Bentuk-bentuk Akad Pertukaran dalam Fiqih Syafi’iyah
Sabtu, 29 Agustus 2020
Di dalam fiqih, semua bentuk pertukaran (mu'awadlah) merupakan asal dari jual beli. Apa pun jenis pertukaran itu, dan melibatkan barang apa saja, asalkan pertukaran itu hukumnya adalah sah dari sisi objek yang ditukarkan, maka pada dasarnya semua itu merupakan rumpun dari akad jual beli, baik menurut pengertian hakiki, maupun pengertian hukmi, baik disadari ataupun tidak disadari. Oleh karenanya, segala ketentuan yang berlaku dan berjalan atasnya, juga tidak lepas dari akad jual beli. Misalnya: wajib diketahui, barangnya bisa dimanfaatkan, barang milik sendiri atau yang diwakilkan atau diizinkan, barang bisa diserahterimakan, barang diketahui kapan penerimaannya, dan lain sebagainya.
Karena berangkat dari rumpun jual beli, maka hal yang juga menjadi wajib berlaku sebagai larangan dalam pertukaran itu adalah juga menjadi sama dengan segala ketentuan yang berlaku sebagai larangan dalam jual beli, misalnya: (a) adanya unsur jahalah (ketidakjelasan), (b) barang bukan milik sendiri, (c) barangnya tidak bisa dimanfaatkan, (d) ada unsur dlarar (merugikan), (e) gharar (tidak pasti/spekulatif), (f) ghabn (kecurangan), (g) riba, (h) adanya maisir (judi) dan seterusnya.
Seiring objek pertukaran dan kapan waktunya penyerahan itu berbeda-beda menurut sisi praktiknya, maka nama dari jual beli itu menjadi terderivasi. Istilah lain derivasi adalah turunan. Hakikatnya ia adalah jual beli, namun kadang tidak disebut dengan istilah jual beli. Para ulama biasanya menengarai sebagai shinfun mina al-bai'at (bagian dari transaksi jual beli).
Pertama, jika di dalam sebuah pertukaran, objek yang ditukarkan adalah berupa 2 barang yang berbeda, maka pertukaran itu dikenal dengan istilah barter. Barter merupakan dasar utama dari akad jual beli (hukum asal akad mu'awadlah).
Kedua, jika yang ditukarkan adalah berupa barang dan uang, maka pertukaran ini disebut dengan akad jual beli (bai' dalam pengertian hakiki). Akad ini merupakan furu' dari akad barter dengan objek tukar terdiri dari barang fisik (‘ain) dengan uang.
Ketiga, jika yang ditukarkan adalah berupa barang jasa (barang manfaat) dengan uang, maka pertukaran itu disebut dengan istilah ijarah (sewa jasa). Ini adalah turunan (derivat/furu') dari jual beli, sehingga diistilahkan juga sebagai bai' hukman.
Keempat, jika yang ditukarkan itu berupa uang dengan uang, dengan besaran tukar yang disepakati, dan tidak ada kelebihan di salah uang yang ditukar, maka pertukaran itu disebut akad qardl (utang). Akad ini juga merupakan furu' dari jual beli, sehingga disebut bai' hukman.
Kelima, jika yang ditukarkan itu berupa uang dengan uang, namun ada wasilah barang sebagai jaminan atas penyerahan, maka akad ini diistilahkan sebagai akad gadai (rahn). Ulama Hanafiyah memasukkannya dalam jual beli, yang diistilahkan dengan bai'u al-'uhdah (jual beli sistem sende).
Dengan penjelasan di atas, kita tidak heran bila di dalam kitab Asna al Mathalib dan kitab Fathu al-Wahab, Syekh Zakaria al-Anshari membagi riba itu sebagai tiga saja, yang kemudian dikemas dalam istilah riba al-buyu', yang terdiri dari:
- Riba al-fadli. Istilah ini biasa dipakai bergantian dengan riba utang (riba qardli) sebab memiliki kesamaan illat ribanya, yaitu adanya kelebihan di salah satu objek yang ditukarkan.
- Riba al-yad, yaitu riba yang terjadi akibat jual beli barang ribawi (emas, perak dan bahan makanan) yang disertai penundaan serah terima kedua barang yang ditukarkan, atau penundaan terhadap penerimaan salah satunya.
- Riba al-nasiah, riba yang terjadi akibat jual beli tempo.
Secara jual beli, riba pertama adalah haram sebab tidak adanya illat tamatsul (sama timbangan atau takaran) pada pertukaran barang ribawi sejenis. Waktu jatuh temponya (hulul) dan waktu serah terimanya (qabdlu) sudah jelas, tapi gara-gara tidak sama berat atau takarannya, maka haram sebab ketidaksamaan tersebut.
Riba kedua, secara jual beli adalah haram sebab ketidakjelasan harga (jahalah) di waktu akhir jatuh tempo dan akhir penyerahannya (waktu hulul). Harga terus bertambah seiring bertambahnya waktu cicilan, sementara pokok utang belum lunas dibayar. Dengan demikian, menukarkan emas dengan emas, hukumnya adalah:
- Boleh jika beratnya adalah sama, jelas kapan waktu penyerahannya (hulul), dan jelas bisa diserahterimakannya (taqabudl), meskipun ada penundaan di salah satunya.
- Tidak boleh jika beratnya tidak sama yang diakibatkan faktor beda waktu penyerahannya (waktu qabdli) dan waktu jatuh temponya (waktu hulul). Ini pula sebabnya, riba nasiah disebut sebagai nasiah yang maknanya adalah kredit.
Walhasil, jual beli barang ribawi secara kredit hukumnya adalah tidak boleh sebab:
- mengkredit barang ribawi dapat menjadikan berat dan takaran barang yang ditukarkan menjadi tidak sama. Sebab, umumnya dalam akad kredit, harga barang yang dijual menjadi lebih tinggi dari harga aslinya, Misalnya, jika cash, harga emas satu kilo adalah 1 kilo. Namun bila kredit, harga emas 1 kg, dapat berubah menjadi 1,5 kg. Alhasil, pertukaran itu menyerupai riba al-fadhli. Akan tetapi, ulama melabelinya sebagai riba nasiah sebab unsur kreditnya.
- mengkredit barang ribawi (pertukaran ribawi tak sejenis), dapat menjadikan harga barang ribawi yang dikredit menjadi tidak pasti (gharar) sehingga timbul unsur jahalah.
Barang ribawi merupakan barang yang dicirikan dengan harga yang sifatnya fluktuatif. Harga hari ini, bisa saja tidak sama dengan besok. Itu sebabnya wajib berlaku syarat kejelasan harga, ketika barang itu diserahkan oleh penjual. Jika harga tidak bisa diserahkan seketika itu juga, setidaknya harga sudah menjadi ma'lum sehingga hilang unsur larangan sebab jahalah (ketidakjelasan)
Misalnya, membeli beras dengan bayar tunda. Anda menyebutnya sebagai utang beras. Saya menyebutnya tukar-menukar barang ribawi berupa beras dengan uang, dengan uang diserahkan kemudian. Bolehkah? Hukumnya jelas boleh, sebab dlarurah li hajati al-nas (darurat kebutuhan manusia), sebagaimana hikmah ini berlaku atas akad bai' salam atau bai maushuf fi al-dzimmah (jual beli dengan cara memesan).
Dalam konteks utang beras ini, wajib berlaku ketentuan bahwa harga beras saat diserahkan ke pembeli (orang yang utang) adalah harus jelas. Tidak boleh memakai standar harga saat pembeli membayar utangnya. Jika harga yang berlaku adalah harga saat penyerahan uang, maka ini yang dinamakan sebagai riba nasiah itu.
Riba ketiga, secara jual beli adalah haram sebab ketidakjelasan (jahalah) waktu penyerahan (waktu qabdli) akibat tidak jelasnya waktu pelunasan (hulul al-ajal). Meskipun harganya jelas (ma'lum), tapi waktu pelunasannya (waktu hululnya) tidak jelas (jahalah) sehingga berbuntut pada waktu penyerahan (waktu qabdli) juga tidak jelas (jahalah). Illat keharamannya dari sisi ushul, adalah irtikabu al-dlararain dalam satu jual beli, yaitu tergabungnya dua illat jahalah.
Demikian ikhtisar ini penulis sajikan agar mudah untuk memetakan sebuah akad dalam fiqih muamalah, khususnya bagi kalangan awam. Semoga bermanfaat!
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syarî'ah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur