Larangan Jual Beli Munabadzah dan Alasannya
Jumat, 15 Mei 2020
Tulis Komentar
Bai’ Munabadzah, di dalam Mu’jam al-Ma’any, dimaknai sebagai:
بيع المنابذة : بيع في الجاهلية . كان الرجل « ينبذ » الحصاة ، أي يطرحها ويرميها ، ويقول لصاحب الغنم : إن ما أصاب الحجر فهو لي بكذا . وقيل غير ذلك
Artinya: “Jual beli munabadzah: jual beli era jahiliyah, di mana seseorang melakukan pelemparan kerikil atau semacamnya terhadap objek barang yang dibeli (seumpama sekawanan kambing), kemudian berkata kepada pemilik dagangan kambing: “yang terkena lemparan batuku ini menjadi milikku aku tukar dengan harga sekian-sekian.” Kadang definisi munabadzah disampaikan dengan konteks lain.” (Mu’jamu al-Ma’anay)
Masih dalam kitab yang sama, dijelaskan bahwa asal kata dari munabadzah adalah berasal dari kata nabadza yang berarti memeras anggur sehingga menghasilkan anggur perasan. Sebagaimana makna ini tercermin dari sebuah Hadits Muslim, Nomor Hadits 3745, di mana disampaikan:
كُنَّا نَنْبِذُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سِقَاءٍ يُوكَى أَعْلَاهُ ، وَلَهُ عَزْلَاءُ نَنْبِذُهُ غُدْوَةً ، فَيَشْرَبُهُ عِشَاءً وَنَنْبِذُهُ عِشَاءً فَيَشْرَبُهُ غُدْوَةً
Artinya: “Kami biasa membuat perasan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam air minum yang bertali di atasnya, kami membuat rendaman di pagi hari dan meminumnya di sore hari, atau membuat rendaman di sore hari lalu meminumnya di pagi hari” (HR. Muslim).
Dan yang kita kehendaki dalam tulisan ini, munabadzah sebagai bagian dari akad jual beli lempar kerikil sebagaimana pengertian pertama, atau yang memiliki pengertian sebagaimana tertuang dalam hadits berikut:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُلَامَسَةِ , وَالْمُنَابَذَةِ , وَالْمُلَامَسَةُ : أَنْ يَتَبَايَعَ الرَّجُلَانِ بِالثَّوْبَيْنِ تَحْتَ اللَّيْلِ يَلْمِسُ كُلُّ رَجُلٍ مِنْهُمَا ثَوْبَ صَاحِبِهِ بِيَدِهِ , وَالْمُنَابَذَةُ : أَنْ يَنْبِذَ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ الثَّوْبَ وَيَنْبِذَ الْآخَرُ إِلَيْهِ الثَّوْبَ فَيَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dari jual beli mulamasah dan munabadzah. Mulamasah adalah proses jual belinya dua orang dengan objek barang terdiri dari dua baju (ada di tangan masing-masing pihak yang beraqad = masing-masing pihak membawa baju satu dan dipertukarkan) yang dilangsungkan saat malam hari (kondisi gelap), dan tiap-tiap dari kedua orang ini diperkenankan menyentuh baju yang dibawa rekanannya. Sementara jual beli munabadzah terjadi melalui saling lempar objek barang yang dipertukarkan yang terdiri dari objek baju, dan dengan cara itu mereka bertransaksi.” (HR. Al-Nasai, dan termaktub dalam Sunan Al-Nasai, Nomor Hadits 4517).
Alhasil, dengan mencermati pengertian pertama dan sekaligus hadits terakhir di atas, maka unsur penyusun dari bai’ munabadzah dapat diperinci sebagai berikut:
Ada 2 orang yang berakad jual beli
- Adanya shighat akad, yang terdiri dari dua mekanisme, yaitu: (a) ijab-qabul, dan (b) adanya melempar batu atau sejenisnya ke rombongan “objek barang yang dibeli”. Dalam Hadits kedua di atas, hanya disebutkan saling lempar barang yang akan dipertukarkan, yang berarti hal itu terjadi dalam kondisi masing-masing pelaku tidak memeriksa barang yang dibawa oleh rekanannya dan hendak dipertukarkan. Pokok intinya ada pada saling lempar
- Serombongan objek barang yang dijualbelikan atau adanya dua barang yang hendak dipertukarkan
- Barang yang terkena lemparan / undian, atau barang yang saling dilemparkan otomatis sebagai ganti (harga barang) dari barang lainnya yang diterima.
Memahami konsep saling lempar ini, menyerupai praktik saat kita nonton adegan film The Godfather yang diproduksi tahun 1990 atau Scarface yang diproduksi tahun 1983, di mana adengannya digambarkan ada dua geng mafia narkoba yang sama-sama membawa barang yang hendak dipertukarkan dan dikemas dalam tas koper. Lalu, masing-masing pihak melemparkan barang itu ke arah lawan transaksinya, lalu diambil, dan kemudian pergi. Gegernya di belakang setelah tahu ternyata tidak sesuai harapan masing-masing pemimpin geng. Akhirnya terjadi kejar-mengejar dan baku tembak dengan aktor utamanya sebagai pemenang meskipun berdarah-darah.
Adapun untuk kasus munabadzah yang terdiri dari serombongan objek barang yang dijual dan harus dikenai lemparan, maka dalam hal ini diilustrasikan sebagai ada serombongan kambing beserta pemiliknya, kemudian ada orang lain yang hendak membelinya. Terjadi kesepakatan jual beli. Tapi si pembeli bingung, mau pilih kambing yang mana. Akhirnya ia mengambil kesepakatan dengan pemilik, bahwa kambing yang terkena lemparan, adalah yang terbeli.
Para ulama’ sepakat bahwa jual beli munabadzah ini hukumnya adalah haram seiring ada larangan dari Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam secara langsung. Namun, apa yang menjadi illat keharaman tersebut, di sini para ulama’ menafsilkannya. Pertama, menurut Ibnu Hajar al-Asyqalany dalam Fathu al-Bari, Juz 4 halaman 420 disampaikan, bahwa illat keharaman itu adalah karena tidak melihatnya pihak lawan jual beli terhadap barang sehingga berpotensi tidak saling ridha.
أن ينبذ الرجل إلى الرجل ثوبه وينبذ الآخر بثوبه ويكون بيعهما عن غير نظر ولا تراض
Artinya: “[Munabadzah] itu adalah dua orang yang saling melemparkan baju miliknya sehingga akad jual beli keduanya tanpa disertai melihat dan saling ridha.” (Fathu al-Bari, Juz 4 halaman 420).
Istilah "tidak melihat" sehingga khawatir terbit "tidak saling ridha" ini dikategorikan sebagai illat kemajhulan (tidak diketahuinya kondisi objek barang) dalam banyak teks fiqih klasik.
Tapi, tidak melihatnya barang itu kan juga terjadi pada kasus jual beli akad salam!? Oleh karena itu, illat tidak mengetahui (majhul) ini setidaknya memerlukan penjelasan lebih lanjut. Jadi, apa kalau begitu?
Tidak terbitnya saling ridha dalam konteks ketidaktahuan barang, sudah barang tentu adalah terbit disebabkan karena ketiadaan proses khiyar (opsi memilih antara membatalkan atau meneruskan akad). Ketiadaan khiyar ini menjadikan kondisi saling lempar objek jual antara penjual dan pembeli, menyerupai unsur untung-untungan. Kalau beruntung, maka dapat barang bagus. Kalau lagi apes, ia mendapat barang jelek. Sifat untung-untungan ini merupakan tindakan spekulatif (maisir).
Dengan demikian, jelas sudah bahwa jual beli munabadzah itu dilarang adalah sebab unsur maisir ini, dengan ciri ketiadaan khiyar, padahal dalam satu majelis akad. Jadi, bukan semata karena lemparan kerikil saja atau tidak melihat terhadap barang. Wallahu a’lam bish shawab.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Belum ada Komentar untuk "Larangan Jual Beli Munabadzah dan Alasannya"
Posting Komentar