Getaran Doa Seorang Istri yang Tak Diajak Naik Haji
Selasa, 07 Juli 2020
Malam itu Pak Hasan datang ke rumah Mbah H Ibrahim untuk memberitahukan bahwa lusa ia akan membayar ongkos naik haji (ONH) sekaligus meminta doa restunya agar niatnya beribadah ke Tanah Suci bisa terlaksana dengan lancar dan tak ada halangan suatu apa pun.
“Ya... alhamdulillah, kamu bisa berangkat naik haji tahun ini. Saya senang mendengarnya. Tapi ngomong-ngomong ... sama siapa?” tanya Mbah H Ibrahim.
“Sendirian, Mbah, pangestunipun,” jawab Pak Hasan.
“Lho, istrimu tidak kamu ajak?!”
“Tidak mbah, karena uangnya tidak mencukupi jika untuk dua orang sekaligus. Nanti bisa gantian, Mbah, ” jawab Pak Hasan.
“Wah, saya tidak setuju dengan caramu seperti itu. Istri itu belahan jiwa yang seharusnya kamu bela, kamu perhatikan, dan kamu bahagiakan. Masak kamu tega istrimu kamu tinggal naik haji. Istrimu pasti sedih sekali dan bahkan bisa merasa malu.”
“Benar, Mbah, istri saya beberapa hari terakhir ini terlihat lesu. Sepertinya ia kecewa tidak diajak naik haji. Tapi gimana lagi, Mbah. Uangnya memang tidak cukup untuk pergi berdua,” kata Pak Hasan menjelaskan.
“Soal uang itu gampang. Yang penting kamu ada niat dulu mau mengajak istrimu naik haji tahun ini. Nanti Allah akan beri jalan keluar. Kapan pendaftaran terakhir?”
“Dua hari lagi, Mbah? jawab Pak Hasan.
“Dua hari lagi itu artinya masih ada kesempatan untuk mendaftarkan istrimu? Kapan istrimu akan kamu daftarkan?”
“Mbah, maaf, Mbah, uang saya tidak cukup untuk mendaftarkan istri saya,” keluh Pak Hasan.
“Kalau detik ini kamu ada niat mendaftarkan istrimu, nanti soal uang untuk ONH bisa kita atur.”
“Maksudnya gimana, Mbah?” Tanya Pak Hasan serius.
“Gini, kamu kan punya beberapa sawah. Jual beberapa petak ke aku. Kalau kamu setuju, malam ini juga aku bayar dan besok kamu bisa daftarkan istrimu dan bayar ONH-nya,” jelas Mbah Ibrahim kepada Pak Hasan.
Mendengar penjelasan itu, Pak Hasan teringat isak tangis istrinya pada tengah malam sebelumnya saat menunaikan shalat tahajud. Sayup-sayup Pak Hasan mendengar istrinya mengadu kepada Allah. Ia merasa terpukul tidak diajak naik haji.
“Ya Allah, tunjukkanlah pembelaan dan kasih sayang-Mu kepada hamba-Mu yang lemah ini. Sebagai istri tidak mungkin hamba menghalangi suami hamba untuk memenuhi panggilan-Mu. Tetapi ya Allah, mengapa tidak Engkau panggil hamba-Mu ini sekalian untuk datang ke Rumah-Mu. Engkau telah menyatukan kami sebagai suami dan istri, maka satukan pula kami dalam menunaikan Rukun Islam ke-5 sebagaimana telah Engkau syariatkan. Ya Allah, jika masalahnya adalah uang, maka mudahkanlah suami hamba mendapatkan uang yang halal secepatnya agar kami bisa bersama-sama memenuhi melaksanakan perintah-Mu tahun ini. Ya Allah, Engkau Maha Mendengar doa-doa kami. Kabulkanlah doa hamba-Mu ini ya Allah. Amin.“
Itulah doa yang dipanjatkan istri Pak Hasan dengan penuh harap agar Allah mengabulkannya. Doa itu menggetarkan langit hingga Allah menggerakkan hati Pak Hasan pada malam itu untuk datang ke rumah Mbah H Ibrahim yang tak lain adalah pamannya sendiri. Cerita Pak Hasan kepada Mbah H Ibrahim bahwa ia akan berangkat sendirian ke Tanah Suci tanpa mengajak istrinya telah membuat iba yang mendalam pada hati Mbah H Ibrahim yang dikenal sangat mengerti perasan perempuan.
Mbah H Ibrahim memang sengaja membeli beberapa petak sawah dari Pak Hasan dan bukannya meminjaminya uang karena, baginya, beribadah haji kurang afdhal menggunakan uang pinjaman. Mbah H Ibrahim memiliki skenarionya sendiri terkait dengan transaksi jual beli sawah ini. Sawah itu akan dijualnya kembali kepada Pak Hasan ketika ia sudah pulang dari Tanah Suci. Untuk itu sebelum Pak Hasan dan istrinya berangkat ke Tanah Suci, Mbah H Ibrahim berpesan agar ketika di Makkah dan Madinah tidak boros dalam mengeluarkan uang untuk berbelanja.
“Naik Haji itu bukan shopping. Uang untuk living-cost jangan kamu habiskan. Gunakan seperlunya saja,” demikian pesan khusus Mbah H Ibrahim kepada Pak Hasan dan istrinya.
Ketika Pak Hasan dan Bu Hasan sudah selesai menunaikan ibadah haji dan kembali ke Tanah Air, Mbah H Ibrahim menengoknya di rumahnya yang masih satu desa. Mbah H Ibrahim sangat senang mendengar kisah-kisah pengalaman naik haji Pak H Hasan dan Bu Hj. Maryam yang mengharukan. Wajah mereka berseri-seri dan tak sedikit pun menunjukkan ada beban dalam diri mereka.
Di akhir perjumpaan ketika keadaan sepi, Mbah H Ibrahim bertanya kepada Pak H Hasan berapa uang yang masih tersisa sekembalinya dari naik haji. Mbah H Ibrahim mengatakan bahwa sawah yang telah dia beli dari Pak Hasan dijualnya kembali kepada Pak Hasan dengan harga yang sama. Uang mukanya sebesar sisa itu. Berikutnya untuk membayar kekurangannya Pak Hasan dipersilakan menggunakan uang hasil panen beberapa sawahnya hingga kekurangan itu bisa lunas seluruhnya. Saya tidak akan menagih. Itu kalau kamu setuju.
“Ya Mbah, saya setuju dan sangat berterima kasih atas semua kebaikan Mbah H Ibrahim. Jaza kumullah khairal jaza’. Mudah-mudah kekurangan itu bisa segera saya selesaikan dalam waktu tidak lama,” kata H. Muhammad Hasan menutup pembicaraan.
Begitulah getaran doa istri Pak Hasan yang mampu menghasilkan jalan keluar luar biasa karena mendapat pertolongan yang tulus dan tidak disangka-sangka dari Mbah H Ibrahim. Mbah H Ibrahim memang sangat cerdas dalam mencarikan jalan keluar. Pak Hasan dan Bu Hasan nyaris tidak menemukan kesulitan berarti hingga mereka benar-benar dapat bersama-sama naik haji ke Makkah al-Mukaramah pada tahun 1990-an. Doa itu cepat terkabul dan seusai dengan harapan karena dipanjatkan dengan penuh kesungguhan dalam shalat tahajud. Ibu Hj Maryam Hasan dikenal para tetangganya sebagai istri salehah.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Univeristas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.