Tinjauan atas Kualitas Keshahihan Hadits Adzan untuk Bayi
Jumat, 17 April 2020
Tulis Komentar
Seorang artis yang baru hijrah enggan mengadzani anaknya yang baru lahir karena mengira bahwa tidak ada anjuran Rasul terkait hal tersebut. Bahkan ia berpendapat bahwa hadits yang menganjurkan untuk mengadzani bayi yang baru lahir adalah daif. Oleh karena itu, menurutnya, itu bagian dari bidah, dan tidak perlu diamalkan.
Benarkah demikian?
Sebenarnya pada prinsipnya, hadits daif yang tidak boleh diamalkan adalah pertama, hadits daif yang parah, yakni salah satu perawinya ada yang muttaham bil kadzzab, yakni rawi tersebut sering berbohong sehingga tidak bisa dipastikan apakah ia berbohong atau tidak ketika meriwayatkan hadits.
Kedua, hadits tersebut tidak berkaitan dengan tema aqidah, halal dan haram. Oleh karena itu, hadits berkaitan dengan keutamaan mengerjakan sesuatu (fadhailul amal) masih bisa diamalkan, karena tidak berkaitan dengan aqidah, halal dan haram.
Yang paling penting adalah hadits tersebut bisa diamalkan oleh semua orang. (Lihat Maḥmūd At-Ṭaḥḥān, Taysīrul Musṭalāhil Hadīts, (Riyadh: Maktabah Maʽarif, 2004), halaman 80-81).
Dalam kasus hadits adzan yang divonis daif tersebut, memang ada sebuah hadits yang salah satu perawinya tergolong dhaif.
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ (صلى الله عليه وسلم) أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَة ِرضي الله عنهم
Artinya, “Aku melihat Rasulullah SAW mengadzankan seperti adzan shalat pada telinga (cucunya) Husein bin Ali ketika Fatimah Ra. melahirkan.”
Salah satu perawi hadits di atas, ada yang bernama ʽAshim bin Ubaidillah, yang divonis oleh beberapa ulama hadits sebagai orang yang dhaif, seperti Imam Malik, Ibn Maʽīn dan beberapa ulama hadits lain.
Namun, Imam At-Tirmidzi menilai bahwa hadits ini adalah hadits yang hasan sahih. Menurut At-Ṭaḥḥān, ketika Imam At-Tirmidzi menyebutkan “hasan sahih” maka kemungkinannya ada dua.
Pertama, jika hadits tersebut memiliki satu sanad, maka hadits tersebut hasan menurut ulama tertentu, dan sahih menurut ulama lain. Kedua, jika hadits tersebut memiliki sanad yang lebih satu, maka sanad pertama hasan, sedangkan sanad lain sahih.
Walaupun hadits tersebut masih tetap dihukumi daif (tidak mengikuti pendapat Imam At-Tirmidzi) maka tetap masih bisa diamalkan, karena tingkat kedhaifannya tidak sampai parah dan tidak berkaitan dengan aqidah serta halal haram. Hadits tersebut lebih pantas jika kita golongkan sebagai hadits yang berkaitan dengan keutamaan beramal (fadhailul amal).
Selain itu, ada hadits lain yang menguatkan hadits di atas, yakni hadits yang diriwayatkan oleh Husain bin Ali berikut:
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فأذَّنَ في أُذُنِهِ اليُمْنَى، وأقامَ في أُذُنِهِ اليُسْرَى لَمْ تَضُرّهُ أُمُّ الصبيان
Artinya, “Orang yang anaknya baru lahir, maka adzankanlah pada telinga kanannya, dan bacakanlah iqamat pada telinga kirinya. Dijamin anak itu tidak akan diganggu kuntilanak.”
Imam Al-Mubarakfuri ketika ditanya terkait kebolehan mengamalkan hadits dhaif tentang adzan pada telinga bayi di atas, menjawab bahwa bisa diamalkan karena ada hadits lain yang menguatkan hadits dhaif di atas, yaitu hadits marfu dari Husain bin Ali yang diriwayatkan oleh Abu Yaʽlā al-Mūṣilī dan Ibn Sunnī.
فَإِنْ قُلْتُ كَيْفَ الْعَمَلُ عَلَيْهِ وَهُوَ ضَعِيفٌ لِأَنَّ فِي سَنَدِهِ عَاصِمَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ كَمَا عَرَفْتَ قُلْتُ نَعَمْ هُوَ ضَعِيفٌ لَكِنَّهُ يُعْتَضَدُ بِحَدِيثِ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا الَّذِي رَوَاهُ أبو يعلي الموصلي وبن السُّنِّيِّ
Artinya, “Jika aku bertanya, bagaimana mengamalkan hadits dhaif tersebut karena di sanadnya terdapat Āṣim bin Ubaidillah sebagaimana yang kamu ketahui. Maka aku menjawab, iya, walaupun hadits itu dhaif, tetapi hadits itu dikuatkan dengan hadits Husain bin Ali RA. yang diriwayatkan oleh Abu Yaʽlā al-Mūṣilī dan Ibn Sunnī,” (Lihat Aburrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakfurī, Tuḥfatul Aḥwadzi bi Syarḥ Jāmiʽ al-Tirmidzī, [Beirut, Dār Kutub: tanpa catatan tahun], juz V, halaman 90).
Bisa disimpulkan walaupun hadits tentang mengadzani bayi yang baru lahir adalah dhaif, akan tetapi masih bisa diamalkan karena ada hadits lain yang menguatkan. Selain itu, hadits tersebut juga masih memenuhi syarat untuk diamalkan karena tidak daif parah, dan berkaitan dengan fadhail amal.
Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar An-Nawawi menjadikan kedua hadits di atas sebagai landasan hukum kesunahan mengadzani bayi yang baru lahir di telinga kanannya dan men-qamati di telinga kirinya. (Lihat Muhyiddin An-Nawawi, Al-Adzkar An-Nawawi, [Beirut, Dār Fikr: 1994], juz II, halaman 106).
Oleh karena itu, dalam memutuskan sebuah hukum tidak serta merta hanya dengan menggunakan satu hadits saja. Dibutuhkan beberapa bidang keilmuan, seperti Ilmu Takhrij dan ilmu-ilmu lain untuk mengkaji sebuah hadits agar lebih komprehensif dan tidak setengah-setengah. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi
Belum ada Komentar untuk "Tinjauan atas Kualitas Keshahihan Hadits Adzan untuk Bayi"
Posting Komentar