Urgensi Bermazhab di Era Kontemporer dan Kearifan di Dalamnya (1)


Permulaan abad ke-2 H sampai sekitar pertengahan abad ke-4 H merupakan masa lahirnya tokoh-tokoh imam mazhab yang mempunyai cara berpikir gemilang, termasuk di bidang ilmu fiqih. Mazhab hadir setelah kurun terbaik yang ke-3, yaitu tabi’ut tabi’in (para menjumpai generasi tabi’in). Mazhab fiqih yang berjumlah empat hadir setelah munculnya fenomena-fenomena baru yang belum ada pada zaman Rasulullah, sedangkan umat Islam perlu menentukan sikap-sikap keagamaan yang belum dijelaskan sebelumnya. Para mujtahid ini menggali hukum dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni.

Hasil ijtihad dari seseorang yang brilian waktu itu akan mudah diikuti logika berpikirnya oleh orang-orang yang berada di sekitarnya, sehingga pendapatnya mendapatkan ciri khas tertentu dengan istilah mazhab. Semula mazhab tidak merujuk kepada nama orang, tapi cenderung ke wilayah. Misalnya, di Makkah ada satu tokoh yang logika berpikirnya diikuti oleh orang-orang di sekitarnya, sehingga dikenal dengan mazhab Makkah. Begitu pula ada mazhab Madinah, Syam, dan lain sebagainya.

Setelah adanya mazhab berbasis wilayah, kemudian muncul mazhab yang dinisbatkan kepada tokoh mujtahidnya itu sendiri, bukan wilayahnya. Kita sekarang umumnya mengenal empat nama mazhab fiqih, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Padahal, sebenarnya, ada setidaknya 13 orang yang berkapabilitas sebagai mujtahid mutlaq. Mereka adalah Sufyan bin Uyainah di Makkah, Malik bin Anas di Madinah, Hasan al-Basri di Basrah, Abu Hanifah dan Sufyan Ats Tsaury (161 H) di Kufah, Al-Auzai (157 H) di Syam, Syafi’i dan Laits bin Sa’d di Mesir, Ishaq bin Rahawaih di Naisabur, Abu Tsaur, Ahmad bin Hanbal, Daud Adz Dzhahiri dan Ibnu Jarir At Thabary, keempatnya masing-masing di Baghdad.

Sayangnya, pandangan-pandangan brilian ulama mujtahid selain empat imam mazhab tersebut tidak terkodifikasi secara penuh (komprehensif) seiring murid-muridnya yang lambat laun juga mulai wafat satu per satu dan tidak ada yang meneruskan metodologi kerangka berpikirnya dengan utuh. Pada akhirnya, tinggal empat mazhab yang pemikirannya terbukukan dan diikuti banyak murid dan bergulir hingga hari ini. Sisa empat mazhab tersebut adalah mazhabya Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris as-Syafii, dan Ahmad bin Hanbal.

Mengikuti salah satu dari empat imam mazhab adalah kebuah keniscayaan yang sudah disepakati semua ulama. Ibnus Shalah mengutip sebuah pernyataan konsensus ulama bahwa mengikuti selain empat mazhab yang sudah ditentukan hukumnya tidak boleh. Artinya mengikuti salah satu di antara mereka hukumnya adalah wajib.

نقل ابن الصلاح الإجماع على أنه لا يجوز تقليد غير الأئمة الأربعة، أي حتى العمل لنفسه فضلاً عن القضاء والفتوى، لعدم الثقة بنسبتها لأربابها بأسانيد تمنع التحريف والتبديل


Artinya: “Menurut kutipan Ibnus Shalah, sesuai ketentuan konsensus ulama, setiap orang tidak boleh mengikuti selain dari empat imam mazhab walaupun hanya untuk pribadinya sendiri, lebih-lebih untuk memutus perkara dan berfatwa. Karena kredibilitas jalur sanadnya diragukan sehingga membuka peluang terjadinya distorsi.” (Sayid Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Fikr, 1994], h. 13-14)

Penjelasan tentang keharusan bermazhab sangat banyak disampaikan oleh para ulama lain, misalnya sebagaimana disampaikan ole Syekh Zainudin al-Malyabari. Ia mengharuskan mengikuti salah satu empat mazhab, tetapi menurutnya menetapi satu mazhab tertentu secara terus-menerus sepanjang hayat, tidak merupakan kewajiban. Ia menyatakan boleh berpindah-pindah mazhab baik secara total atau hanya sebagian asal tak ada motif mencari yang mudah saja. Hanya mencari yang enak saja dalam hukum bisa menjadikan orang tersebut fasiq. Tentu saja, berpindah di sini harus menghindari talfiq.

فائدة [في بيان التقليد] إذا تمسك العامي بمذهب لزمه موافقته وإلا لزمه التمذهب بمذهب معين من الأربعة لا غيرها ثم له وإن عمل بالأول الانتقال إلى غيره بالكلية أو في المسائل بشرط أن لا يتتبع الرخص بأن يأخذ من كل مذهب بالأسهل منه فيفسق به على الأوجه


Artinya: "Faedah. Penjelasan tentang taqlid. Jika orang awam berpegangan dengan satu mazhab tertentu, ia wajib menyesuaikan diri dengan mazhab tersebut. Apabila tidak demikian, ia harus bermazhab dengan mazhab tertentu dari mazhab empat, tidak dengan yang lain. Apabila dia mengamalkan mazhab pertama yang ia pilih, dia masih boleh pindah ke mazhab lain baik secara keseluruhan atau dalam masalah tertentu saja dengan syarat tidak dalam rangka mengikuti yang ringan-ringan saja. Kalau dia comot-comot mazhab dengan tujuan mencari yang paling ringan saja, menurut pendapat awjah ia menjadi orang fasiq.” (Zainudin al-Malyabari, Fathul Muin, [Dar Ibn Hazm], hal. 614.

Penjelasan Syekh Zainudin di atas menegaskan bahwa tidak ada fanatisme dalam dunia mazhab. Setiap orang dibuka selebar-lebarnya untuk memilih mazhab mana yang cocok dengan kondisi pribadi atau lingkungan masing-masing. Seseorang juga boleh berpindah-pindah mazhab asalkan perpindahannya tidak dalam rangka mencari enaknya saja.

Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani, kebebasan memilih mazhab merupakan bentuk peniadaan kejumudan berpikir karena sumber teks (nash) syariat terkadang mempunyai makna yang lebih dari satu. Jadi itu sah-sah saja. Dalam dunia ijtihad, kalau benar pahalanya dua, jika ternyata salah, mendapatkan pahala satu. (Lihat: Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani, Muhammad al-Insân al-Kâmil, [1990, cet 10], hal. 308).
Selanjutnya...

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, kota Semarang

Belum ada Komentar untuk "Urgensi Bermazhab di Era Kontemporer dan Kearifan di Dalamnya (1)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel