Jenis-jenis Darah Kewanitaan dalam Fiqih
Rabu, 01 Januari 2020
Tulis Komentar
“Aduh, saya sedang datang bulan, nih,”
“Wah, sehabis melahirkan, kenapa kok terusan keluar darah?”
“Kalau dari alat kelamin keluar darah, itu darah apa sih? Di Islam ada aturannya tidak?”
Di masyarakat Muslim, pertanyaan-pertanyaan seperti di atas kerap muncul. Untuk ibadah yang sah lagi sempurna, penting untuk memerhatikan syarat sah serta kebolehan melaksanakan suatu ibadah, yaitu shalat, haji, puasa, membaca Al-Quran, dan sebagainya. Salah satunya terkhusus bagi kaum perempuan, adalah persoalan darah kewanitaan yang keluar dari alat kelamin.
Sebagaimana pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka di awal, masalah persoalan darah yang keluar dari organ kewanitaan merupakan hal yang harus diketahui oleh Muslimah, karena berkaitan erat dengan ibadah sehari-hari. Islam mengajarkan cukup detail masalah ini, baik disebutkan secara implisit dalam Al-Quran dan diperjelas oleh Rasulullah SAW dalam pelbagai hadits.
Syekh Abu Syuja’ menyebutkan dalam matan Taqrib, bahwa darah kewanitaan ada tiga:
ويخرج من الفرج ثلاثة دماء دم الحيض والنفاس والاستحاضة...
Artinya, “Darah yang keluar dari kelamin wanita ada tiga: darah haid, darah nifas, dan darah istihadlah.”
Dari ketiga jenis darah tersebut, dua di antaranya, yaitu darah haid dan nifas, adalah darah yang keluar sebagai proses kerja normal fungsi seksual perempuan. Dapat dikatakan secara medis, keluarnya darah ini merupakan kondisi yang fisiologis bagi tubuh. Apa itu darah haid? Darah haid diartikan sebagai “darah yang keluar dari kemaluan perempuan, dalam kondisi sehat, bukan disebabkan melahirkan”.
فالحيض هو الدم الخارج من فرج المرأة على سبيل الصحة من غير سبب الولادة
Darah haid atau darah menstruasi ini merupakan mekanisme terkait kerja hormonal dalam tubuh, dan muncul dalam siklus rutin. Berdasarkan keterangan fiqih, masa haid ini umumnya terjadi enam sampai tujuh hari. Lalu sedikitnya masa menstruasi ini adalah sehari semalam, dan paling lama lima belas hari. Keluarnya darah ini dikarenakan meluruhnya dinding rahim yang dipicu oleh kerja hormon dalam tubuh, terutama hormon estrogen dan progesteron, berkaitan dengan produksi sel telur.
Masa haid ini akan berakhir, sebagaimana dalam keterangan medis, ketika seorang perempuan telah mencapai masa menopause yang mana fase produksi sel telur (ovum) oleh organ ovarium telah berhenti.
Kemudian, darah selanjutnya adalah darah nifas. Darah nifas ini adalah darah yang keluar setelah proses melahirkan. Dalam keterangan medis, masa nifas ini disebut dengan masa puerpurium, dan darah yang dikeluarkan disebut lokia. Umumnya, sebagaimana disebut dalam Safinatun Najah maupun Fathul Qaribil Mujib, umumnya darah nifas keluar selama 40 hari. Paling sedikitnya adalah sekejap saja, dan paling banyak selama enam puluh hari. Dalam berbagai literatur medis, umumnya masa nifas terjadi selama empat sampai enam atau tujuh pekan.
Selanjutnya adalah darah istihadlah. Berikut definisinya menurut matan Taqrib:
والاستحاضة هو الدم الخارج في غير أيام الحيض والنفاس
Artinya, “Darah istihadlah ini adalah darah yang keluar di luar masa rutin haid, serta bukan disebabkan setelah melahirkan.”
Ia bisa keluar sewaktu-waktu, serta dalam syarah Kifayatul Akhyar misalnya, disebutkan sebab penyakit. Perempuan yang mengeluarkan darah istihadlah ini tetap memiliki kewajiban untuk berpuasa, shalat, dan berwudhu ketika hendak shalat, thawaf, atau memegang mushaf. Ia berstatus sebagaimana orang berhadats kecil.
Demikianlah tiga jenis darah kewanitaan yang dijelaskan oleh fiqih Islam. Seiring perkembangan ilmu, tentu jenis-jenis darah kewanitaan ini bisa dijelaskan secara medis. Perkara darah ini penting diketahui kaum perempuan Muslimah karena berkaitan erat dengan kebolehan dan keabsahan suatu ibadah. Wallahu a’lam.
Belum ada Komentar untuk "Jenis-jenis Darah Kewanitaan dalam Fiqih"
Posting Komentar