Tiga Perbedaan Muslim Sejati dan Ekstremis


Allah subhanahu wata’ala menurunkan agama Islam untuk menjadi pedoman dan jalan hidup bagi manusia menuju keselamatan di dunia dan di akhirat. Allah menganugerahi agama ini dengan keistimewaan yang tidak Dia anugerahkan kepada agama-agama sebelumnya, yaitu sebagai agama yang penuh rahmat atau kasih sayang.

Sisi kerahmatan Islam dapat dilihat dari beberapa hal, di antaranya: ia diturunkan oleh Tuhan yang memiliki nama Rahman dan Rahim, yaitu Allah subhanahu wata’ala. Rahman berarti Tuhan yang menyayangi seluruh makhluk, meliputi manusia baik Muslim maupun non-Muslim, hewan, tumbuhan, dan sebagainya. Sedangkan Rahim berarti Tuhan yang menyayangi orang Islam saja. (Lihat: Sayyid Thanthawi, At-Tafsir al-Washit, juz I, h. 2).

Kemudian Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu a’laihi wasallam yang memiliki sifat rahmatan lil a’lamin atau rahmat bagi seluruh alam. Selain itu, Inti ajaran Islam adalah ajakan untuk mengedepankan kasih sayang. Rasul shallallahu a’laihi wasallam bersabda:

مَنْ لَا يَرْحَمِ الناسَ لَا يَرْحَمُهُ اللهُ


Barangsiapa yang tidak menyayangi manusia maka Allah tidak akan menyayanginya” (HR. Turmudzi).

Akan tetapi, dalam memahami Islam, umat Islam terbagi menjadi beberapa kelompok; ada yang ideal, dan ada yang radikal. Seorang ulama berkebangsaan Libya bernama Syekh Ali As-Shalabi menuturkan, ada tiga perbedaan Muslim sejati (al-muslim al-haqq) dan Muslim ekstrem (al-muslim al-mutasyaddid).

Pertama, Muslim sejati senantiasa menyibukkan diri dengan keimananya, sedangkan Muslim ekstrem selalu sibuk menilai keimanan orang lain. Seorang Muslim sejati akan sibuk mengintrospeksi diri sendiri; apa saja amal baik yang sudah dia kerjakan hari ini, dan dosa apa saja yang telah dia perbuat hari ini. Amal baik akan selalu dia tingkatkan, sedangkan kemaksiatan akan dia tinggalkan dan dia mintakan ampunan. Dia banyak melihat kejadiaan masa lalu, untuk dia perbaiki di masa depan, sebagaimana perintah Allah subhanahu wata’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ


“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok” (Al-Hasyr: 18).

Sementara, Muslim ekstrem selalu sibuk menilai keimanan orang lain. Sedikit saja ada kesalahan yang orang lain lakukan, dia akan menyalahkannya, menghakiminya, bahkan akan menghujatnya. Ketika orang tersebut menyadari akan kesalahannya, lalu meminta maaf dan bertaubat memohon ampunan kepada Sang Pencipta, dia sangat sulit menerima permohonan maaf dimaksud.

Naifnya, hal semacam ini kadang banyak dialami oleh orang-orang yang punya semangat berhijrah. Sebelum berhijrah, dia merasa dirinya banyak berlumuran dosa. Tetapi, setelah berhijrah, dia merasa orang lain banyak salah dan dosanya.

Kedua, Muslim sejati berusaha memasukkan dirinya dan orang lain ke dalam surga, sementara Muslim ekstrem berusaha mencari alasan bahwa orang lain akan masuk neraka. Muslim sejati akan senantiasa berpikir bagaimana dirinya dan orang lain akan masuk surga, dan bahagia bersama-sama. Baginya, surga bukanlah milik kelompoknya saja. Surga adalah milik seluruh hamba yang dikehendaki-Nya.

Seorang Muslim sejati akan memiliki sifat toleransi yang tinggi terhadap setiap perbedaan. Dia berkeyakinan bahwa perbedaan umat merupakan sebuah rahmat. Karenanya, dia tidak akan mudah menyalahkan kelompok lain yang berbeda dengannya. Dia juga berusaha merangkul sebanyak mungkin umat manusia dan mengajaknya ke jalan yang diridhai-Nya, dengan cara yang penuh hikmah. Allah subhanahu wata’ala:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ


“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (An-Nahl: 125).

Baginya, dakwah itu merangkul, bukan memukul. Mengajak, bukan mengejek. Mengilhami, bukan menghakimi. Memberi solusi, bukan beraksi. Membina, bukan menghina. Mengobati, bukan melukai. Menyejukkan, bukan memojokkan. Memikat, bukan mengumpat. Dan menasihati, bukan mencaci maki.

Di sisi lain, Muslim ekstrem selalu mencari alasan dan pembenaran bahwa orang lain akan masuk neraka. Bahkan, dia mencari dalil dari Al-Qur’an, hadits, atau pendapat ulama untuk memperkuat argumentasinya dalam menyalahkan orang lain. Tidak jarang, kata-kata kasar pun dia gunakan untuk menyebut orang dimaksud, seperti: kafir, murtad, neraka, jahannam, munafik, babi, dan anjing.

Dia akan cenderung tidak toleran terhadap perbedaan. Akibatnya, dia merasa kelompoknyalah yang paling benar, sedangkan kelompok lain salah. Dia meyakini bahwa kelompoknyalah yang berhak menempati surga, sedangkan kelompok lain akan masuk neraka.

Ketiga, Muslim sejati selalu berusaha mencari alasan yang dibenarkan (uzur syar’i) untuk orang lain agar mereka diampuni dan dimaafkan dari kesalahan dan ketergelinciran. Sementara, Muslim ekstrem selalu mencari-cari kesalahan orang lain, untuk mengejeknya, menghujatnya, lalu menghakimnya. 

Seorang Muslim sejati akan hati-hati dalam menghukumi perbuatan orang lain. Ia akan terlebih dahulu mencari alasan kenapa orang tersebut melakukannya. Sebagai gambaran, Muslim sejati yang melihat muslimah tidak memakai jilbab, tidak akan langsung menyalahkannya. Ia akan berkata dalam hatinya, barangkali perempuan tersebut belum tahu akan kewajiban mengenakan jilbab bagi muslimah. Lalu dia akan memberitahunya dengan kata-kata lembut.

Beberapa waktu kemudian, saat dia menjumpai perempuan tersebut belum juga mengenakan jilbab, dia akan berkata dalam dirinya, barangkali perempuan itu sudah tahu, tapi belum mau. Atau ia sudah mau, tapi belum mampu. Dan begitu seterusnya. Selain itu, Muslim sejati selalu menanamkan rasa optimis kepada orang yang akan bertaubat bahwa pintu ampunan Allah sangatlah luas, sebagaima firman Allah:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ


“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’,” (Az-Zumar: 53).

Sementara, Muslim ekstrem akan selalu mencari-cari kesalahan orang lain. Ketika dia menjumpai orang lain melakukan kesalahan, dia akan menghujatnya, menghinanya, bahkan menghakiminya. Tidak ada sedikitpun dalam dirinya, usaha untuk mengklarifikasi hal tersebut kepada yang bersangkutan. Dia pun tidak peduli, apakah orang tersebut sudah meminta maaf atas apa yang dia lakukan, dan bertaubat atas apa yang telah dia perbuat, atau belum.

Demikian sedikit paparan terkait perbedaan Muslim sejati dan Muslim ekstrem. Marilah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing, termasuk dalam kategori manakah diri kita? Semoga, kita termasuk golongan Muslim sejati, yang penuh toleransi, mudah memaafkan, dan mendakwahkan Islam dengan semangat kasih dan sayang. Wallahu A’lam.

Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung, dan Dosen IAIN Tulungagung.

Belum ada Komentar untuk "Tiga Perbedaan Muslim Sejati dan Ekstremis"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel