Meneguhkan Fiqih yang Dinamis dan Maslahat (6)
Sabtu, 16 Mei 2020
Tulis Komentar
Masalah saat ini yang kontroversial masih menjadi perhatian adalah fatwa atau pandangan keagamaan, yang telah dikeluarkan pada bulan Maret 2020 terkait peralihan ibadah Jumat dari masjid ke rumah masing-masing untuk sementara waktu dalam situasi pandemi virus corona (Covid-19).
Hal ini dimaksudkan untuk melindungi nyawa manusia (hifzhun nafs) dan menghindarkan mafsadat atau madharat penyebaran Covid-19. Fatwa atau pandangan keagamaan yang berkaitan penyenggaraan ibadah dalam situasi pandemi Covid-19 tersebut dikeluarkan oleh sejumlah lembaga fatwa dari berbagai pihak.
Mereka adalah Haiat Kibâr ‘Ulamâ’ Al-Azhar As-Syarîf Mesir (15 Maret 2020), Fatwa Haiat Kibâr al-‘Ulamâ’ Saudi Arabia (12 Maret 2020), Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat No. 14 Tahun 2020 tertanggal 16 Maret 2020, dan pandangan keagamaan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) (tanggal 19 Maret), dan beberapa putusan Bahtsul Masail (BM) di berbagai daerah, antara lain, BM PWNU Jawa Timur, 18 Maret 2020.
Sejak fatwa-fatwa tersebut dikeluarkan banyak orang yang menyepelekan, menganggap remeh dan mengabaikannya. Tetapi sekitar sebulan lebih sejak keluarnya fatwa-fatwa tersebut, mulai banyak orang menyadari bahwa fatwa-fatwa tersebut tidaklah sembarangan meski masih banyak yang menyepelekannya.
Fatwa-fatwa tersebut sangat responsif, antisipatif, dan aplikatif. Saat ini, pandemi Covid-19 telah mewabah di 213 negara/kawasan, dan mengakibatkan banyak korban meninggal dunia.
Sebagaimana dirilis oleh Gugus Tugas Covid-19 dalam laman resmi covid19.go.id bahwa per 17 April 2020, di Indonesia sebanyak 5.923 + 407 kasus orang terkonfirmasi positif Covid-19, sebanyak 4.796 orang pasien dalam perawatan-PDP (80,972%), sebanyak 607 orang sembuh (10,248%), dan sebanyak 520 orang meninggal dunia (8,779%).
Indonesia menempati negara dengan jumlah positif corona tertinggi di Asia Tenggara. Dalam skala global (world view), sebagaimana dirilis Google, sebanyak lebih dari 2 juta orang, yakni 2,173.432 orang terkonfirmasi positif Covid-19, sebanyak 554.786 sembuh, dan sebanyak 146.291 jiwa meninggal dunia.
Dalam kondisi pandemi virus corona, dalam suatu zona merah, yakni suatu kondisi yang penyebarannya sulit dikendalikan atau dalam situasi tidak aman, maka shalat Jumat dianjurkan untuk diganti dengan shalat zhuhur di rumah masing-masing, sebagai rukhshah (dispensasi/keringanan).
Keadaan zona merah, tidak aman atau tidak terkendalinya peyebaran virus corona itu menjadi udzur syar‘î yang menjadi sebab bolehnya tidak melaksanakan shalat Jumat, dan diganti dengan shalat zhuhur di rumah masing-masing.
Bahkan pelaksanaan shalat Jumat tersebut menjadi dilarang karena dapat menimbulkan mafsadat terhadap orang lain, terutama jelas-jelas bagi orang yang positif terpapar virus Covid-19 atau pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang yang suspect (diduga kuat terjangkit Covid-19), juga bagi orang dalam pemantauan (ODP).
Lebih dari itu, dalam zona kuning, di mana penyebaran virus corona dipandang potensial mewabah, namun masih relatif terkendali atau aman penyebarannya, maka fatwa tersebut juga menganjurkan masyarakat untuk mengambil rukhshah (dispensasi/keringan), yaitu pelaksanaan shalat zhuhur pada hari Jumat di rumah masing-masing.
Meskipun demikian, pelaksanaan shalat Jumat boleh dilakukan di zona kuning, dalam arti tidak dilarang, tetapi tetap dengan penuh kewaspadaan, dengan mengikuti Protokol Kesehatan Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Hal ini berbeda dengan zona hijau atau kondisi di mana penyebaran virus Corona masih dapat dikendalikan, atau daerah masih aman dari virus tersebut, maka shalat Jumat tetap wajib dilaksanakan, tetapi dengan tetap disertai kewaspadaan, dengan mengikuti Protokol Kesehatan Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Instruksi pemerintah dan protokol kesehatan itu merupakan tanggung jawab dan tugas pemerintah, dalam rangka memberikan kemaslahatan bagi rakyat dan/atau menolak madharat atas mereka. Kebijakan tersebut bernilai pahala. Abû Muhammad ‘Izzuddin Ibnu ‘Abdis Salâm (w. 660 H), seorang imam dan ahli hadits bergelar Sulthânul ‘Ulamâ’ (pemimpin para ulama), dalam kitabnya Qawâ‘idul Ahkâm fî Mashâlihil Anâm berkata:
وعلى الجملة فالعادل من الأئمة والولاة والحكام أعظم أجرا من جميع الأنام بإجماع أهل الإسلام، لأنهم يقومون بجلب كل صالح كامل ودرء كل فاسد شامل، فإذا أمر الإمام بجلب المصالح العامة ودرء المفاسد العامة كان له أجر بحسب ما دعا إليه من المصالح العامة وزجر عنه من المفاسد
Artinya, “Secara umum, orang yang berbuat adil: dari golongan para pemimpin, penguasa dan penegak hukum, mendapatkan pahala yang lebih besar dibandingkan dengan seluruh manusia berdasarkan kesepakatan ahli Islam karena mereka melaksanakan kebijakan menarik semua kemaslahatan yang sempurna dan menolak semua kemafsadatan yang sempurna. Atas dasar itu, maka bila seorang pemimpin memerintahkan meraih kemaslahatan publik dan menghindarkan kerusakan publik, maka ia mendapat pahala sesuai kebijakannya untuk mencapai kemaslahatan publik dan menghindarkan kerusakan publik,” (Ibnu ‘Abdis Salâm, Qawâ‘idul Ahkâm fî Mashâlihil Anâm, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1999 M], juz I, halaman 97).
Protokol kesehatan, imbauan, atau instruksi pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengenai pencegahan mata rantai penyebaran Covid-19 karena mengandung kemaslahatan, wajib ditaati dan dipatuhi oleh semua rakyat.
Kewajiban taat dan patuh terhadap intruksi pemerintah, termasuk protokol kesehatan tersebut sejalan dengan pernyataan spektakuler seorang ulama besar Nusantara berkaliber dunia, Syekh Nawawi Al-Bantani (lahir di Tanara Banten, 1230-1316 H/wafat di Makkah, 1813-1899 M), sebagaimana tersebut dalam kitabnya Nihâyatuz Zain:
إذا أمر بواجب تأكد وجوبه، وإذا أمر بمندوب وجب، وإن أمر بمباح: فإن كان فيه مصلحة عامة كترك شرب الدخان وجب، بخلاف ما إذا أمر بمحرم أو مكروه أو مباح لا مصلحة فيه عامة
Artinya, ”Apabila pemimpin suatu pemerintahan/negara memerintahkan perkara wajib, maka kewajiban itu menjadi semakin kuat; jika memerintahkan perkara sunnah, maka sesuatu yang sunnah itu menjadi wajib; dan jika memerintahkan perkara mubah: maka bila di dalamnya terdapat kemaslahatan publik, maka wajib dipatuhi seperti larangan merokok. Hal ini berbeda bila ia memerintahkan perkara haram, makruh atau mubah yang tidak mengandung kemaslahatan publik, maka tidak wajib dipenuhi,” (Syekh An-Nawawî Al-Bantanî, Nihâyatuz Zain fî Irsyâdil Mubtad’în, [Beirut, Dâru Ihyâ'il Kutub Al-'Ilmiyyah: 1971 M], halaman 112).
Dengan demikian, penerapan hukum dalam kehidupan manusia terlebih dalam ranah publik (masyarakat) sebagaimana dalam masalah perumusan hukum (istinbâth) dan pengambilan atau penerapan kebijakan hukum (tathbîq) terkait pandemi Covid-19 harus didasarkan pada prinsip-prinsip atau asas-asas hukum berikut: asâsus sahlah/at-taisîr (memberikan kemudahan, tidak memberat-beratkan), asasu raf‘il haraj (menghilangkan kesulitan), asâsu samhah (lapang, toleran), dan asâsul ashlah (mengedepankan yang paling maslahat bagi manusia), serta asâsu taufîris sa‘âdah (pencapaian kebahagiaan manusia).
Selain itu, tentu perumusan hukum dan pengambilan atau penerapan kebijakan hukum itu harus menggunakan pendekatan fiqhul maqâshid dan fiqhul aulawiyyât (fiqih yang mengedepankan substansi dan prioritas hukum).
Dengan demikian, bila dihadap-hadapkan antara mazhab atau pandangan yang tasydîd (memberatkan) dengan yang takhfîf (meringankan), maka penulis memilih mazhab atau pandangan yang takhfîf (meringankan), karena itu lebih sejalan dengan asas-asas pembentukan syariat/hukum Islam dan tujuan syariat/hukum Islam (maqâshidus syarî‘ah) itu sendiri, yang intinya adalah untuk kemaslahatan dan rahmat bagi manusia.
Penting ditegaskan bahwa janganlah kehidupan kita dalam menjalankan keberagamaan ini dibuat rigid (kaku) dan berat, menimbulkan kepanikan, kecemasan dan ketakutan, tetapi buatlah fleksibel, dinamis, dan menyenangkan (maslahat).
Janganlah setiap ketentuan fiqih atau norma hukum Islam diterapkan secara kaku, yang justru memberatkan dan menyusahkan manusia (tasydîd). Tetapi, terapkanlah ketentuan fiqih atau norma hukum Islam yang memberikan keringanan dan kemudahan bagi manusia (takhfîf), karena karakter fiqih atau hukum Islam itu dinamis dan maslahat.
Jadi, hukum itu berlaku untuk (kemaslahatan, kebahagiaan) manusia, dan bukanlah manusia untuk (menjadi) korban (kekakuan) hukum. Bukankah demikian? Wallâhu a‘lam bis shawwâb.
Semoga kita sehat wal afiyat, diselamatkan dari pandemi Covid-19, dan semoga pandemi ini segera berlalu. Amîn... (selesai…)
Ahmad Ali MD, anggota dewan ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten.
Belum ada Komentar untuk "Meneguhkan Fiqih yang Dinamis dan Maslahat (6)"
Posting Komentar