Mencicil Mandi Besar, Apakah Sah?
Selasa, 07 Juli 2020
Sudah maklum bahwa mandi besar merupakan hal yang wajib dilakukan bagi orang yang junub atau memiliki hadats besar. Kewajiban dalam mandi besar ini salah satunya adalah membasuh seluruh badan secara merata.
Lazimnya seseorang dalam melaksanakan mandi besar adalah tidak akan menyudahi mandinya sebelum seluruh tubuhnya basah oleh siraman air dalam satu waktu yang sama. Namun jika ada orang yang ingin mencicil membasuh tubuhnya dalam mandi besar karena suatu hal, apakah diperbolehkan? Misalnya ketika tengah malam, ia membasuh kepala dan rambutnya saja, lalu ketika subuh ia menyempurnakan mandi dengan membasuh anggota tubuh yang lain dengan tanpa membasuh anggota yang sudah ia basuh tatkala tengah malam. Apakah cara mandi demikian dianggap sah sebagai mandi besar?
Dalam pembahasan thaharah (bersuci dari hadats), terdapat pembahasan khusus yang berkaitan dengan permasalahan mencicil mandi, yakni pembahasan tentang al-muwalah atau yang biasa diartikan dengan membasuh secara beriringan (berturut-turut, tanpa jeda lama, red). Al-Muwalah ini diartikan secara lengkap oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh:
الموالاة أو الولاء: هي متابعة أفعال الوضوء بحيث لا يقع بينها ما يعد فاصلا في العرف، أو هي المتابعة بغسل الأعضاء قبل جفاف السابق، مع الاعتدال مزاجا وزمانا ومكانا ومناخا
“al-Muwalah atau al-Wala’ adalah beriringannya membasuh anggota wudhu sekiranya di antara anggota tersebut tidak terjadi pemisah secara urf. Al-Muwalah dapat juga diartikan beriringannya membasuh anggota tubuh sebelum keringnya anggota yang sebelumnya telah dibasuh, besertaan keadaan, waktu, tempat dan iklim yang normal” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 1, hal. 385).
Muwalah dalam mandi ataupun wudhu’ dalam mazhab Syafi’i memiliki ketentuan hukum yang sama, yakni sunnah. Dalam kitab al-Majmu’ ala syarh al-Muhadzab dijelaskan:
وَأَمَّا مُوَالَاةُ الْغُسْلِ فَالْمَذْهَبُ أَنَّهَا سُنَّةٌ وَقَدْ تَقَدَّمَ بَيَانُهَا فِي بَابِ صِفَةِ الْوُضُوءِ
“Adapun beriringan (muwalah) dalam mandi, menurut (pendapat yang kuat) mazhab Syafi’i adalah sunnah, penjelasan tentang ini telah dijelaskan dalam bab tentang sifat-sifat wudhu’” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 2, hal. 184).
Dasar kesunnahan muwalah dalam wudhu’ dan mandi besar ini berpijak pada salah satu hadits mauquf dari sahabat Ibnu ‘Umar:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ تَوَضَّأَ فِي السُّوقِ، فَغَسَلَ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ بَعْدَ مَا جَفَّ وُضُوءُهُ وَصَلَّى
“Ibnu Umar berwudhu’ di pasar, ia membasuh dua tangan, wajah dan kedua lengannya sebanyak tiga kali, lalu masuk ke masjid dan mengusap dua selopnya setelah wudhu’nya kering, lalu ia shalat” (HR. Baihaqi).
Sedangkan ketika persoalan tentang muwalah ini disikapi dalam lintas mazhab, rupanya para ulama berbeda pendapat terkait status hukum muwalah dalam mandi besar. Mazhab Maliki berpandangan bahwa muwalah dalam mandi adalah hal yang wajib, sehingga jika seseorang membasuh anggota tubuhnya dalam mandi besar tidak dilakukan secara beriringan atau dilakukan secara dicicil, sekiranya dipisah dalam rentang waktu yang lama, maka wajib mengulang kembali basuhan mandi dari awal. Tiga mazhab yang lain berpandangan bahwa muwalah dalam mandi adalah hal yang disunnahkan. Namun menurut mazhab Hanbali, wajib mengulang kembali niat tatkala membasuh basuhan kedua, setelah mengeringnya basuhan pertama. Penjelasan demikian terangkum dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:
اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي الْمُوَالاَةِ هَل هِيَ مِنْ فَرَائِضِ الْغُسْل أَوْ مِنْ سُنَنِهِ؟ فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى سُنِّيَّةِ الْمُوَالاَةِ فِي غَسْل جَمِيعِ أَجْزَاءِ الْبَدَنِ لِفِعْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَنَصَّ الْحَنَابِلَةُ عَلَى أَنَّهُ إِذَا فَاتَتِ الْمُوَالاَةُ قَبْل إِتْمَامِ الْغُسْل، بِأَنْ جَفَّ مَا غَسَلَهُ مِنْ بَدَنِهِ بِزَمَنٍ مُعْتَدِلٍ وَأَرَادَ أَنْ يُتِمَّ غُسْلَهُ - جَدَّدَ لإِتْمَامِهِ نِيَّةً وُجُوبًا، لاِنْقِطَاعِ النِّيَّةِ بِفَوَاتِ الْمُوَالاَةِ، فَيَقَعُ غَسْل مَا بَقِيَ بِدُونِ نِيَّةٍ. وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْمُوَالاَةَ مِنْ فَرَائِضِ الْغُسْل
“Para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai beriringan (al-Muwalah) apakah merupakan bagian dari kewajiban mandi atau kesunnahan mandi? Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali berpandangan tentang kesunnahan Muwalah dalam membasuh seluruh anggota badan, berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ulama Hanabilah menegaskan bahwa ketika muwalah tidak dilaksanakan oleh seseorang sebelum sempurnanya basuhan mandi, sekiranya anggota yang dibasuh menjadi kering sebab adanya jarak waktu yang normal dan ia ingin menyempurnakan basuhannya, maka ia wajib memperbarui niatnya pada saat menyempurnakan basuhannya, sebab terputusnya niat dengan tidak ber-muwalah, maka basuhan yang masih tersisa dianggap terlaksana tanpa adanya niat. Sedangkan menurut mazhab maliki, muwalah merupakan kewajiban mandi” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 31, hal. 210).
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mencicil mandi besar adalah hal yang diperbolehkan dan sah sebagai basuhan mandi besar menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i. Bahkan tetap sah meskipun sampai basuhan yang awal mengering pada saat melanjutkan basuhan pada anggota lain yang tersisa, sebab muwalah bukanlah kewajiban dalam mandi besar.
Meski begitu, sebaiknya seseorang menandai dengan seksama batas basuhan awal yang telah diniati sebagai mandi besar. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada anggota tubuh yang tidak terbasuh oleh air pada saat menyempurnakan basuhan kedua karena basuhan awal sudah mengering. Jika seseorang ragu-ragu apakah bagian anggota tubuh telah dibasuh pada saat basuhan awal atau belum dibasuh, maka wajib untuk membasuh anggota tersebut. Wallahu a’lam.
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember