Hukum Pengumuman sebelum Khutbah Jumat
Minggu, 03 Mei 2020
Tulis Komentar
Masjid tidak hanya berfungsi untuk shalat, i’tikaf atau kegiatan ibadah lainnya, namun juga sebagai tempat untuk mempersatukan umat Islam. Minimal satu kali dalam seminggu umat Islam berkumpul bersama di masjid untuk menunaikan Jumatan. Di sela-sela rangkaian Jumatan, masyarakat juga dapat menerima info penting dari takmir masjid setempat, semisal laporan saldo kas masjid, info pengajian, agenda istighotsah, jadwal halaqah, dan lain sebagainya.
Pengumuman tersebut biasanya disampaikan langsung oleh pihak takmir melalui pengeras suara masjid. Pengumuman oleh pihak takmir biasanya disampaikan sebelum khatib naik ke mimbar. Pertanyaannya adalah bagaimana hukum tradisi pengumuman tersebut?
Persoalan ini setidaknya dapat disikapi dalam tiga sudut pandang. Pertama, legalitas penggunaan speaker masjid. Kedua, mengganggu orang shalat. Ketiga, kebolehan berbicara sebelum khutbah.
Pertama, legalitas penggunaan speaker masjid.
Ulama menegaskan bahwa benda milik masjid wajib digunakan untuk kemashlahatan masjid, tidak diperbolehkan untuk dipakai di luar keperluan masjid. Pada titik ini, penggunaan speaker masjid sebagaimana duduk persoalan di atas memiliki legalitasnya di dalam fiqih, sebab pengumuman yang disampaikan pihak takmir masih berhubungan dengan kemaslahatan masjid.
Syekh Izzuddin bin Abdissalam mengatakan:
يتصرف الولاة ونوابهم بما ذكرنا من التصرفات بما هو الأصلح للمولى عليه درءا للضرر والفساد وجلبا للنفع والرشاد ولا يقتصر أحدهم على الصلاح مع القدرة على الأصلح إلا أن يؤدي إلى مشقة شديدة
“Para wali (penanggung jawab urusan orang lain) dan para penggantinya wajib mentasharufkan secara lebih mashlahat untuk pihak yang menjadi tanggung jawabnya, untuk menolak mudlarat dan kerusakan, serta menggapai kemanfaatan dan petunjuk. Mereka tidak boleh terbatas kepada kebaikan padahal mampu menghasilkan yang lebih baik kecuali menyebabkan keberatan yang sangat.” (Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, Qawa’id al-Ahkam, juz 2, hal. 75)
Berkaitan dengan aturan pemakaian peralatan milik masjid, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
“Tidak boleh menggunakan tikari masjid dan selimutnya selain untuk digelar di masjid secara mutlak, baik karena ada kebutuhan atau tidak.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra, juz 3, hal. 287)
Kedua, mengganggu orang shalat
Pengumuman yang disampaikan sebelum khutbah, terkadang berbarengan dengan kegiatan shalat sunah yang dilaksanakan oleh sebagian jamaah. Di dalam aturan fiqih, mengeraskan suara di masjid hukumnya diperbolehkan asalkan tidak sampai mengganggu orang shalat. Mengganggu yang diharamkan adalah sekiranya sampai pada batas yang tidak ditoleransi menurut kebiasaan orang, sehingga bila gangguan tersebut biasa-biasa saja, tidak dianggap berat oleh umumnya orang, maka diperbolehkan. Dalam titik ini, umumnya pengumuman oleh pihak takmir dianggap wajar oleh masyarakat, selain karena sudah menjadi tradisi, pengumuman tersebut disampaikan secukupnya dan dengan suara yang standar. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
“Haram bagi siapa pun mengeraskan suara di dalam dan di luar shalat, bila hal tersebut dapat mengganggu orang lain, baik orang shalat, pembaca al-Qur’an atau orang tidur, karena menimbulkan mudarat. Mengganggu tidaknya dikembalikan kepada orang yang terganggu meski fasiq, karena hal tersebut tidak bisa diketahui kecuali darinya. Pendapat yang dijelaskan mushannif berupa keharaman mengganggu adalah jelas, namun bertentangan dengan statemen kitab al-Majmu’ dan lainnya. Sesungguhnya dalam kitab tersebut seakan menegaskan ketiadan hukum haram. Kecuali pendapat dalam kitab al-Majmu’ tersebut diarahkan pada mengganggu yang ringan.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim, juz 2, hal. 396-397)
Mengomentari referensi di atas, Syekh Mahfuzh al-Tarmasi menegaskan:
“Ucapan Syekh Ibnu Hajar, diarahkan pada mengganggu yang ringan, maksudnya, keterangan yang disebutkan mushannif (Syekh Ibnu Hajar) berupa keharaman mengganggu diarahkan kepada gangguan yang berat. Redaksi kitab al-I’ab menegaskan, seyogyannya statemen kitab al-Majmu’, (makruh) meski menyakiti tetangganya, diarahkan kepada menyakiti dalam taraf ringan yang ditolerir secara umum, berbeda dengan mengeraskan bacaan yang dapat menghambat bacaan jamaah lain secara total.” (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Mauhibatu Dzi al-Fadli ‘Ala al-Minhaj al-Qawim, juz 2, hal. 396-397).
Ketiga, kebolehan berbicara sebelum khutbah.
Yang diperintahkan oleh agama adalah diam saat khutbah berlangsung, sehingga jamaah dapat menangkap dengan baik khutbah yang disampaikan. Sehingga makruh hukumnya berbicara bagi jamaah saat khutbah berlangsung. Berbeda halnya dengan berbicara sebelum khutbah, hukumnya diperbolehkan dan tidak makruh, sebab tidak ada kaitannya dengan anjuran mendengarkan khutbah secara seksama. Dalam titik ini, berbicara dikembalikan kepada hukum asalnya, yaitu tergantung dengan isi pembicaraannya. Pengumuman yang dilakukan oleh takmir secara isi adalah positif dan bermanfaat untuk jamaah.
Syekh Zakariyya al-Anshari menegaskan:
“Diperbolehkan tanpa hukum makruh bagi jamaah untuk berbicara sebelum dan sesudah khutbah dan di antara kedua khutbah.” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 258).
Dalam perincian yang sedikit lebih luas, Syekh Taqiyyuddin al-Hishni mengatakan:
“Boleh berbicara sebelum khutbah, seteleh selesai khutbah dan sebelum shalat Jumat.” (Syekh Taqiyyuddin al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, juz 1, hal. 151).
Demikian penjelasan mengenai hukum pengumuman sebelum khutbah Jumat. Meski boleh, sebaiknya pengumuman dilakukan sebatas kebutuhan.
Bila masih mungkin menyampaikan info melalui cara lain semisal papan info atau dilakukan setelah ibadah Jumat selesai akan lebih baik lagi, sebab untuk mengantisipasi potensi mengganggu kepada sebagian jamaah. Demikian semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat
Berkaitan dengan aturan pemakaian peralatan milik masjid, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
ولا يجوز استعمال حصر المسجد ولا فراشه في غير فرشه مطلقا سواء أكان لحاجة أم لا
“Tidak boleh menggunakan tikari masjid dan selimutnya selain untuk digelar di masjid secara mutlak, baik karena ada kebutuhan atau tidak.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra, juz 3, hal. 287)
Kedua, mengganggu orang shalat
Pengumuman yang disampaikan sebelum khutbah, terkadang berbarengan dengan kegiatan shalat sunah yang dilaksanakan oleh sebagian jamaah. Di dalam aturan fiqih, mengeraskan suara di masjid hukumnya diperbolehkan asalkan tidak sampai mengganggu orang shalat. Mengganggu yang diharamkan adalah sekiranya sampai pada batas yang tidak ditoleransi menurut kebiasaan orang, sehingga bila gangguan tersebut biasa-biasa saja, tidak dianggap berat oleh umumnya orang, maka diperbolehkan. Dalam titik ini, umumnya pengumuman oleh pihak takmir dianggap wajar oleh masyarakat, selain karena sudah menjadi tradisi, pengumuman tersebut disampaikan secukupnya dan dengan suara yang standar. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
ـ (ويحرم) على كل أحد (الجهر) في الصلاة وخارجها (إن شوش على غيره) من نحو مصل أو قارئ أو نائم للضرر ويرجع لقول المتشوش ولو فاسقا لأنه لا يعرف إلا منه وما ذكره من الحرمة ظاهر لكنه ينافيه كلام المجموع وغيره فإنه كالصريح في عدمها إلا أن يجمع بحمله على ما إذا خف التشويش
“Haram bagi siapa pun mengeraskan suara di dalam dan di luar shalat, bila hal tersebut dapat mengganggu orang lain, baik orang shalat, pembaca al-Qur’an atau orang tidur, karena menimbulkan mudarat. Mengganggu tidaknya dikembalikan kepada orang yang terganggu meski fasiq, karena hal tersebut tidak bisa diketahui kecuali darinya. Pendapat yang dijelaskan mushannif berupa keharaman mengganggu adalah jelas, namun bertentangan dengan statemen kitab al-Majmu’ dan lainnya. Sesungguhnya dalam kitab tersebut seakan menegaskan ketiadan hukum haram. Kecuali pendapat dalam kitab al-Majmu’ tersebut diarahkan pada mengganggu yang ringan.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim, juz 2, hal. 396-397)
Mengomentari referensi di atas, Syekh Mahfuzh al-Tarmasi menegaskan:
ـ (قوله على ما إذا خف التشويش) أي وما ذكره المصنف من الحرمة على إذا اشتد وعبارة الإيعاب ينبغي حمل قول المجموع وإن آذى جاره على إيذاء خفيف يتسامح به بخلاف جهر يعطله عن القراءة بالكلية انتهى
“Ucapan Syekh Ibnu Hajar, diarahkan pada mengganggu yang ringan, maksudnya, keterangan yang disebutkan mushannif (Syekh Ibnu Hajar) berupa keharaman mengganggu diarahkan kepada gangguan yang berat. Redaksi kitab al-I’ab menegaskan, seyogyannya statemen kitab al-Majmu’, (makruh) meski menyakiti tetangganya, diarahkan kepada menyakiti dalam taraf ringan yang ditolerir secara umum, berbeda dengan mengeraskan bacaan yang dapat menghambat bacaan jamaah lain secara total.” (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Mauhibatu Dzi al-Fadli ‘Ala al-Minhaj al-Qawim, juz 2, hal. 396-397).
Ketiga, kebolehan berbicara sebelum khutbah.
Yang diperintahkan oleh agama adalah diam saat khutbah berlangsung, sehingga jamaah dapat menangkap dengan baik khutbah yang disampaikan. Sehingga makruh hukumnya berbicara bagi jamaah saat khutbah berlangsung. Berbeda halnya dengan berbicara sebelum khutbah, hukumnya diperbolehkan dan tidak makruh, sebab tidak ada kaitannya dengan anjuran mendengarkan khutbah secara seksama. Dalam titik ini, berbicara dikembalikan kepada hukum asalnya, yaitu tergantung dengan isi pembicaraannya. Pengumuman yang dilakukan oleh takmir secara isi adalah positif dan bermanfaat untuk jamaah.
Syekh Zakariyya al-Anshari menegaskan:
ويباح لهم بلا كراهة الكلام قبل الخطبة وبعدها وبينهما أي الخطبتين
“Diperbolehkan tanpa hukum makruh bagi jamaah untuk berbicara sebelum dan sesudah khutbah dan di antara kedua khutbah.” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 258).
Dalam perincian yang sedikit lebih luas, Syekh Taqiyyuddin al-Hishni mengatakan:
ويجوز الكلام قبل الشروع في الخطبة وبعد الفراغ منها وقبل الصلاة
“Boleh berbicara sebelum khutbah, seteleh selesai khutbah dan sebelum shalat Jumat.” (Syekh Taqiyyuddin al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, juz 1, hal. 151).
Demikian penjelasan mengenai hukum pengumuman sebelum khutbah Jumat. Meski boleh, sebaiknya pengumuman dilakukan sebatas kebutuhan.
Bila masih mungkin menyampaikan info melalui cara lain semisal papan info atau dilakukan setelah ibadah Jumat selesai akan lebih baik lagi, sebab untuk mengantisipasi potensi mengganggu kepada sebagian jamaah. Demikian semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan Arjawinangun Cirebon Jawa Barat
Belum ada Komentar untuk "Hukum Pengumuman sebelum Khutbah Jumat"
Posting Komentar