Mengenal Kafa'ah, Konsep Kesetaraaan dalam Pernikahan


Pembaca yang budiman, sebagaimana kita ketahui bersama, Islam merupakan agama yang sangat menghargai perempuan. Dalam pemaparan kali ini, akan kami tunjukkan salah satu contohnya, yakni pada pembahasan kafa`ah dalam pernikahan.

Secara definitif, kafa`ah bisa diartikan sebagai kesetaraan derajat suami di hadapan istrinya. Hal tersebut sebagaimana disampaikan Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, hal. 43:

الكفاءة: ويقصد بالكفاءة: مساواة حال الرجل لحال المرأة


Al-kafa`ah. Yang dimaksud dengan al-kafa`ah ialah kesetaraan kondisi suami terhadap kondisi istri.

Dalam syariat Islam, kafa`ah diberlakukan sebagai sesuatu yang “dipertimbangkan” dalam nikah, namun tidak berkaitan dengan keabsahannya. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 47:

فَصْلٌ: فِي الْكَفَاءَةِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي النِّكَاحِ لَا لِصِحَّتِهِ بَلْ لِأَنَّهَا حَقٌّ لِلْمَرْأَةِ وَالْوَلِيِّ فَلَهُمَا إسْقَاطُهَا


“Pasal tentang kafa`ah yang menjadi pertimbangan dalam nikah, bukan pada soal keabsahannya, namun hal tersebut merupakan hak calon istri dan wali, maka mereka berdua berhak menggugurkannya.

Dari pernyataan di atas bisa kita pahami bahwa kafa`ah merupakan hak bagi calon istri dan wali. Artinya mereka berdua berhak membatalkan rencana pernikahan jika terbukti bahwa calon suami tidak setara dengan calon istri. Meski demikian, jika atas pertimbangan tertentu ternyata calon istri atau wali menerima dengan kondisi calon suami yang ternyata lebih rendah derajatnya, maka pernikahan tetap sah diberlangsungkan.

Kondisi-kondisi apa saja yang dipertimbangkan dalam persoalan kafa`ah, bisa kita simak dalam penjelasan Imam Nawawi al-Bantani pada kitab Nihayatuz Zain (Beirut: Dar al-Fikr, 1316 H), hal. 311:

أَحدهَا حريَّة فِي الزَّوْج وَفِي الْآبَاء وَثَانِيها عفة عَن الْفسق فِيهِ وَفِي آبَائِهِ وَثَالِثهَا نسب وَالْعبْرَة فِيهِ بِالْآبَاءِ كالإسلام وَرَابِعهَا حِرْفَة فِيهِ أَو فِي أحد من آبَائِهِ وَهِي مَا يتحرف بِهِ لطلب الرزق من الصَّنَائِع وَغَيرهَا وخامسها سَلامَة للزَّوْج من الْعُيُوب المثبتة للخيار


“Pertama, sifat merdeka (bukan budak) dalam diri calon suami dan ayahnya; kedua, terjaga agamanya; ketiga nasab; keempat pekerjaan; kelima, terbebasnya suami dari aib nikah.” 

Konsekuensi dari pemaparan di atas, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi, membuat seorang lelaki budak tidak kafa`ah bagi perempuan merdeka, wanita keturunan bani Hasyim dan bani Muthalib bukan kafa`ah bagi selainnya, lelaki fasiq tidak kafa`ah bagi wanita salehah, lelaki keturunan pedagang tidak kafa`ah bagi putri seorang ulama ahli fiqih, dan seterusnya.

Tujuan pemberlakukan soalan kafa`ah ini bukanlah bertujuan membeda-bedakan Muslim yang satu dengan lainnya, namun demi menjaga calon istri dan keluarganya dari “rasa malu”. Memang, di hadapan Allah, manusia paling mulia adalah yang bertakwa, namun karena pernikahan ini selain dilihat dari sisi ibadah, juga harus dilihat dari sisi sosial kemanusiaan.

Sebagai contoh, akan sangat menyulitkan bagi suami yang berprofesi pedagang asongan untuk memenuhi nafkah yang dibutuhkan oleh seorang istri yang merupakan keturunan milyarder. Meskipun jika istri yang keturunan milyarder tersebut rela dan ikhlas, maka pernikahan tetap bisa sah. Demikianlah yang dimaksudkan bahwa kafa`ah menjadi pertimbangan dalam pernikahan, namun bukan bagian dari syarat yang membuat pernikahan sah. Wallahu a’lam bish shawab.

Belum ada Komentar untuk "Mengenal Kafa'ah, Konsep Kesetaraaan dalam Pernikahan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel