Apakah Shalat Tarawih Dapat Diqadha?


Waktu shalat tarawih adalah rentang di antara shalat Isya dan terbitnya fajar. Oleh karenanya, tarawih harus dilakukan setelah melaksanakan shalat Isya dan sebelum masuk waktu subuh. Namun, karena satu dan beberapa hal, terkadang seseorang tidak bisa melakukan tarawih pada waktunya, semisal karena sakit.

Bagaimana hukum mengqadha shalat tarawih yang tertinggal dari waktunya? Kalau boleh, sampai batas kapan mengqadhanya? Apakah dibatasi hanya di bulan Ramadhan?

Di dalam khazanah fiqih mazhab Syafi’i, shalat sunah terbagi menjadi tiga macam.

Pertama, An-Naflul Muthlaq, yaitu shalat yang tidak diberi batas waktu, kapan saja dapat dilakukan asalkan tidak di waktu-waktu terlarang seperti setelah shalat Ashar. Shalat sunah jenis ini tidak mengenal istilah qadha, sebab ia tidak memiliki waktu secara khusus. Sementara qadha adalah shalat yang dilakukan di luar waktunya. Namun menurut Al-Imam Al-Adzra’i, bila seseorang memiliki wiridan khusus melaksanakan shalat sunah mutlak di waktu tertentu, sunah baginya untuk mengqadhanya bila shalat yang sudah menjadi kebiasaannya tertinggal dari waktunya.

Kedua, An-Naflul Muaqqat, yaitu shalat sunah yang diberi durasi waktu tertentu. Syariat telah memberinya waktu khusus untuk pelaksanaan shalat jenis ini. Pelaksanaan jenis shalat ini juga tidak dibatasi oleh sebab tertentu seperti terjadinya gerhana atau musim kemarau panjang yang mengakibatkan minimnya air. Contoh shalat yang masuk jenis kedua ini adalah shalat rawatib (shalat qabliyyah dan ba’diyyah), shalat Dhuha, shalat tarawih dan lain-lain.

Menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i, bila shalat-shalat tersebut terlewat dari waktunya, hukum mengqadhanya adalah sunah. Pendapat ini berpijak dari beberapa hadits Nabi, di antaranya Nabi mengqadha shalat dua rakaat ba’diyyah Zhuhur (HR Al-Bukhari dan Muslim), Nabi mengqadha shalat qabliyyah Subuh saat beliau tertidur di sebuah jurang (HR Abu Dawud) dan hadits Nabi “Barang siapa tertidur atau lupa shalat, hendaklah ia mengerjakannya ketika ingat,” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Ketiga, An-Naflu Dzus Sabab, yaitu shalat yang pelaksanaannya dibatasi dengan sebab tertentu, seperti shalat gerhana matahari (kusyufus syams) yang dibatasi dengan terjadinya gerhana matahari, shalat gerhana bulan (khusuful qamar) yang dibatasi dengan peristiwa gerhana bulan dan shalat Istisqa yang dibatasi dengan kondisi darurat air. Ketika sebab-sebabnya sudah hilang, maka jenis shalat ketiga ini tidak lagi dianjurkan untuk dilakukan. Ulama Syafi’iyyah menegaskan, jenis shalat ketiga ini tidak disunahkan untuk diqadha.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hukum mengqadha shalat Tarawih adalah sunah. Lalu kapan waktu mengqadhanya? Apakah harus di malam hari juga? Apakah harus masih di bulan Ramadhan?

Ulama menegaskan bahwa tidak ada batasan waktu kapan shalat tarawih diqadha’, boleh dilakukan kapan pun, bisa di pagi, siang atau malam hari. Pelaksanaan qadha tarawih juga tidak harus di bulan Ramadhan, bisa dilakukan di Syawal atau bulan-bulan lainnya.

Namun sebaiknya, shalat tarawih yang tertinggal agar segera diqadha’, sebab mempercepat kebaikan adalah hal yang dianjurkan agama. Tata cara shalat qadha tarawih sama seperti shalat tarawih yang dilakukan pada waktunya.

Adapun contoh niatnya adalah “Ushalli sunnata rak’ataini minat Tarawihi qadha’an lillahi ta’ala,” (Saya niat shalat sunah dua rakaat dari Tarawih secara qadha’ karena Allah).

Penjelasan di atas berdasarkan referensi berikut ini:

وَلَوْ فَاتَ النَّفَلُ الْمُؤَقَّتُ سُنَّتْ الْجَمَاعَةُ فِيهِ كَصَلَاةِ الْعِيدِ أَوْ لَا كَصَلَاةِ الضُّحَى نُدِبَ قَضَاؤُهُ فِي الْأَظْهَرِ لِحَدِيثِ الصَّحِيحَيْنِ مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا


Artinya, “Bila terlewat shalat sunah yang diberi batasan waktu, baik yang disunahkan berjamaah seperti shalat hari raya atau tidak seperti shalat Dhuha, maka sunah mengqadha’nya menurut pendapat Al-Azhar. Hal ini karena haditsnya Al-Bukhari dan Muslim; Barang siapa tertidur dari shalat atau lupa darinya, maka shalatlah ketika ia ingat;”

وَلِأَنَّهُ - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَضَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ لَمَّا نَامَ فِي الْوَادِي عَنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ إلَى أَنْ طَلَعَتْ الشَّمْسُ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُد بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ، وَفِي مُسْلِمٍ نَحْوُهُ


Artinya, “Karena Nabi mengqadha’ dua rakaat qabliyyah Subuh ketika beliau tertidur di jurang dari shalat Subuh sampai matahari terbit. Hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih. Di dalam Shahih Muslim juga disampaikan riwayat senada.

وَقَضَى رَكْعَتَيْ سُنَّةِ الظُّهْرِ الْمُتَأَخِّرَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ، وَلِأَنَّهَا صَلَاةٌ مُؤَقَّتَةٌ فَقُضِيَتْ كَالْفَرَائِضِ، وَسَوَاءٌ السَّفَرُ وَالْحَضَرُ كَمَا صَرَّحَ بِهِ ابْنُ الْمُقْرِي


Artinya, “Nabi mengqadha’ dua rakaat ba’diyyah Zhuhur setelah shalat Ashar. Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Karena shalat tersebut adalah shalat yang diberi batasan waktu, maka diqadha seperti shalat fardhu. Ketentuan ini berlaku baik untuk shalat sunah yang tertinggal saat berpergian dan saat di rumah seperti dijelaskan oleh Imam Ibnul Muqri,” (Lihat Syekh Khathib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz I, halaman 457).

Di dalam referensi lain disebutkan:

وَلَوْ فَاتَ النَّفَلُ الْمُؤَقَّتُ كَصَلَاةِ الْعِيدِ وَالضُّحَى وَالرَّوَاتِبِ نُدِبَ قَضَاؤُهُ أَبَدًا فِي الْأَظْهَرِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ كَقَضَائِهِ - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - سُنَّةَ الصُّبْحِ  فِي قِصَّةِ الْوَادِي بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَسُنَّةَ الظُّهْرِ الْبَعْدِيَّةَ بَعْدَ الْعَصْرِ لَمَّا اشْتَغَلَ عَنْهَا بِالْوَفْدِ؛ وَلِأَنَّهَا صَلَاةٌ مُؤَقَّتَةٌ فَقُضِيَتْ كَالْفَرَائِضِ، وَلَا فَرْقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ ابْنُ الْمُقْرِي


Artinya, “Jika tertinggal shalat sunah yang diberi batasan waktu seperti shalat hari raya, shalat Dhuha dan shalat rawatib, maka sunah mengaqadha’nya kapan pun menurut pendapat Al-Azhhar, karena beberapa hadits yang shahih tentang hal itu, seperti nabi mengqadha’ shalat sunah Shubuh dalam peristiwa jurang setelah terbitnya matahari, nabi mengqadha ba’diyyah Zhuhur setelah Ashar ketika beliau sibuk dengan utusan, dan karena shalat tersebut diberi batas waktu, maka diqadha sebagaimana shalat fardhu. Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara shalat yang tertinggal saat kondisi di rumah dan bepergian seperti yang dijelaskan Imam Ibnul Muqri.”

وَالثَّانِي لَا يُقْضَى كَغَيْرِ الْمُؤَقَّتِ


Artinya, “Menurut pendapat kedua, tidak sunah diqadha’, (karena disamakan) dengan shalat selain yang diberi batas waktu”.

وَخَرَجَ بِالْمُؤَقَّتِ ذُو السَّبَبِ كَكُسُوفٍ وَاسْتِسْقَاءٍ وَتَحِيَّةٍ فَلَا مَدْخَلَ لِلْقَضَاءِ فِيهِ، وَالصَّلَاةُ بَعْدَ الِاسْتِسْقَاءِ شُكْرًا عَلَيْهِ لَا قَضَاءً


Artinya, “Terkecuali dari ucapan shalat yang diberi batas waktu, shalat sunah yang memiliki sebab seperti shalat gerhana matahari, istisqa dan tahiyyatul masjid, maka tidak ada ruang mengqadha’ di dalamnya. Demikian pula shalat setelah pelaksanaan shalat istisqa untuk mensyukuri (turunnya hujan), bukan dalam rangka mengqadha.

نَعَمْ لَوْ قَطَعَ نَفْلًا مُطْلَقًا اُسْتُحِبَّ قَضَاؤُهُ، وَكَذَا لَوْ فَاتَهُ وِرْدُهُ مِنْ النَّفْلِ الْمُطْلَقِ كَمَا قَالَهُ الْأَذْرَعِيُّ


Artinya, “Namun demikian, bila seseorang telah memastikan waktu shalat sunah mutlak, maka sunah mengqadhanya. Demikian pula bila wiridannya dari shalat sunah mutlak tertinggal, (sunah diqada’kan) seperti dikatakan Imam Al-Adzra’i,” (Lihat Syekh Muhammad bin Ahmad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, juz II, halaman 121).

Mengomentari referensi An-Nihayah tersebut, Syekh Ali Syibramalisi menegaskan:

قَوْلُهُ: أَبَدًا فِي الْأَظْهَرِ) أَيْ فَلَا يُتَقَيَّدُ قَضَاءُ فَائِتِ النَّهَارِ بِبَقِيَّتِهِ وَلَا فَائِتِ اللَّيْلِ بِبَقِيَّتِهِ خِلَافًا لِمَنْ قَالَ بِهِ. اهـ مَحَلِّيٌّ بِالْمَعْنَى


Artinya, “Ucapan Ar-Ramli; kapan pun menurut pendapat Al-Azhhar; maksudnya (waktu) mengqadha shalat sunah siang hari yang tertinggal tidak dibatasi dengan sisa waktu siang, demikian pula shalat sunah malam yang tertinggal tidak dibatasi dengan sisa waktu malam, berbeda menurut ulama yang berpendapat dengan pembatasan tersebut,” (Lihat Syekh Ali Syibramalisi, Hasyiyah ‘ala Nihayatil Muhtaj, juz II, halaman 121).

Demikian penjelasan mengenai hukum mengqadha shalat tarawih. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.

Belum ada Komentar untuk "Apakah Shalat Tarawih Dapat Diqadha?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel