Jika Istri Marah
Senin, 29 Juni 2020
Dalam kehidupan rumah tangga, kemarahan istri adalah misteri yang tak mudah dimengerti oleh para suami. Ia menjadi misteri lantaran sebab dan waktu terjadinya kerap tak bisa dipahami. Para istri pun seolah tak perlu memberi aba-aba untuk meluncurkan kemarahannya; mereka ‘bisa’ marah kapan saja dan untuk alasan apa saja. Terserah mereka sajalah! Karena itulah, kemarahan istri menjadi misteri.
Maka, tak perlu menyikapi misteri ini dengan emosi; nabi dan para sahabat telah memberi teladan tentang respons yang bisa diberikan ketika istri sedang marah. Dalam salah satu hadis yang direkam oleh Muslim, nabi menjelaskan tentang sifat umum perempuan;
“Perempuan tidak akan mampu lurus selamanya. Jika kamu merelakannya meski ada kebengkokan itu, kamu akan bahagia bersamanya. Tetapi jika kamu memaksa meluruskan kebengkokannya, kamu akan membuatnya patah, yaitu perceraian.” (HR. Muslim)
“Kebengkokan” yang dimaksud di hadis di atas dipahami sebagian mufassir sebagai ‘keunikan’ khas istri yang tak mudah dipahami suami. Nabi meminta para suami tidak memaksakan untuk meluruskan kebengkokan tersebut, yang berarti tak boleh bersikap terlalu keras, apalagi kasar, terhadap istri. Hal itu justru akan membuat hati sang istri patah dan bisa jadi, rumah tangga juga akan bubrah.
Karenanya, ketika istri sedang marah, nabi meminta para suami untuk sabar. Tak ada guna membalas kemarahan dengan luapan emosi yang serupa. Lihatlah apa yang dilakukan nabi ketika istrinya, Aisyah, marah. Ketika itu, Aisyah sedang dilanda cemburu. Ia tak terima Zainab mengirim makanan dan kurma untuk nabi. Karena cemburu, Aisyah disebut membanting piring yang digunakan sebagai wadah makanan dan kurma tersebut.
Nabi yang saat itu tengah menjamu para tamu tetap tenang. Beliau tidak marah, tidak pula merasa tersinggung oleh ulah istrinya. Nabi juga tidak khawatir disebut sebagai suami yang tak mampu mengendalikan istrinya.
Yang dilakukan nabi kemudian nyatanya cukup sederhana. Nabi punguti makanan yang berceceran di lantai. Ia letakkan makanan tersebut ke piring lain yang tidak pecah lalu membawanya ke ruang tamu untuk disuguhkan kepada para sahabat yang sedang berkunjung.
“Maaf, ibu kalian sedang cemburu,” begitu kata nabi.
Maaf? Kenapa justru nabi yang meminta maaf? Ternyata sikap ini berdasar pada perintah Allah di Quran, “karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali ‘Imran: 159)
Tentang sabar menghadapi kemarahan istri, Sayyidan Umar yang terkenal tegas dan bahkan cenderung galak pun rupanya juga memilih untuk tetap sabar saat istrinya marah. Ingat, untuk orang sekaliber Umar yang bahkan ditakuti para setan ini, tak pernah berani marah terhadap istri. Bahkan, ketika suatu ketika ia kepergok sedang dimarahi oleh istrinya, Umar tampak hanya diam.
“Kenapa engkau tetap diam dan tak membalas memarahi istrimu, wahai Umar?” tanya salah seorang sahabatnya usai kejadian itu.
“Wahai saudaraku, aku tetap sabar menghadapi perbuatannya karena memang itu kewajibanku. Istrikulah yang memasak makanan, membuatkan roti, mencucikan pakaian dan menyusui anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya. Di samping itu, hatiku merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram sebab jasa istriku). Karena itulah aku tetap sabar atas perbuatann istriku,” jawab Umar.
Sekelumit kisah di atas sebaiknya menjadi pelajaran kepada para suami untuk tetap sabar dan penuh kasih sayang terhadap istri, termasuk ketika mereka sedang tak enak hati. Kemarahan istri tak selalu bermakna benci, sering kali, ia hanya bagian kecil dari cara istri bereskpresi. Karenanya, utamakan sabar dan bersegera untuk memaafkan. Sebab, nabi menegaskan bahwa “sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya,” (HR. Tarmidzi) bukan yang paling galak, apalagi yang paling kasar.