Keterlambatan Darah Nifas dalam Ketentuan Fiqih
Rabu, 13 Mei 2020
Tulis Komentar
Ada tiga jenis darah yang keluar dari kemaluan perempuan, yaitu haidh, nifas, dan istihadhah (penyakit). Ketiganya memiliki kriteria dan waktu masing-masing. Namun, faktanya ada saja perempuan yang darah kewanitaannya keluar bukan pada waktunya.
Ada yang merasa bingung, apakah darah yang keluar itu dianggap haidh, nifas, atau istihadhah karena darah kewanitaannya keluar bukan pada waktunya. Belum lagi masalah haidh tidak lancar dan masa keluarnya yang tidak menentu. Lantas bagaimana pula dengan kewajiban shalatnya?
Mengingat luasnya masalah ini, cakupan masalah dalam tulisan kali ini akan dibatasi pada masalah darah nifas saja. Seperti dimaklumi, nifas adalah darah yang biasa keluar setelah melahirkan. Namun, sering kali ada perempuan yang darah nifasnya keluar beberapa hari setelahnya, bahkan dua minggu kemudian.
Seseorang mungkin bingung dan bertanya-tanya, apakah darah yang keluar darinya tetap darah nifas atau bukan?
Persoalan ini telah diungkap oleh Syekh Muhammad Nawawi dalam Kitab Riyadhul Badi‘ah. Ia menuliskan:
والنفاس هو الدم الخارج منها) أى من المرأة (بعد تمام ولادتها) وقبل مضى أقل الطهر فلو لم تر الدم إلا بعد مضى خمسة عشر يوما من الولادة فلا نفاس لها فإن رأتها قبل ذلك وبعد الولادة بأن تأخر خروجه عنها فبتدائه من رؤية الدم وزمان النقاء لا نفاس فيه لكنه محسوب من الستين فيجب قضاء الصلاة التي فاتت فيه ويجوز لزوجها أن يستمتع بها فيه
Artinya, “Nifas adalah darah yang keluar dari perempuan pascamelahirkan, tepatnya sebelum masa suci minimal haidh. Seandainya, ia melihat darah setelah lima belas hari pascamelahirkan maka tidak ada nifas. Namun, jika ia melihatnya sebelum itu dan pascamelahirkan, seperti keluar darahnya terlambat, maka mulai nifasnya sejak terlihatnya darah. Sementara waktu bersihnya tidak dianggap nifas. Namun, waktu bersih tersebut diiitung masuk ke dalam masa enam puluh hari sehingga pada waktu tersebut ia wajib mengqadha shalat yang tertinggal. Bahkan, pada waktu itu suaminya diperbolehkan bersenang-senang dengannya,” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Riyadhul Badhi‘ah, Terbitan Maktabah Syekh Salim: halaman 28).
Dari petikan di atas, dapat ditarik beberapa simpulan:
1. Nifas adalah darah yang keluar dari perempuan yang telah melahirkan sebelum lewat masa suci minimal antara dua haidh, yakni 15 hari.
2. Jika perempuan yang melahirkan melihat darah keluar setelah berlalu masa minimal suci, yakni 15 hari, maka ia tidak dianggap nifas. Artinya, itu darah haidh saja. Ketentuan ini berlaku juga pada perempuan haidh.
3. Jika darah keluar sebelum masa minimal suci, seperti terlambat keluarnya, maka nifasnya diitung sejak ia melihat darah tersebut.
4. Masa suci sebelum darah nifas keluar dihitung sebagai bagian dari masa terlama nifas, yakni 60 hari. Darah yang keluar lewat dari 60 hari sejak melahirkan di luar 60 sejak darah keluar dianggap darah penyakit atau istihadhah.
5. Shalat-shalat yang terlewat pada masa suci sebelum nifas wajib diqadha.
6. Karena tidak keluarnya darah sebelum nifas dianggap masa suci, seorang istri boleh menerima ajakan hubungan intim suaminya. Namun, semua ini merupakan kebolehan menurut ketentuan fiqih karena pada praktiknya suami mempertimbangkan kondisi istri yang secara psikologis masih berat usai melahirkan. Wallahu a’lam.
Ustadz M Tatam, Pengasuh Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin, Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Belum ada Komentar untuk "Keterlambatan Darah Nifas dalam Ketentuan Fiqih"
Posting Komentar