Al-Wirdul Lathif: Pengarang, Keutamaan, dan Cara Mengamalkannya


Allah subhanahu wa ta’ala di berbagai ayat Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk senantiasa berdzikir dan bertasbih di kala waktu pagi dan sore. Hal ini salah satunya dijelaskan dalam dua ayat berikut:

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ


Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum matahari terbit dan sebelum terbenam” (QS Qaf: 39).

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً


“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang” (QS Al-Ahzab: 41-42). 

Penentuan waktu pagi dan sore dipandang memiliki rahasia tersendiri dalam melaksanakan dzikir. Sehingga, hendaknya kita tidak melewatkan waktu pagi dan sore tanpa melafalkan dzikir sama sekali. Berdasarkan hal ini, para ulama banyak yang menyusun kumpulan-kumpulan dzikir yang sunnah dilafalkan di waktu pagi dan sore hari. Salah satu di antara kumpulan dzikir pagi dan sore yang dipandang baik dan cukup ringkas adalah al-Wirdul Lathif fi Adzkar as-Shabah wa al-Masa’.

Nama al-Wirdul Lathif memiliki arti “wirid yang ringan”. Wirid ini disusun oleh salah satu Wali Quthub di zamannya, yakni Al-Imam al-Habib Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad. Beliau juga merupakan penyusun wirid Ratib al-Haddad. Wirid ini dinamakan dengan “al-Wirdul Lathif” (wirid yang ringan) sebab isi dzikir dalam wirid ini cenderung pendek dan ringkas, berbeda dengan pembandingnya, yakni al-Wirdul Kabir (wirid yang agung) yang juga dikenal dengan nama Miftah as-Sa’adah wa al-Falah yang isi dzikirnya cenderung panjang dan banyak.

Seperti yang telah dijelaskan, al-Wirdul Lathif merupakan bacaan wirid yang baik untuk dibaca pagi dan sore hari. Sehingga dalam satu hari satu malam, bacaan wirid ini dibaca sebanyak dua kali. Mengenai tentang waktu pagi dan sore, penyusun wirid ini, al-Imam Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad memberikan penjelasan tentang batas waktu pagi dan sore serta waktu yang utama membaca wirid ini:

أما وقت الصباح والمساء فعلى حسب ما ذكروه من أن المساء يدخل بالزوال ، والصباح بما بعد نصف الليل ، أو الثلث الأخير منه . وأما إقامة الأذكار الواردة في الوقتين ، فكلما كان في المساء إلى الليل أقرب ، مثل وقت الاصفرار ومن أول الليل ، كان الإتيان فيه بالوارد أحب وأقرب إلى مطابقة الحال . وكذلك الصباح من قبيل الفجر فما بعده إلى الإشراق . وعلى هذا السبيل نعمل في إقامة ما نأتي به من هذا الورد الشريف


Adapun waktu pagi dan sore, maka hal ini berdasarkan apa yang dijelaskan para ulama bahwa waktu sore dimulai dengan tergelincirnya matahari, dan waktu pagi dimulai saat setelah separuh malam atau sepertiga malam. Adapun melaksanakan dzikir yang berlaku pada dua waktu tersebut (pagi dan sore) maka dapat dilakukan kapan pun saat sore sampai malam, seperti pada waktu menguningnya matahari (terbenamnya matahari) dan awal malam hari. Melaksanakan dzikir yang warid pada waktu tersebut dipandang lebih disukai dan lebih sesuai dengan tuntutan keadaan. Begitu juga dzikir saat pagi dapat dilakukan sebelum munculnya fajar dan waktu setelahnya sampai matahari terang bersinar. Jalan inilah yang aku lakukan dalam melaksanakan wirid yang mulia ini” (Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad, an-Nafa’is al-‘Alawiyah, hal. 42).

Bacaan-bacaan dzikir pada al-Wirdul Lathif berisi ayat-ayat Al-Qur’an pilihan serta dzikir-dzikir yang dikutip dari hadits Nabi atau biasa dikenal dengan dzikir ma’tsur. Seluruh bacaan dzikir dalam wirid ini memiliki faedah-faedah tersendiri yang umumnya langsung tercantum dalam hadits tentang keutamaannya. Misalnya seperti dzikir berikut:

مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ اللَّهُمَّ مَا أَصْبَحَ بِي مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنْكَ وَحْدَكَ، لاَ شَرِيكَ لَكَ ، فَلَكَ الْحَمْدُ، وَلَكَ الشُّكْرُ ، فَقَدْ أَدَّى شُكْرَ يَوْمِهِ، وَمَنْ قَالَ مِثْلَ ذَلِكَ حِينَ يُمْسِي فَقَدْ أَدَّى شُكْرَ لَيْلَتِهِ


“Barangsiapa di pagi hari melafalkan: “Allâhumma mâ ashbaha bî min ni’matin fa minka wahdaka lâ syarîka laka, fa lakal hamdu wa lakas syukru” (Ya Allah, kenikmatan yang kami dapatkan di waktu pagi, maka kenikmatan tersebut hanya dari-Mu, tak ada yang menyekutukan-Mu. Bagi-Mu segala puji dan bagi-Mu segala rasa syukur) maka dia telah melaksanakan wujud syukur di hari itu. Dan barang siapa yang melafalkan kalimat tersebut di sore hari, maka ia telah melaksanakan wujud syukur di malam itu” (HR. Abu Daud)

Dzikir di atas merupakan salah satu penggalan dzikir dalam al-Wirdul Lathif yang sejatinya merupakan wujud ungkapan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bacaan lain yang tercantum keutamaannya dalam hadits adalah dzikir berikut:

سَيِّدُ الِاسْتِغْفَارِ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ قَالَ وَمَنْ قَالَهَا مِنْ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِيَ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَمَنْ قَالَهَا مِنْ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ. البخاري


“Sayyidul istighfar (Tuannya permintaan maaf) adalah lafal: “Allâhumma anta rabbî, lâ ilâha illâ anta khalaqtanî. Wa anâ ‘abduka, wa anâ ‘alâ ‘ahdika wa wa‘dika mastatha‘tu. A‘ûdzu bika min syarri mâ shana‘tu. Abû’u laka bini‘matika ‘alayya. Wa abû’u bidzanbî. Faghfirlî. Fa innahû lâ yaghfirudz dzunûba illâ anta”

(Ya Allah, Engkau Tuhanku. Tiada Tuhan selain Engkau. Engkau yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku berada dalam perintah iman sesuai perjanjian-Mu sebatas kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang pernah aku perbuat. Kepada-Mu, aku mengakui segala nikmat-Mu (yang Engkau berikan kepadaku). Aku mengakui dosaku, maka ampunilah dosaku. Sungguh tiada yang mengampuni dosa selain Engkau). Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang melafalkan kalimat tersebut di siang hari dengan keadaan yakin, lalu ia meninggal sebelum masuk sore hari, maka dia termasuk golongan penghuni surga. Dan barangsiapa yang melafalkan kalimat tersebut di malam hari dengan keadaan yakin, lalu ia meninggal sebelum masuk pagi hari, maka ia termasuk golongan penghuni surga” (HR al-Bukhari).

Begitu besarnya keutamaan membaca al-Wirdul Lathif ini sampai-sampai para ulama mengarang kitab tersendiri dalam menjelaskan keutamaan membaca wirid ini. Kitab tersebut di antaranya adalah al-Wardu al-Qathif min Fadhaili al-Wirdul Lathif yang di dalamnya menjelaskan pijakan dalil dan keutamaan dzikir-dzikir yang terdapat dalam al-Wirdul Lathif. Kitab lainnya yang menjelaskan tentang al-Wirdul Lathif adalah Mursyid adz-Dzarif ila Fawaid al-Wirdil Lathif dan al-Maqshad al-Munif bi Dzikri Maraji’ Wirdhil Lathif.

Banyaknya ulama yang memberi ulasan dan penjelasan tentang al-Wirdul Lathif ini tentunya menunjukkan bahwa wirid ini merupakan wirid yang besar keutamaannya dan benar-benar dapat menentramkan hati dengan membacanya. Semoga kita dapat istiqamah dalam membaca al-Wirdul Lathif serta mendapatkan barokah dari penyusun wirid ini serta para ulama yang mengamalkan wirid ini. Amin yaa Rabbal ‘alamin.

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember

Belum ada Komentar untuk "Al-Wirdul Lathif: Pengarang, Keutamaan, dan Cara Mengamalkannya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel