Seputar Lafal Atubu Ilaih dan Atubu Ilaik pada Istighfar
Kamis, 09 Juli 2020
Istighfar merupakan mashdar dari fi’il madli istaghfara-yastaghfiru-istighfarun mengikuti wazan istaf‘ala-yastaf‘ilu-istif‘alun dari tsulasi mujarrad ghafara. Tambahan hamzah washal, sin dan ta li thalab al-fi’li dalam kamus al-Bisyri berarti mencari, meminta. Imam Nawawi mengartikannya memohon ampun. As-sinu ath-thalab (huruf sin menunjukkan makna meminta/memohon) (Syekh Nawawi, al-Adzkar, Semarang: Pustaka ‘Alawiyah, hal. 29).
Dalam percakapan sehari-hari, kita sering mendengar orang menyuruh beristighfar, artinya memohon ampun atas segala kesalahan yang diperbuat sebagai bukti tobat kepada Allah subhanahu wata’ala. Banyak versi lafal istighfar sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama. Artikel ini tidak akan membahas lafal istighfar berdasarkan ragam redaksinya, namun hanya pada lafal atubu ilaih dan atubu ilaik (aku bertobat kepada-Nya dan aku bertobat kepada-Mu).
Sekilas kedua lafal ini sangat simpel dan sederhana, akan tetapi pada kenyataannya masih ada sebagian yang bingung penggunaan yang tepat antara keduanya. Kapan menggunakan atubu ilaih dan kapan menggunakan atubu ilaik.
Kiranya perlu menuliskan kedua lafal istighfar secara lengkap agar dapat memahaminya dengan mudah.
Pertama, atubu ilaih.
Rasululah dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh al-Bukhari bersabda:
واللهِ إِنيْ لَأستغفراللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أكثر من سبعين مرةً (رواه البخاري
“Demi Allah sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah, dan bertobat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari semalam” (HR Al-Bukhari).
Jika ditinjau dari segi bahasa أستغفراللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ lafal Allah merupakan maf’ul atau objek dari fi’il (kata kerja) أستغفر (aku memohon ampun). Sedangkan hu (baca hi) pada lafal ilaihi merupakan dlamir (kata ganti) dari lafal Allah yang menunjukkan ghaib. Sehingga dalam mengartikan menggunakan kata “Nya”.
Kedua, atubu ilaik.
Lafal kedua sering dibaca sebagai penutup doa kafaratul majelis, penutup doa setelah wudlu dan sebagainya. Syekh Nawawi dalam al-Adzkar menutup doa setelah wudlu dengan istighfar:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إليك
“Aku bersaksi sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau (Allah). Aku memohon ampun dan berobat kepada-Mu.”
Kata anta pada lafal لا إله إلا أنت berarti Engkau, yang menunjukkan terjadinya seakan bahwa Allah berada di hadapa hamba-Nya. Atau dalam bahasa Arab dikenal dengan dlamir mukhathab (objek yang diajak bicara). Dengan demikian kata ganti yang tepat adalah “ka” (yang berarti -Mu). Sehingga أستغفرك diartikan aku memohon ampun kepada-Mu dan أتوب إليك aku berobat kepada-Mu.
Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan jika lafal istighfar menyebutkan lafal Allah, أستغفراللهَ, maka di akhir istighfar menggunakan dlamir hu, وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ.. Jika pada lafal istighfar dlamir ka, أستغفرك , maka diakhiri dengan dlamir ka menjadi وأتوب إليك.
Konsekuensi atubu ilaih dan atubu ilaik
Kata atubu merupakan fi’il mudhari’ dari madli taba-atubu, berarti aku bertobat. Siapa pun yang mengucapkan lafal istighfar dengan diakhiri atubu ilaik atau atubu ilaih artinya seseorang telah menyatakan diri bertobat atas segala kesalahannya. Dan jika ternyata masih mengulangi perbuatan dosanya kembali maka ia telah berdusta. Pernyataan ini dapat dilihat dalam al-Adzkar Syekh Nawawi halaman 30, sebagai berikut:
ولو غير متلبس بها واستشكل بانه كذب ويجاب بانه خبر بمعنى الانشاء أي أسالك أن تتوب عليّ أو هو باق على خبريته والمعنى انه بصورة التائب الخاضع الذليل
“Walaupun sebenarnya belum bertobat (dalam pengamalannya), maka timbul kejanggalan bahwasanya itu merupakan suatu kedustaan. Namun kejanggalan itu dapat dijawab bahwasanya lafal وأتوب إليك merupakan jumlah khabariyah (kalimat informatif) yang bermakna insya’ (imperatif, doa). Sehingga, lafal وأتوب إليك diartikan “Ya Allah aku memohon semoga Engkau berkenan mengampuniku”. Atau, lafal وأتوب إليك tetap menjadi jumlah khabariyah sehingga وأتوب إليك diartikan layaknya seperti orang-orang yang benar-benar tobat, tunduk dan pasrah, berserah diri kepada Allah” (Syekh Nawawi, al-Adzkar, Semarang: Pustaka ‘Alawiyah, hal. 30).
Dapat dipahami bahwa lafal وأتوب إليك yang berarti “Aku bertobat kepada Engkau (Allah)” memiliki dua makna beserta konsekuensinya berdasarkan kehendak orang yang melafalkannya. Jika yang dikehendaki dari وأتوب إليك bermakna insya, sebagaimana dijelaskan di atas, maka orang yang melafalkan tidak dianggap berdusta walaupun dalam aplikasinya ia masih berbuat maksiat kepada Allah. Berbeda dengan yang kedua, jika lafal وأتوب إليك dinisbatkan kepada makna khabariyah, maka yang melafalkan harus benar-benar bertobat dan meninggalkan perbuatan dosanya. Ia akan dianggap mendustai Allah apabila ternyata masih melakukan dosa dan maksiat kepada-Nya.
Dalam syarah Sunan an-Nasai dari Rabi’ bin Khutsaim, beliau mengatakan:
لا يقل أحدكم أستغفراللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فيكون ذنبا وكذبا إن لم يفعل بل يقول اللهم اغفرلي وتب علي
“Janganlah salah satu dari kalian semua mengatakan أستغفراللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْه, karena hal ini merupakan dosa dan kebohongan jika tidak menjalankannya.
Akan tetapi katakanlah اللهم اغفرلي وتب علي (Ya Allah ampunilah aku dan terimalah tobatku. (Syekh Ali bin Adam bin Musa, Dakhirah al-‘Uqba Fi Syarhi al-Mujtaba, juz 13, hal. 153).
Terlepas dari makna khabariyah maupun insya, istighfar merupakan bentuk permohonan ampun kepada Allah sebagai wujud pengakuan atas dosa-dosa dan bertekad untuk meninggalkannya. Ketika sudah mengikrarkan istighfar, maka yang perlu dilakukan adalah mengaplikasikan ikrarnya dalam perbuatan, dengan berusaha menjauhi maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala.
Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta