Adab Berdzikir dan Berdoa Menurut Sayyid Utsman al-Batawi


Berdzikir adalah amalan yang tak bisa terlepas dari seorang Muslim. Membaca dzikir dan tasbih akan menanamkan ketenangan dalam jiwa. Segala keresahan hilang, serta kepasrahan dan keyakinan kepada Allah subhanahu wata’ala semakin tumbuh kuat dalam hati kita. Allah berfirman:

أَلَا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ


“Hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (Ar-Ra’d Ayat 28).

Semua amal ibadah memiliki peraturan dan juga tata krama atau etika sopan santun. Biasanya kita menemukan peraturan dalam peribadatan di dalam kitab-kitab fiqih. Sebut saja seperti shalat, di dalamnya terdapat rukun, syarat, dan lain-lain. Adapun menyangkut etika sopan santun serta masalah hati ketika beribadah dapat kita temukan di dalam ilmu tasawuf.

Sayyid Utsman, seorang mufti Betawi pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, memiliki kitab kecil yang menghimpun doa-doa dan itu sangat masyhur. Jika kita mencari doa-doa melalui gadget kita tak jarang doa tersebut merupakan hasil kutipan dari kitab kecil beliau. Judul kitabnya adalah Maslakul Akhyâr fî al-Ad’iyyah wal Adzkâr al-Wâridah ‘an Rasûlillah. Selain doa-doa, Sayyid Utsman juga mencantumkan syarat dan adab dalam berdoa. 

Keterangan-keterangan dalam kitab Maslak al-Akhyâr ditulis menggunakan Arab Pegon berbahasa Melayu. Akan tetapi kami akan menuliskannya sebagaimana bahasa Indonesia pada umumnya. Adapun syarat-syarat serta adab dalam berdzikir dan berdoa adalah:

Pertama, tidak mengerjakan dzikir-dzikir yang sunnah sedangkan amalan yang wajib belum dikerjakan. Adapun amalan yang wajib adalah seperti menuntut ilmu, menunaikan qadha shalat ketika punya utang shalat, dan sebagainya.

Rukun ini penting kita perhatikan karena seringkali kita melakukan amalan sunnah, apa pun itu selain membaca dzikir, padahal amalan wajib kita tinggalkan. Kita sibuk mendalami aliran tarekat tapi perkara fardhu seperti shalat serta rukun dan syaratnya kita sepelekan.

Kedua, jangan mengubah lafaz-lafaz dzikir atau mengganti huruf, dan bacalah sesuai dengan panjang pendeknya. Meskipun, sebenarnya bacaan sesuai dengan kaidah tajwid hanya diwajibkan ketika membaca Al-Qur’an. Sedangkan ketika berbicara bahasa Arab, membaca doa, dan syair, pelaksanaan aturan demikian tidak wajib. Namun, memperhatikan panjang-pendek, lafaz, dan huruf-hurufnya, merupakan sebuah ikhtiar seseorang dalam menjaga adab saat berdzikir, apalagi bila lafaz dzikir atau doa itu memang bersumber dari Al-Qur’an.

Ketiga, mengetahui makna dan arti doa yang dibaca. Dengan mengetahui makna doa yang kita baca kita akan lebih menghayati dan meresapi doa tersebut. Sehingga bukan hanya lisan saja yang bekerja, akan tetapi hati pun turut membantu. Hal ini berbeda dengan membaca Al-Qur`an yang meski tidak tahu arti teks yang dibaca, kita tetap mendapatkan pahala.

Keempat, makan makanan yang halal. 

Hal tersebut dikuatkan dengan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kitab Shahîh Muslim:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. أيها الناس إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا،ً وإن الله أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين فقال: يا أيها الرسل كلوا من الطيبات واعملوا صالحاً إني بما تعملون عليم. وقال: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ. ثم ذكر الرجل يطيل السفر، أشعث أغبر، يمد يديه إلى السماء يا رب يا رب، ومطعمه حرام، ومشربه حرام، وملبسه حرام، وغذي بالحرام، فأنى يستجاب لذلك


Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Wahai manusia sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik, dan sungguh Allah memerintahkan orang-orang mukmin sebagaimana yang telah diperintahkan kepada para rasul.” Lalu Allah berfirman, “Wahai para rasul, makanlah hal-hal yang baik, bekerjalah dengan benar sesungguhnya Aku Mahatahu dengan apa yang kalian kerjakan.” Dan Allah pun berfirman, “Wahai orang beriman makanlah hal baik yang telah Kami berikan pada kalian” (QS al-Baqarah: 172). Kemudian Nabi bercerita tentang seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu, sambil menengadahkan tangannya ke langit berkata, “Wahai Tuhan, Wahai Tuhan,” sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan kenyang dengan makanan haram, maka bagaimana mungkin ia akan dikabulkan permohonannya’” (HR Muslim).

Kelima, disunnahkan menghadap kiblat dan dalam keadaan suci dari hadats dan najis saat berdoa atau berdzikir. Selanjutnya adalah melaksanakannya dengan mengkhusyukkan hati dan tadlarru’ (merendahkan diri).

Sayyid Utsman menafsirkan tadlarru’ di sini sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 55:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ


Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS al-A’raf: 55).

Demikianlah keterangan mengenai syarat dan etika ketika berdoa dan berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala. Semoga dengan mengamalkan perkara yang telah disebutkan di atas, doa kita lebih mudah dikabulkan oleh Allah subhanahu wata’ala. Amiin
  
Amien Nurhakim, mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah

Belum ada Komentar untuk "Adab Berdzikir dan Berdoa Menurut Sayyid Utsman al-Batawi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel