Jual Beli yang Dilarang Syariat (2): Sebab Kecurangan dan Dampak Kerugian
Senin, 20 Juli 2020
Syariat Islam mensyaratkan bahwa syarat sah jual beli adalah bila barang yang dijual tidak mengandung unsur bahaya atau dampak kerugian (dlarar). Tidak berhenti sampai di sini, syariat juga mengatur bahwa cara melakukan jual beli harus bebas dari unsur kecurangan (ghabn).
Ada beberapa model jual beli yang dilarang oleh syariat sebab adanya dampak kerugian dan unsur kecurangan ini.
Pertama, jual beli barang yang masih ditawar oleh orang lain. Rasulullah ﷺ bersabda:
لابيع بعضكم على بيع بعض
Artinya: “Tidak ada jual beli di atas jual beli sebagian di atas sebagian dari kalian.” (Lihat: Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’awadlat al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Nashr bi Jâmi’at al-Qâhirah, tt.: 53!). Hadits riwayat Bukhari-Muslim dari jalur Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu.
Menurut Syekh Ahmad Yusuf, hadits ini berisi larangan Rasulullah ﷺ atas jual belinya seseorang terhadap barang yang masih ditawar oleh orang lain. Para fuqaha’ amshar sepakat menyatakan status kemakruhan hukum tawar-menawar model ini. Namun menurut Ibnu Rusyd, statusnya masih khilaf. Ada kemungkinan model tawar menawar ini diperbolehkan seperti dalam kasus pelelangan barang.
Kedua, jual beli dengan provokasi harga (bai’ najasy). Ibnu Rusyd mendefinisikan jual beli provokasi harga ini sebagai berikut:
أن النجش هو أن يزيد أحد في سلعة ، وليس في نفسه شراؤها، يريد بذلك أن ينفع البائع ويضر المشتري
Artinya: “Jual beli najasy adalah (jual beli) dengan jalan seseorang menawar lebih harga dasar barang, sementara dirinya tidak bermaksud membelinya. Ia menghendaki cara ini untuk mendapatkan upah dari pedagang dan memberi tekanan kepada pembeli.” (Abu Al Walîd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthuby, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid, Beirut : Darul Kutub Ilmiyyah, tt.: 1/531)
Misalnya, seorang pedagang memiliki empat orang anak buah. Keempat anak buahnya diminta pura-pura menawar barang yang juga hendak ditawar oleh calon pembeli yang mendatangi tempatnya berjualan. Keberadaan empat anak buah yang pura-pura menawar ini masuk unsur kecurangan karena bertujuan untuk memprovokasi harga agar pembeli mau membeli barang dagangan lebih tinggi dari yang ditawar secara pura-pura oleh empat orang tersebut. Menurut Imam Syafi’i, jual beli semacam ini hukumnya adalah sah, namun pelakunya berdosa. Berdosanya pelaku disebabkan adanya unsur dlarar (kerugian) dan sekaligus kecurangan terhadap calon pembeli. Penjelasan lebih lanjut mengenai dialektika fiqih di dalamnya akan diuraikan dalam kesempatan tulisan mendatang.
Ketiga, jual beli talaqqy rukban, yaitu jual beli yang dilakukan dengan jalan menyongsong seorang pedagang yang berasal dari desa di tengah jalan sebelum sampainya ia ke pasar (kota).
Model jual beli seperti ini dilarang disebabkan unsur ketidaktahuan pedagang terhadap harga barang yang sebenarnya di pasaran. Tujuan dari pelarangan ini adalah menjaga hak pedagang untuk mendapatkan harga pasar yang sebenarnya sehingga ia tidak merugi. Dengan demikian, maka unsur dlarar yang dijaga adalah haknya pedagang desa.
Catatan yang perlu diperhatikan adalah bahwa bentuk pelarangan sistem jual beli ini adalah tidak bersifat mutlak. Ada sisi yang menyebabkan kebolehannya, yaitu:
- Apabila pedagang dari desa mengetahui informasi dan seluk beluk harga barang di pasar.
- Ada masa khiyar (menentukan pilihan) bagi pedagang, bahwa apabila ia telah sampai pasar dan mengetahui harga sebenarnya terhadap barang yang dijual, maka ia boleh membatalkan transaksi yang telah dilakukan atau sebaliknya melanjutkan akad transaksi yang telah terjadi.
Alasan dasar pelarangan dan sekaligus alasan kebolehan jual beli talaqqy rukban adalah sebagaimana disampaikan dalam hadits riwayat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
لاتلقوا الجلب فمن تلقى منه شيئا فاشتراه فصاحبه بالخيار إذا أتى السوق, أخرجه مسلم وغيره
Artinya: “Jangan menyongsong pedagang luar (di tengah jalan). Barangsiapa menyongsongnya, kemudian membeli barang darinya, maka berikanlah ia masa khiyar ketika ia telah sampai pasar.” Hadits riwayat Muslim dan lainnya.” Artinya: “Tidak ada jual beli di atas jual beli sebagian di atas sebagian dari kalian” (Lihat: Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’awadlat al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Nashr bi Jâmi’at al-Qâhirah, tt.: 55!).
Keempat, jual beli lewat makelar, yaitu seorang yang menjadi perantara jual beli yang dilakukan oleh penduduk setempat terhadap barang orang yang baru datang dari luar daerah (بيع الحاضر للبادي). Dasar utama pelarangan jual beli ini adalah hadits Rasulullah
ﷺ: حديث ابن عباس، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تلقوا الركبان ولا يبيع حاضر لباد (قال الراوي) فقلت لابن عباس: ما قوله لا يبيع حاضر لباد قال: لا يكون له سمسارا
Artinya: “Ibnu Abbas r.a. berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: Kalian tidak boleh menyongsong pedagang yang baru datang, dan juga seorang penduduk jangan menjualkan barangnya orang yang baru datang dari luar daerah. Perawi bertanya kepada Ibnu Abbas: Apa maksud dari “seorang penduduk jangan menjualkan barang orang yang baru datang dari luar daerah”? Jawabnya: Jangan menjadi makelar!” (Ismail Al-Bukhary, Shahih al-Bukhary: Kitabu al-Buyu’, Beirut: Daru al-Kutub Ilmiyyah, 1997)
Dalam hadits ini dimuat larangan menjadi makelar (samsarah). Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad Ibni Hanbal menyatakan larangan menjadi makelar. Namun Imam Abu Hanifah dan para ashab Abu Hanifah menyatakan kebolehannya, dengan catatan:
لابأس أن يبيع الحاضر للبادي ويخبره بالسعر
Artinya: “Tidak apa-apa penduduk setempat menjualkan dagangannya penduduk yang baru datang asal memberitahukan harganya.” (Lihat: Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’awadlat al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Nashr bi Jâmi’at al-Qâhirah, tt.: 55!).
Keberadaan larangan menjadi makelar jual beli ini, menurut pendapat kalangan Syafi’iyah adalah karena adanya alasan, yaitu:
أن الهدف من منعه الرفق بأهل الحضر لأن الأشياء عند أهل البادية رخيصة
Artinya: “Tujuan dari pelarangan profesi makelar ini adalah sayang dengan penduduk setempat, karena semua barang dari penduduk luar daerah umumnya adalah murah.” (Lihat: Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’awadlat al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Nashr bi Jâmi’at al-Qâhirah, tt.: 55!)
Maksud dari pernyataan Syekh Ahmad Yusuf terhadap pendapat kalangan Syafiiyah ini adalah dengan adanya makelar (calo) jual beli, umumnya barang menjadi gampang naik, sehingga justru menambahkan kebutuhan masyarakat setempat yang seharusnya mendapatkan hak membeli barang yang murah. Menurut madzhab Imam Syafi’i, hukum akad jual beli lewat jasa makelar ini adalah sah, namun si makelar berdosa. Wallahul muwaffiq ila aqwath tharîq.
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim