Awal Mula Al-Wala wal Bara dalam Aqidah Islam
Jumat, 06 Maret 2020
Tulis Komentar
Orang yang berkembang dalam tradisi Asy’ariyah (peletak dasar teorisasi teologi Ahlussunnah wal Jamaah, 873 M-935 M) sedikit kesulitan untuk mencari dari mana asal al-wala wal bara ini secara teoritis dalam kaitannya dengan keimanan. Pasalnya, para ulama Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) tidak memasukkan al-wala wal bara ke dalam aqidah Aswaja.
Secara umum, aqidah yang harus diyakini oleh umat Islam menurut pandangan aqidah Aswaja hanya berkaitan dengan sifat Allah, sifat para rasul, takdir, malaikat, alam kubur, dunia ghaib, syafaat rasul, telaga Al-Kautsar, surga, neraka, dan alam akhirat, (Zaini Dahlan, tanpa tahun: 1-15) dan (Al-Baijuri, tanpa tahun: 1-77).
Sayyid Sa‘id Abdul Ghani melalui karyanya, Haqiqatul Wala wal Bara fi Mu’taqadi Ahlissunnah wal Jamaah sedikit membantu untuk melacak awal mula kaitan al-wala wal bara dan keimanan. Ia mengutip penjelasan Syekh Ibnu Taimiyah (661 H/1263 M-728 H/1328 M) atas Surat Al-Mujadalah ayat 22 dalam kitab Al-Iman.
“Allah mengabarkan bahwa kau (Muhammad) takkan menemukan seorang yang beriman mencintai mereka yang menentang Allah dan rasul-Nya karena keimanan menafikan cinta tersebut sebagaimana satu kutub menafikan kutub lain yang berseberangan dengannya. Jika terdapat keimanan, maka lawan dari keimanan menjadi tiada, yaitu menjadikan musuh Allah sebagai teman dekat. Jika seseorang mencintai musuh Allah dengan hatinya, maka itu menjadi tanda bahwa pada hatinya tidak terdapat keimanan yang pasti,” (Ghani, 1998 M: 649).
Kami menemukan al-wala wal bara secara teoritis yang paling awal ‘diperkenalkan’ oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri 'Mazhab Wahabi,' (1115 H/1701 M-1206 H/1793 M). Pandangan al-wala wal bara dari Muhammad bin Abdul Wahhab ini diberi anotasi oleh pemuka Wahabi, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (1925 M-2001 M) dalam Syarah Ushulut Tsalatsah.
Muhammad bin Abdul Wahhab dalam buku tersebut menyampaikan doktrin berisi tiga hal penting yang wajib diperhatikan dan diamalkan oleh seorang Muslim dan Muslimah.
Pertama, Allah pencipta sekaligus pemberi rezeki. Allah tidak membiarkan manusia begitu saja, tetapi mengutus para rasul-Nya. Siapa yang mematuhi mereka, maka ia akan masuk surga. Tetapi siapa yang mendurhakai mereka, ia masuk ke neraka (Al-Muzammil ayat 15-16).
Kedua, Allah tidak rela disekutukan dalam penyembahan-Nya dengan apa dan siapa pun termasuk malaikat muqarrabun dan nabi utusan dalam sekutu (Al-Jin ayat 18).
Ketiga, siapa yang menaati rasul dan mengesakan Allah, maka ia tidak boleh menjadikan mereka yang menentang Allah dan rasul-Nya sebagai teman dekat sekali pun ia kerabat dekat (Al-Mujadalah ayat 22) (Wahab, 2001: 29-35).
Al-Muzammil ayat 15-16:
إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ رَسُولًا فَعَصَىٰ فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيلًا
Artinya, “Sungguh Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Makkah) seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang rasul kepada Fir'aun. Maka Fir'aun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa dia dengan siksaan yang berat.”
Al-Jin ayat 18:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Artinya, “Sungguh masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.”
Al-Mujadalah ayat 22:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Mereka kelak dimasukkan oleh-Nya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, sungguh hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (1925 M-2001 M) menambah deretan ayat al-wala wal bara di samping ayat yang disebutkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, yaitu Surat Ali Imran ayat 118, Al-Maidah ayat 51 dan 57, At-Taubah ayat 23-24, dan Al-Mumtahanah ayat 4. (Al-Utsaimin, 2001: 34-36).
Ali Imran ayat 118:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya."
Surat Al-Ma’idah ayat 51:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sungguh orang itu termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Surat Al-Ma’idah ayat 57:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman."
At-Taubah ayat 23.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya, Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
At-Taubah ayat 24:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Artinya, “Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
Al-Mumtahanah ayat 4:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ۖ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Artinya, “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: ‘Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah’. (Ibrahim berkata): ‘Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali".
Menurut Al-Utsaimin, tindakan al-wala (loyalitas terhadap orang-orang yang menentang Allah) menunjukkan kelemahan iman mereka kepada Allah dan rasul-Nya. Pasalnya, akal sehat sulit menerima loyalitas seseorang akan sesuatu yang menjadi musuh kekasihnya. Loyalitas terhadap orang-orang kafir dapat mengambil bentuk pertolongan dan pembelaan terhadap mereka atas kekufuran dan kesesatan. Cinta terhadap mereka juga dapat berbentuk tindakan yang menyebabkan mereka senang. Cinta terhadap mereka dapat berbentuk aneka jalan.
Semua ini dapat menafikan keimanan seseorang sama sekali, atau menafikan kesempurnaan iman seseorang. Oleh karena itu, seorang Muslim harus memusuhi, membenci, dan menjauhi mereka yang menentang Allah dan rasul-Nya meski mereka adalah kerabat sendiri. Namun demikian, perintah ini tidak menghalanginya untuk menasihati dan mengajak mereka ke jalan yang benar, (Al-Utsaimin, 2001: 36).
Aqidah al-wala wal bara dengan demikian lebih dekat pada konsep aqidah yang diperkenalkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan kalangan Wahabi sesudahnya. Al-wala wal bara ini yang dalam pandangan kalangan Wahabi untuk mengukur dan menilai keimanan orang lain, dan tidak jarang menghakimi orang lain, mengeksklusi bahkan mengeksekusi dan mempersekusi, hingga merundung (bully) orang lain, sekalipun kerabat dekat dan keluarga sendiri.
Sesungguhnya tidak ada masalah dengan semua ayat di atas dan al-wala wal bara sebagai perintah agama. Hanya saja letak problematisnya adalah penempatan al-wala wal bara ke dalam aqidah Islam sebagai alat ukur keimanan orang lain dan legitimasi untuk praktik eksklusi terhadapnya.
Dengan kata lain, masalahnya terletak pada pemahaman dan pelaksanaannya yang keliru karena melewati batas. Oleh karena itu, penempatan al-wala wal bara ke dalam aqidah Islam perlu diuji secara keilmuan dan secara sejarah. Wallahu a‘lam.
Belum ada Komentar untuk "Awal Mula Al-Wala wal Bara dalam Aqidah Islam"
Posting Komentar