Suami Istri Non-Muslim Masuk Islam, Haruskah Mengulang Akad Nikah? (2-Habis)


Pada bagian pertama telah dibahas bahwa ketika sepasang suami istri non-Muslim memeluk agama Islam maka para ulama fiqih mengulas dan membedakan hukum pernikahannya dalam dua keadaan, yakni bila pasangan suami istri menjadi mualaf secara bersamaan dan bila pasangan suami istri menjadi mualaf secara tidak bersamaan.

Pada bagian pertama telah dibahas bahwa bila pasangan suami istri non-Muslim itu memeluk Islam bersama-sama maka pernikahannya yang dilangsungkan sebelum memeluk Islam tetap dianggap sah dan berjalan sebagaimana adanya.

Pada bagian kedua ini akan dibahas satu kondisi di mana pasangan suami istri yang non-Muslim itu memeluk Islam tidak secara bersamaan, namun satu persatu suaminya lebih dahulu memeluk Islam baru kemudian disusul istrinya atau sebaliknya sang istri lebih dahulu memeluk Islam baru kemudian sang suami menyusul. Para ulama fiqih membahas hal ini dengan terperinci.

Ibnu Rusyd di dalam kitabnya Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid menuliskan:

فَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَالشَّافِعِيُّ: إِنَّهُ إِذَا أَسْلَمَتِ الْمَرْأَةُ قَبْلَهُ فَإِنَّهُ إِنْ أَسْلَمَ فِي عِدَّتِهَا كَانَ أَحَقَّ بِهَا، وَإِنْ أَسْلَمَ هُوَ وَهِيَ كتابية فَنِكَاحُهَا ثَابِتٌ


Artinya: “Imam Malik, Abu Hanifah dan Syafi’i berkata, bila istri masuk Islam sebelum suaminya, maka bila sang suami masuk Islam pada masa ‘iddahnya sang istri maka ia berhak atas istrinya. Bila suami masuk Islam sedangkan istrinya seorang ahli kitab maka pernikahannya tetap.”

Pendapat ulama yang demikian berdasarkan pada sebuah hadits yang meriwayatkan bahwa istri Sofwan bin Umayah yakni Atikah binti Al-Walid bin Al-Mughirah telah masuk Islam sebelum Sofwan, baru kemudian Sofwan menyusul masuk Islam. Maka Rasulullah menetapkan pernikahan keduanya, tidak memutuskannya. Para ulama berkata bahwa jarak antara masuk Islamnya sang istri dan masuk Islamnya Sofwan sekitar satu bulanan.

Ibnu Syihab mengatakan bahwa tidak ada riwayat yang datang kepada kami bahwa seorang istri yang hijrah kepada Rasulullah sementara suaminya tetap kafir dan tinggal di negeri kufur kecuali hijrahnya itu telah memisahkan sang suami dan istrinya, kecuali bila sang suami kemudian datang menyusul hijrah sebelum habis masa ‘iddah istrinya (Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, [Beirut: Darul Fikr, 1995], juz II, hal. 40).

Lebih lanjut Ibnu Rusyd menuturkan:

وَأَمَّا إِذَا أَسْلَمَ الزَّوْجُ قَبْلَ إِسْلَامِ الْمَرْأَةِ فَإِنَّهُمُ اخْتَلَفُوا فِي ذَلِكَ، فَقَالَ مَالِكٌ: إِذَا أَسْلَمَ الزَّوْجُ قَبْلَ الْمَرْأَةِ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ إِذَا عَرَضَ عَلَيْهَا الْإِسْلَامَ فَأَبَتْ. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: سَوَاءٌ أَسْلَمَ الرَّجُلُ قَبْلَ الْمَرْأَةِ ; أَوِ الْمَرْأَةُ قَبْلَ الرَّجُلِ إِذَا وَقَعَ الْإِسْلَامُ الْمُتَأَخِّرُ فِي الْعِدَّةِ ثَبَتَ النِّكَاحُ


Artinya: “Adapun apabila suami masuk Islam sebelum islamnya sang istri maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Imam Malik berkata, bila suami masuk Islam sebelum istrinya maka terputus pernikahannya apabila sang suami telah menawarkan masuk Islam pada sang istri namun ia menolaknya. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat, sama saja apakah suami masuk Islam sebelum istri atau istri masuk Islam sebelum suami, bila pihak yang terakhir masuk Islam dalam masa ‘iddah maka pernikahannya tetap (tidak putus).” (Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, [Beirut: Darul Fikr, 1995], juz II, hal. 40)

Sementara di dalam kitab Al-Muhadzdzab Imam As-Syairazi menuliskan:

وإن أسلم أحد الزوجين الوثنيين أو المجوسيين أو أسلمت المرأة والزوج يهودي أو نصراني فإن كان قبل الدخول تعجلت الفرقة وإن كان بعد الدخول وقفت الفرقة على انقضاء العدة فإن أسلم الآخر قبل انقضائها فهما على النكاح وإن لم يسلم حتى انقضت العدة حكم بالفرقة


Artinya: “Apabila salah satu pasangan suami istri penyembah berhala atau majusi masuk Islam atau seorang istri masuk Islam sedangkan suaminya seorang yahudi atau nasrani, maka apabila masuk Islamnya itu sebelum terjadinya persetubuhan maka saat itu putuslah pernikahannya. Namun bila masuk Islamnya setelah terjadi persetubuhan maka putusnya hubungan pernikahannya digantungkan pada masa selesainya idah. Bila pasangan yang lain (yang belum masuk Islam) masuk Islam sebelum selesainya masa ‘iddah maka keduanya tetap dalam pernikahan. Namun bila sampai dengan selesainya masa ‘iddah tidak juga masuk Islam maka (pernikahannya) diputuskan.” (Abu Ishak As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, [Beirut: Darul Fikr, 2005] juz. II, hal. 72)

Dari beberapa penjelasan para ulama di atas kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, apabila pasangan suami istri non-Muslim masuk Islam tidak secara bersamaan dan pada saat pihak yang pertama kali masuk Islam belum pernah terjadi persetubuhan di antara keduanya, maka pada saat itu juga pernikahan mereka menjadi terputus. Keduanya mesti dipisahkan.

Kedua, apabila pasangan suami istri non-Muslim masuk Islam secara tidak bersamaan dan keduanya telah melakukan persetubuhan, maka pernikahannya tidak secara otomatis menjadi putus, namun ditangguhkan dan digantungkan pada masa ‘iddah sang istri.

Adapun masa ‘iddah dalam hal ini adalah sama dengan masa ‘iddahnya istri yang ditalak, yakni 3 kali sucian. Pada saat masa ‘iddah ini sang suami tidak diperbolehkan menyetubuhi sang istri. Demikian dituturkan Imam Syafi’i di dalam kitab Al-Umm (Beirut: Darul Fikr, 2009, juz V, hal. 49).

Ketiga, pada kasus kedua di atas, bila pasangan yang belum masuk Islam kemudian masuk Islam pada saat masa ‘iddah belum selesai maka pernikahan keduanya tetap berjalan, tidak terputus dan karenanya tak perlu mengulang akad nikah. Namun bila sampai dengan selesainya masa ‘iddah pasangan yang belum masuk Islam tetap tidak masuk Islam, atau masuk Islam namun masa ‘iddah telah selesai, maka pernikahannya menjadi terputus, keduanya harus dipisahkan. Wallȃhu a’lam. 

Belum ada Komentar untuk "Suami Istri Non-Muslim Masuk Islam, Haruskah Mengulang Akad Nikah? (2-Habis)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel