Pengaruh Perbedaan Qira'at dalam Al-Qur'an terhadap Makna (I)
Jumat, 24 April 2020
Tulis Komentar
Perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an dapat diklasifikasikan ke dalam dua poin. Pertama, perbedaan bacaan yang berkaitan dengan teknis pengucapan lafadz dalam lahjah/dialek kebahasaan. Kedua, perbedaan bacaan yang berkaitan dengan substansi lafadz.
Perbedaan yang berkaitan dengan teknis pengucapan lafadz dalam lahjah/dialek kebahasaan tidak berpengaruh pada perubahan makna. Perbedaan bacaan seperti ini banyak ditemukan dalam kaidah “ushul al-qira’at”, seperti membaca lafadz (والضحى) sebagian imam qira’at membaca fathah, sebagian yang lain membaca taqlil dan yang lain membaca imalah. Perubahan bacaan seperti di atas tidak berpengaruh pada makna, karena perbedaan bacaan hanya dari sisi dialek kebahasaan. Perbedaan seperti ini lebih dominan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada subtansi lafadz Al-Qur’an.
Demikian pula, perbedaan bacaan yang tidak berimplikasi pada perubahan makna dapat dijumpai dalam “furusy al-qira’at”, seperti contoh lafadz حُسْنًا dalam surat al-Baqarah ayat 83:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu Amir, Ashim dan Imam Abu Ja’far membaca lafadz حُسْنًا (dhammah huruf ha’ dan sukun huruf sin, sedangkan Imam Hamzah, Ali al-Kisa’i dan Khalaf membaca lafadz حَسَنًا (fathah huruf ha’ dan sin). (Al-Qadhi, al-Budur al-Zahirah fi al-Qira’at al-Asyrah al-Mutawatirah: 11).
Sementara perbedaan bacaan yang berkaitan dengan subtansi lafadz, pada umumnya, dapat berpengaruh pada perubahan makna. Dalam literatur ilmu qira’at, perbedaan ini lebih didominasi dalam kaidah “furusy al-qira’at”.
Ada banyak contoh dalam Al-Qur’an perbedaan bacaan yang berpengaruh pada makna, dalam hal ini, penulis akan menguraikan per tema. Pada kesempatan ini penulis akan menguraikan tentang batas seorang suami melakukan hubungan dengan istrinya setelah mentruasi. Perbedaan ini terdapat pada ayat 222 surat al-Baqarah.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid, katakanlah, “itu adalah sesuatu yang kotor”. karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu.”
Dalam ayat di atas, para ulama sepakat bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan intim dengan istrinya dalam keadaan haid. Demikian pula, mereka sepakat bahwa seorang suami boleh melakukan hubungan intim dengan istrinya jika telah selesai dari haid. (Fakhruddin al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, 6: 418).
Adapun terkait batas seorang suami melakukan hubungan intim dengan istri, para ulama berbeda pendapat, apakah dia boleh melakukannya setelah darah haidnya berhenti atau setelah bersuci? Perbedaan ini muncul dilatarbelakangi oleh perbedaan bacaan pada lafadz يَطْهُرْنَ.
Pada lafadz يَطْهُرْنَ para Ulama qira’at berbeda ; Imam Syu’bah (perawi Imam Ashim), Imam Hamzah, Imam Ali al-Kisa’i dan Imam Khalaf membaca lafadz يَطْهُرْنَ dengan fathah huruf tha’ disertai tasydid dan huruf ha’ (يَطَّهَرْنَ), sedangkan para Imam yang lain membaca lafadz يَطْهُرْنَ sukun huruf tha’ dan dhammah huruf ha’. (Al-Qadhi, al-Budur al-Zahirah fi al-Qira’at al-Asyrah al-Mutawatirah: 49).
Kedua perbedaan bacaan ini berimplikasi pada perubahan makna, yaitu apabila dibaca يَطْهُرْنَ maka artinya adalah terputusnya darah haid dan ini menjadi awal kebolehan seorang laki-laki mendekati istrinya.
Artinya, seorang suami dilarang melakukan hubungan intim dengan istrinya sampai mereka suci atau berhenti keluar darah haidnya. Dalam hal ini seorang suami boleh melakukan hubungan intim dengan istrinya saat darah haidnya berhenti mengalir.
Oleh sebab itu, Imam Abu Hanifah memilih bacaan ini, yaitu seorang laki-laki boleh melakukan hubungan intim dengan istrinya setalah darah haidnya terhenti tanpa harus bersuci terlebih dahulu dengan dua syarat; pertama, terhentinya darah haid lebih dari masa haid. Menurut Imam Hanifah, paling lama masa haid adalah sepuluh hari. Kedua, apabila darah haid terhenti sebelum melebihi sepuluh hari maka seorang laki-laki tidak boleh melakukan hubungan intim dengan istrinya sampai dia mensucikan diri dengan mandi.
Apabila dibaca (يَطَّهَرْنَ) maka artinya adalah membersihkan tempat haid atau mensucikan diri dari haid dengan mandi. Dalam bacaan ini berarti seorang laki-laki tidak boleh mendekati istrinya sebelum dia membersihkan darah haidnya dan mensucikan diri dengan mandi.
Artinya, seorang suami dilarang melakukan hubungan intim dengan istrinya sampai ia selesai bersuci, mandi.
Selain Imam Hanafi, yaitu madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali memilih bacaan ini. Menurut mereka seorang laki-laki tidak boleh melakukan hubungan intim dengan istrinya sampai ia suci dan menyucikan diri dengan mandi. Hal ini didasarkan pada dalil setelahnya, yaitu فَإِذَا تَطَهَّرْنَ. Oleh sebab itu, terdapat sekelompok Ulama yang mengunggulkan pendapat ini sebab para ulama qira’at sepakat membaca lafadz (فَإِذَا تَطَهَّرْنَ) dengan tasydid. (Nabil Muhammad, Ilmu Al-Qira’at; Nasy’atuhu Athwaruhu Atsaruhu fi al-Ulum al-Syar’iyah: 376-8).
Dari uraian yang di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan bacaan tersebut berimplikasi pada istinbath hukum yang dihasilkan oleh para ahli fiqh, antara Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Namun demikian, perbedaan dalam bacaan Al-Qur’an bukan berarti terdapat kontradiksi dalam Al-Qur’an, justru perbedaan ini memberikan makna yang luas. Sebab setiap perbedaan bacaan memiliki fungsi arti dan makna yang tersurat dan tersirat.
Ustadz Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya; Pembina Tahfidz Al-Qur’an Pondok Pesantren Darussalam Keputih
Belum ada Komentar untuk "Pengaruh Perbedaan Qira'at dalam Al-Qur'an terhadap Makna (I)"
Posting Komentar