Khutbah Jumat: Menyelami Fitrah Kemanusiaan Kita
Jumat, 22 Mei 2020
Tulis Komentar
Khutbah I
الحمدُ لِلهِ العَلِيِّ العَظِيْم العَزِيْزِ الحَكِيْمِ الَّذِيْ فَطَرَنَا بِاقْتِدَارِهِ، وَطَوَّرَنَا بِاخْتِيَارِهِ، وَرَتَّبَ صُوَرَنا فِي أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ، وَمَنَّ عَلَيْنَا بِالعَقْلِ السَّلِيْمِ ، وَهَدَانَا إِلى الصِّرَاطِ المُسْتَقِيْمِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلَى كُلِّ شَيْئ ٍقَدِيْرٌ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَأَفْضلِ اْلأَنْبِيَاءِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبه أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Ada perilaku yang sudah mentradisi di kalangan masyarakat Indonesia tiap kali datang hari raya Idul Fitri. Mereka ramai-ramai merayakannya dengan ekspresi suka cita yang dalam. Sebagian besar orang menyebutnya “hari kemenangan” meskipun seringkali kita sendiri ragu: benarkah kita sedang mengalami kemenangan? Kalaupun iya, kemenangan dari apa dan untuk siapa?
Orang dikatakan menang ketika ia telah sukses mengalahkan sesuatu yang menjadi lawannya. Sesuatu itu bisa berupa hal-hal yang membelenggu, menjajah, menyerang, dan menindas. Dan musuh utama manusia selama puasa Ramadhan sebelum akhirnya merayakan Idul Fitri adalah hawa nafsu. Masalahnya, hawa nafsu membelenggu, menjajah, menyerang manusia bukan dengan penampilan yang seram nanjorok. Sebaliknya, ia justru menghampiri anak Adam sebagai hal yang memikat dan disukai. Di titik inilah puasa menjadi superberat, karena mensyaratkan seseorang tak hanya sanggup menahan lapar dan haus tapi juga sanggup melawan dirinya sendiri yang sering dikuasai kesenangan-kesenangan ego pribadi.
Rasulullah mengingatkan,
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ حَظٌّ مِنْ صَوْمِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ حَظٌّ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ وَالنَّصَبُ
“Kadang orang yang berpuasa tak mendapat hasil dari puasanya kecuali lapar dan dahaga. Kadang pula orang yang qiyamul lail tak memperoleh hasil dari usahanya tersebut kecuali begadang dan rasa letih.”
Jika demikian, benarkah kita sedang mengalami kemenangan? Kalaupun iya, kemenangan dari apa dan untuk siapa?
Hadirin shalat Jum’at hafidhakumullâh,
Dalam suasana masih Idul Fitri ini penting bagi khatib pribadi dan jamaah sekalian untuk berinstropeksi tentang kualitas ketakwaan yang menjadi tujuan diwajibkannya berpuasa (la‘allakum tattaqûn). Bulan Syawal menjadi ukuran bagi kita untuk memeriksa segenap ibadah, tingkah laku, dan sikap batin kita, apakah mengalami peningkatan mutu, biasa-biasa saja, atau justru mengalami penurunan. Bagaimana tingkat kepekaan kita kepada sesama, terutama yang membutuhkan? Sudah seberapa jauh sifat riya’, ujub, dengki, suka membual, dan bertindak tidak penting menghindar dari diri kita? Dan lain sebagainya.
Tantangan kita selanjutnya adalah mengungkapkan suka cita pada hari Lebaran dengan penuh makna, bukan sebatas pesta kue hari raya, pamer busana, dan hura-hura. Suasana Idul Fitri sejatinya adalah suasana kemanusiaan. Di momen ini, kita dibangkitkan untuk kian berempati dengan sesama, membuka pintu maaf, serta melepas gengsi untuk mengakui kesalahan lalu meminta maaf. Sebagian orang yang berpunya mengisi saat-saat ini untuk berbagi dengan sanak saudara.
Itulah sebabnya, Islam mengajarkan setiap manusia yang mampu untuk mengeluarkan zakat fitri atau kita sering menyebutnya zakat fitrah. Fithri artinya “suci, karakter asli, bawaan lahir”. Islam melalui simbol zakat itu menjadikan solidaritas terhadap sesama, terutama kepada mereka yang sedang butuh uluran tangan, sebagai bagian dari fitrah kemanusiaan kita.
Naluri manusiawi selalu menaruh kepedulian yang tinggi kepada manusia lainnya, bahkan kepada makhluk lain secara umum, seperti air, tanah, binatang, dan tumbuhan. Garis sikap inilah yang kerap terabaikan dan berat dilaksanakan. Salah satu faktornya adalah manusia kalah dengan hawa nafsunya yang cenderung mengutamakan kepentingan sempit untuk kepuasan diri sendiri. Puasa adalah di antara jalan yang disediakan agama untuk berjihad menaklukkan nafsu yang menjelma seperti “anak manja” itu.
Hadirin shalat Jum’at as‘adakumulâh,
Agama juga disebut-sebut sebagai sesuatu yang fitrah. Artinya, petunjuk-petunjuknya selaras dengan jati diri, watak bawaan, dan naluri manusiawi. Agama memposisikan manusia tak sebatas jasad tapi juga ruh, mempercayai kekuatan adikodrati yakni Tuhan, dan menuntut tiap manusia berakhlak mulia. Semua ini bersifat fitrah.
Justru karena agama ini fitrah inilah agama tidak perlu dipaksakan karena petunjuknya tidak ada yang bertentangan dengan jati diri dan naluri manusia. Kalau pun ada maka cepat atau lambat akan ditolak oleh penganutnya sendiri, dan inilah bukti bahwa agama memang fitrah.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Demikianlah, semoga Idul Fitri benar-benar menjadi momentum yang sesuai dengan artinya, yakni kembali ke kondisi fitrah. Kembali ke jati diri kemanusiaan kita sebagai hamba Allah yang total, kembali tabiat asli manusia sebagai makhluk sosial, dan kembali kepada naluri manusia sebagai makhluk penyayang terhadap lingkungan dan alam secara luas.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
Belum ada Komentar untuk "Khutbah Jumat: Menyelami Fitrah Kemanusiaan Kita"
Posting Komentar