Agama dan Solidaritas Sosial


"Dan tiada Kami utus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam," (QS 21:107).

Begitulah penegasan Allah SWT dalam Al-Qur'an mengenai "fungsi utama" kenabian yang diemban oleh Muhammad SAW sekitar 1.500 tahun yang lalu.

Bukan berarti misi ketauhidan yang selalu melekat pada kisah diutusnya seorang nabi dan rasul adalah hal sekunder. Sama sekali tidak. Bagaimanapun, tauhid merupakan inti ajaran seluruh agama samawi, sekaligus the ultimate goal (tujuan puncak) yang mesti digapai oleh umat manusia sepanjang hidupnya di dunia, agar kelak dapat meraih keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki di akhirat.

Tauhid ibarat pelita yang menerangi gerak-gerik jiwa-raga kita agar senantiasa berada di jalan kebenaran, serta terhindar dari semua sisi gelap kehidupan yang menyesatkan dan dimurkai-Nya. Dengan bertauhid, manusia akan menyadari statusnya sebagai hamba, yang harus tunduk pada segenap kehendak Tuannya Yang Maha Tinggi, Sang Pemilik langit dan bumi.

Namun demikian, eskpresi ketauhidan tentu tak mungkin berdiri sendiri tanpa serangkaian sistem nilai ideal yang melingkupinya, sehingga para rasul yang mendakwahkannya selalu dibekali syariat atau aturan agama sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran tauhid itu sendiri.

Maka tak aneh kalau Nabi Muhammad SAW justru dipermaklumkan sebagai simbol kasih sayang bagi alam raya, walaupun sejatinya menjadi pembawa misi ketauhidan. Dari sini saja mudah dipahami bahwa prinsip ketauhidan dan spirit kemanusiaan pada dasarnya tak bisa dipisahkan meski dapat dibedakan.

Bahkan dalam kitab suci, kata keimanan, ketakwaan, dan ibadah kepada Allah seringkali disebut beriringan dengan perintah melakukan kebaikan terhadap sesama, entah berupa penunaian zakat, sedekah, atau kegiatan kemanusiaan lainnya, yang pada intinya bernuansa sosial.

Allah pun tak segan-segan memberi lebel pendusta agama bagi mereka yang mengabaikan kaum lemah, seperti anak yatim dan orang miskin (QS 107:1-3). Sementara hadits yang menekankan pentingnya blessing others atau mengasihi sesama juga teramat banyak, misalnya sabda beliau: "Orang-orang yang berbelas kasih akan dikasihi oleh Sang Maha Pengasihi. Kasihilah penduduk bumi, maka engkau akan dikasihi penduduk langit."

Watak sosial yang menyatu dalam ajaran Islam ini perlu dikemukakan dan digaungkan di saat masyarakat kita sekarang sedang memanggul beban ekonomi yang relatif berat semenjak wabah korona menyebabkan banyak orang terpaksa kehilangan mata pencaharian. Para karyawan dirumahkan, pelaku usaha kecil gulung tikar, dan berbagai lapangan pekerjaan menyusut tajam.

Alangkah berbedanya situasi yang mungkin dijumpai di kemudian hari jika kita semua, khususnya yang berpunya, bersedia menyisihkan sebagian hartanya demi membantu mereka yang papa. Masalah berat bisa berubah ringan kalau dipikul oleh banyak orang. Berbagai kesulitan menjadi berkurang bila banyak tangan siap mengulurkan bantuan.

Maka, solidaritas sosial adalah salah satu kunci penentu keberhasilan bangsa untuk keluar dengan selamat dari krisis, lalu berdiri tegak kembali dan memacu produktivitas yang sempat melambat. Dengan bergandengan tangan dalam semangat kebersamaan, kita pasti mampu melewati gelombang persoalan yang tengah menghadang.

Apalagi di bulan suci Ramadhan yang kental dengan visi berbagi dan berempati ini. Sudah selayaknya kita makin termotivasi untuk lebih peduli terhadap sesama, sebagai bagian dari manifestasi keimanan dan ketakwaan kepada-Nya, selain agar kita tidak tergolong orang-orang yang dianggap mendustakan agama.

Oleh Ida Fauziyah

Belum ada Komentar untuk "Agama dan Solidaritas Sosial"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel