkan bacaan Imam Hamzah sendiri tetapi bacaan orang lain yang membaca qira’at Hamzah secara tidak tepat. Sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam Ahmad tidak menyukai qira’at Imam Hamzah.

Di samping itu, Imam Ahmad memberikan apresiasi kepada Imam Sufyan al-Tsauri, padahal beliau adalah murid Imam Hamzah.

Imam Ahmad berkata: “Al-Tsauri adalah orang pertama yang berada di hatiku”.

Secara hirarki periwayatan qira’at, Imam al-Tsauri adalah murid Imam Hamzah yang menghatamkan empat kali bahkan dalam sejarah tidak ditemukan bahwa Imam al-Tsauri mengaji kepada selain Hamzah.

Apa yang disampaikan oleh Ibnu Idris tidak bisa dipahami secara literal, harus dilihat dari kontek dan kasusnya. Sebab ungkapan itu muncul karena ada seorang yang belajar kepada Imam Sulaim, murid Hamzah, hadir di majlisnya Ibnu Idris, kemudian orang tersebut membaca Al-Qur’an di hadapan Ibnu Idris, beliau mendengar bacaan tersebut berlebih-lebihan dalam mad (ukuran panjangnya) dan hamzah yang dipaksakan. Dari sanalah muncul ketidaksukaan Ibnu Idris.

Ibnu al-Jazari berkata: “Adapun apa yang diucapkan oleh Abdullah bin Idris dan Ahmad bin Hambal atas ketidaksukaan keduanya (terhadap bacaan Hamzah), dimaksudkan kepada orang yang mendengar dari Imam Hamzah dan menukil bacaan Imam Hamzah, tidaklah kerusakan kabar itu kecuali dari pembawa kabarnya”.

Imam Thahir bin Ghalbun dengan keras memberikan peringatan kepada orang-orang yang menolak bacaan Imam Hamzah: “ Barang siapa yang menolak bacaan Imam Hamzah, maka sesungguhnya ia menolak bacaan yang mengajarkan bacaan tersebut (guru-gurunya Imam Hamzah) dan kepada Nabi Muhammad Saw,. Cukuplah dengan begitu ia telah melakukan dosa besar dan kebodohan yang nyata. Ungkapan ini bukan dalam rangka menghina ulama yang lain tetapi dalam rangka mempertahankan (kesahihan) qira’at Imam Hamzah.

Di samping perdebatan di atas, Imam Hamzah sendiri telah memberi peringatan kepada siapa saja yang membaca Al-Qur’an harus dengan bacaan yang baik tidak berlebih-lebihan.

Imam Hamzah menyampaikan kepada seseeorang yang membaca kepadanya yang berlebih-lebihan dalam membaca mad dan tahqiq huruf hamzah “jangan lakukan!” tidakkah kamu tahu bahwa di atas putih adalah belang (belang), di atas keriting adalah kribo (sangat kriting), di atas bacaan yang tepat, adalah sebuah bacaan yang tidak benar.

Otentifikasi Qira’at Hamzah

Imam Uqbah mencaritakan ungkapan ayahnya tentang qira’at Imam Hamzah, seraya berkata: “Kami bersama Sufyan al-Tsauri, kemudian Hamzah mendatangi al-Tsauri dan berbincang-bincang dengannya, setelah selesai, Imam Sufyan bertanya kepada kami: “Apakah kalian tahu siapa orang ini? Ia tidak membaca satu huruf pun dari kitab Allah kecuali menggunakan atsar”.

Imam Hamzah menyatakan bahwa qira’atnya semua berasal dari atsar dengan transmisi yang jelas. Ia meneliti atsar-atsar orang-orang yang menjumpai para ulama qira’at terdahulu, hingga kemudian ia menjadi seorang pakar bidang qira’at dan mazhab-mazhabnya.

Imam Aswad bin Salim bertanya kepada Imam Ali al-Kisa’I tentang guru yang menjadi panutan soal bacaan hamzah dan idgham, apakah Anda memiliki guru yang mengajarkan tentang hamzah dan idgham? Beliau menjawab, Ia, yaitu Imam Hamzah yang menjadi rujukan saya, saya membaca (dengan pola) hamzah dan kasrah (imalah), ia adalah salah satu imam kaum muslimin, dan pemimpin para ahli qira’at yang hidup zuhud, kalau Anda melihatnya, jiwaAnda akan terasa tenang, tentram dari aura peribadatannya (ahli ibadah).

Imam al-Dzahabi berkata: “Qira’at Imam Hamzah adalah qira’at yang disekapati para ulama bahkan menjadi ijma’ ulama atas kesahehan dan kemutawatirannya, meskipun qira’a yang lain tergolong bacaan yang afshah (paling fasih), sebab qira’at yang diakui sebagai qira’at yang sah adalah qira’at yang fasih dan afshah. Ia melanjutkan ucapannya bahwa kesahihan dan kemutawatiran qira’at Imam Hamzah dapat dibuktikan dengan persaksian Imam Sufyan al-Tsauri, yang mengatakan “tidaklah Hamzah membaca Al-Qur’an kecuali dengan atsar”.

Imam Hamzah berkata: “Saya membaca Al-Qur’an kepada Imam Ja’far al-Shadiq di Madinah, kemudian beliau berkata: “Tidak ada seorang pun yang membaca Al-Qur’an lebih bagus darimu”. Kemudian Imam Hamzah menimpali: “Saya tidak berbeda bacaan dengan Anda kecuali dalam sepuluh huruf, meskipun demikian ia masih diperbolehkan dalam bahasa Arab.

Apresiasi yang diberikan oleh Imam Ja’far al-Shadiq ini menunjukkan bahwa qira’at Imam Hamzah tidak keluar dari bacaan yang sahih, sesuai kaidah bahasa Arab dan sesuai Rasm Ustmani. 

Keistimewaan Imam Hamzah

Konsisten membaca Al-Qur’an dan mengulangnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan imam zahid ini. Bahkan Imam al-Syatibi memberi gelar kepadanya dengan sebutan “shaburan” yang tabah dan sabar mengulang hafalannya.

وحمزة ما أزكاه من متورع *** إماما صبورا للقرأن مرتلا


Imam Hamzah berkata: “Saya membaca Al-Qur’an dengan melihat mushaf, karena saya kuatir penglihatan saya hilang. Ungkapan yang disampaikan oleh sang imam ini tidak lain adalah konsistensinya dalam membaca Al-Qur’an dan lebih mengedepankan sisi ibadah untuk senantiasa menjaga penglihatannya dari hal selain Al-Qur’an. Dalam membaca Al-Qur’an, Hamzah menggunakan mushaf ejaan Abdullah bin al-Zubair.

Selain konsisten dalam membaca Al-Qur’an, Imam Hamzah juga konsisten mendarma-baktikan jiwanya untuk berkhidmah kepada Al-Qur’an, meskipun dalam waktu yang cukup lama dan menguras tenaga. Hal ini disaksikan oleh Abdullah bin Isa, ia berkata: “Imam Hamzah mengajarkan Al-Qur’an kepada para murid-muridnya (dalam jumlah yang banyak) sampai selesai sampai mereka pulang ke tempat mereka masing-masing. Setelah itu, beliau bangkit melaksanakan shalat empat raka’at, shalat antara dhuhur dan ashar dan antara maghrib dan isya’. Sebagian tetangganya bercerita bahwa beliau tidak pernah tidur malam dan mereka mendengar Imam Hamzah mengisi waktu malamnya dengan membaca Al-Qur’an. Ungkapan yang disampaikan oleh Abdullah bin Isa ini menunjukkan bahwa beliau orang yang tulus mendarma-baktikan dirinya untuk kalam Tuhannya. Sementara itu, waktu yang digunakan untuk mengajar adalah pagi sampai waktu dhuhur dan habis ashar hingga maghrib.

Imam Hamzah adalah satu di antara imam qira’at yang memiliki jiwa keikhlasan yang sangat tinggi, ia tidak mau menerima pemberian apapun atas jerih payahnya mengajarkan Al-Qur’an. Hal ini merupakan satu dari keistimewaannya paling terkenal di kalangan murid-muridnya hingga sampai kepada kita.

Imam Khalaf bin Tamim berkata: “Saat ayah saya wafat, ia punya tanggungan. Kemudian saya mendatangi Hamzah untuk disampaikan kepada pemilik hutang. Lalu Imam Hamzah terkejut sambil berkata: “celakalah kamu..!!! Ia adalah orang yang belajar membaca Al-Qur’an kepadaku, sementara saya tidak senang minum dari rumah orang yang belajar kepadaku.

Murid-muridnya

Selain sebagai imam qira’at, Imam Hamzah juga dikenal sebagai pedangang yang jujur. Dalam melaksanakan kedua aktivitasnya, Imam Hamzah membagi waktunya, satu tahun di Hulwan, satu tahun di Kufah. Di sela-selanya berdangang itu mencuri waktu untuk mentransfer imunya kepada para penuntut ilmu.

Ada banyak yang belajar kepada Imam Hamzah dan tak terhitung jumlahnya, salah satunya adalah Ibrahim bin Adham, al-Husain bin Ali al-Ju’fi, Sulaim bin Isa, termasuk murid yang paling dhabith, Sufyan al-Tsauri, Ali bin Hamzah al-Kisa’I, termasuk murid senior, Yahya bin Ziyad al-Farra’, Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi.

Setelah mendarma-baktikan seluruh jiwa dan raganya untuk berkhidmah kepada Al-Qur’an tanpa pamrih dan perhitungan, mengantarkannya kepada tempat yang baik di sisi-Nya, beliau wafat pada tahun, 156 di Hulwan pada umur 76 tahun.

Ustadz Moh. Fathurrozi, Pecinta Ilmu Qira’at, Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo

(Tulisan disadur dari kitab “Tarikh al-Qurra’ al-Asyrah wa ruwwatuhum” karya Syekh Abdul Fattah al-Qadhi, [Kairo: Maktabah al-Qahirah], 2010; dan "Mu'jam Huffadz Al-Qur'an Abra al-Tarikh" karya Salim Muhaisin. Jilid I, [Bairut: Dar al-Jayl], 1992; "Radd al-Kalam as-Syubhat 'an Qiraat Mutawatirah" karya as-Sayyid Ahmad Abdurrahim [Tantha: Darus Shahabah lit Turats, 2006]; Asanid al-Qurra' al-Asyrah wa Ruwwatuhum al-Bararah karya as-Sayyid Ahmad Abdurrahim [Mesir: al-Jami'ah al-Khairiyah li Tahfidzil Qur'an, 2011])

Belum ada Komentar untuk "Imam Hamzah az-Zayyat dan Otentisitas Qira’atnya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel