Kisah Sufi yang Alim dan Tidak Ketika Disuguhi Makanan Haram
Jumat, 03 Juli 2020
Imam Al-Hasan Bashri (lahir di Madinah pada 643 M) dan Farqad suatu hari bertemu pada sebuah perjamuan pesta perkawinan (walimah). Keduanya diundang oleh salah seorang sahabat mereka yang tengah mengawinkan anaknya.
Imam Al-Hasan Bashri terkenal seorang ulama yang sangat zuhud pada generasi tabi'in. Keilmuannya dalam berbagai bidang diakui dan dicatat oleh banyak orang. Dia salah seorang ulama awal Ahlussunnah wal Jamaah. Ia juga dikenal sebagai generasi-generasi awal sufi. Sedangkan Farqad dikenal masyarakat sebagai orang yang taat beribadah.
Dalam perjamuan pesta perkawinan tersebut diedarkan piring-piring yang terbuat dari emas dan perak. Piring-piring itu digunakan oleh tuan rumah untuk menghidangkan aneka sajian bagi para tamu.
Tahu penggunaan bejana berbahan dasar logam mulia tersebut, Farqad yang taat ibadah itu lari menjauh dari meja hidangan karena keharaman pemakaian peralatan yang terbuat dari emas dan perak.
Adapun Imam Al-Hasan Bashri ketika dihidangkan buah kurma setangkai pada piring emas dan perak itu tetap duduk menghadapi hidangan dan sajian dari tuan rumah. Ia tidak kehilangan akal. Ia mengambil sebutir demi sebutir kurma dari piring itu hingga kosong, meletakkannya pada roti yang telah disiapkan, dan memakannya.
Imam Al-Hasan (wafat di Bashrah pada 728 M) kemudian menoleh kepada sahabatnya, Farqad, yang menjauh.
“Hai Furaiqad, mengapa mengapa kau tidak melakukan seperti ini?” kata Imam Al-Hasan.
Menurut Imam Al-Hasan, pengosongan berbeda dari pemakaian bejana berbahan emas dan perak, tetapi bahkan penghilangan kemungkaran. Imam Al-Hasan dengan ilmu fiqihnya menggabungkan sekaligus kesunnahan memakan perjamuan walimah, menyenangkan hati tuan rumah yang mengundangnya, menghilangkan kemungkaran, dan mengajarkan sebuah hukum fiqih.
Oleh karena itu, Imam Al-Hasan membuat tashgir (mengecilkan dalam bahasa Arab dengan mengubah bentuk menjadi fu’ail) nama Farqad menjadi Furaiqad.
***
Kisah ini dikutip dari Kitab Qami’ut Thughyan karya Syekh M Nawawi Banten, (Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun), halaman 13.