Khutbah Idul Adha: Tiga Pelajaran Utama Hari Raya Kurban
Senin, 06 Juli 2020
Khutbah I
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ. الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانَ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضُ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلَ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلّ وسّلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وِعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
Hari raya kurban atau biasa kita sebut Idul Adha yang kita peringati tiap tahun tak bisa terlepas dari kisah Nabi Ibrahim sebagaimana terekam dalam Surat ash-Shaffat ayat 99-111. Meskipun, praktik kurban sebenarnya sudah dilaksanakan putra Nabi Adam yakni Qabil dan Habil. Diceritakan bahwa kurban yang diterima adalah kurban Habil bukan Qabil. Itu pun bukan daging atau darah yang Allah terima namun ketulusan hati dan ketakwaan dari si pemberi kurban.
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (Al-Hajj: 37)
Kendati sejarah kurban sudah berlangsung sejak generasi pertama umat manusia, namun syariat ibadah kurban dimulai dari cerita perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya, Ismail (‘alaihissalâm). Seorang anak yang ia idam-idamkan bertahun-tahun karena istrinya sekian lama mandul. Dalam Surat ash-Shaffat dijelaskan bahwa semula Nabi Ibrahim berdoa:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.”
Allah lalu memberi kabar gembira dengan anugerah kelahiran seorang anak yang amat cerdas dan sabar (ghulâm halîm). Hanya saja, ketika anak itu menginjak dewasa, Nabi Ibrahim diuji dengan sebuah mimpi. Ia berkata, "Wahai anakku, dalam tidur aku bermimpi berupa wahyu dari Allah yang meminta aku untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapat kamu?" Anak yang saleh itu menjawab, "Wahai bapakku, laksanakanlah perintah Tuhanmu. Insya Allah kamu akan dapati aku termasuk orang-orang yang sabar."
Tatkala sang bapak dan anak pasrah kepada ketentuan Allah, Ibrâhîm pun membawa anaknya ke suatu tumpukan pasir. Lalu Ibrâhîm membaringkan Ismail dengan posisi pelipis di atas tanah dan siap disembelih.
Jamaah shalat Idul Adha hadâkumullâh,
Atas kehendak Allah, drama penyembelihan anak manusia itu batal dilaksanakan. Allah berfirman dalam ayat berikutnya:
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ. وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآَخِرِينَ. سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ. كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”
Hadirin,
Ibadah kurban tahunan yang umat Islam laksanakan adalah bentuk i’tibar atau pengambilan pelajaran dari kisah tersebut. Setidaknya ada tiga pesan yang bisa kita tarik dari kisah tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta ritual penyembelihan hewan kurban secara umum.
Pertama, tentang totalitas kepatuhan kepada Allah subhânau wata’âla. Nabi Ibrahim yang mendapat julukan “khalilullah” (kekasih Allah) mendapat ujian berat pada saat rasa bahagianya meluap-luap dengan kehadiran sang buah hati di dalam rumah tangganya. Lewat perintah menyembelih Ismail, Allah seolah hendak mengingatkan Nabi Ibrahim bahwa anak hanyalah titipan. Anak betapapun mahalnya kita menilai tak boleh melengahkan kita bahwa hanya Allahlah tujuan akhir dari rasa cinta dan ketaatan.
Nabi Ibrahim lolos dari ujian ini. Ia membuktikan bahwa dirinya sanggup mengalahkan egonya untuk tujuan mempertahankan nilai-nilai Ilahi. Dengan penuh ketulusan, Nabi Ibrahim menapaki jalan pendekatan diri kepada Allah sebagaimana makna qurban, yakni pendekatan diri.
Sementara Nabi Ismail, meski usianya masih belia, mampu membuktikan diri sebagai anak berbakti dan patuh kepada perintah Tuhannya. Yang menarik, ayahnya menyampaikan perintah tersebut dengan memohon pendapatnya terlebih dahulu, dengan tutur kata yang halus, tanpa unsur paksaan. Atas dasar kesalehan dan kesabaran yang ia miliki, ia pun memenuhi panggilan Tuhannya.
Jamaah shalat Idul Adha hadâkumullâh,
Pelajaran kedua adalah tentang kemuliaan manusia. Dalam kisah itu di satu sisi kita diingatkan untuk jangan menganggap mahal sesuatu bila itu untuk mempertahankan nilai-nilai ketuhanan, namun di sisi lain kita juga diimbau untuk tidak meremehkan nyawa dan darah manusia. Penggantian Nabi Ismail dengan domba besar adalah pesan nyata bahwa pengorbanan dalam bentuk tubuh manusia sebagaimana yang berlangsung dalam tradisi sejumlah kelompok pada zaman dulu adalah hal yang diharamkan.
Manusia dengan manusia lain sesungguhnya adalah saudara. Mereka dilahirkan dari satu bapak, yakni Nabi Adam ‘alaihissalâm. Seluruh manusia ibarat satu tubuh yang diciptakan Allah dalam kemuliaan. Karena itu membunuh atau menyakiti satu manusia ibarat membunuh manusia atau menyakiti manusia secara keseluruhan. Larangan mengorbankan manusia sebetulnya penegasan kembali tentang luhurnya kemanusiaan di mata Islam dan karenanya mesti dijamin hak-haknya.
Pelajaran yang ketiga yang bisa kita ambil adalah tentang hakikat pengorbanan. Sedekah daging hewan kurban hanyalah simbol dari makna korban yang sejatinya sangat luas, meliputi pengorbanan dalam wujud harta benda, tenaga, pikiran, waktu, dan lain sebagainya.
Pengorbanan merupakan manifestasi dari kesadaran kita sebagai makhluk sosial. Bayangkan, bila masing-masing manusia sekadar memenuhi ego dan kebutuhan sendiri tanpa peduli dengan kebutuhan orang lain, alangkah kacaunya kehidupan ini. Orang mesti mengorbankan sedikit waktunya, misalnya, untuk mengantre dalam sebuah loket pejualan tiket, bersedia menghentikan sejenak kendaraannya saat lampu merah lalu lintas menyala, dan lain-lain. Sebab, keserakahan hanya layak dimiliki para binatang. Di sinilah perlunya kita “menyembelih” ego kebinatangan kita, untuk menggapai kedekatan (qurb) kepada Allah, karena esensi kurban adalah solidaritas sesama dan ketulusan murni untuk mengharap keridhaan Allah. Wallahu a’lam.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II