Hasil Tanaman di atas Tanah Gadai, Hak Siapa?


Saya mau bertanya, ada orang yang menawari saya menggadaikan kebunnya, di atas kebun itu ada beberapa tanaman/pohon yang bisa diambil hasilnya. Bagaimana akad yang bisa saya lakukan agar saling menguntungkan? Terima kasih sebelumnya.  

Jawaban:

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.
Pembaca yang budiman! Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita bisa menjalankan rutinitas  kita sehari-hari dengan lancar! Amin. 

Gadai (rahn) secara syara’ pada dasarnya merupakan akad utang (qardl) yang disertai dengan jaminan berupa barang sebagai kepercayaan (watsiqah), yang mana bila  suatu ketika pihak yang berutang terhambat dari membayar utangnya, maka barang tersebut bisa dijual untuk keperluan melunasinya. Definisi ini disampaikan oleh Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazy:

الرهن .... شرعا جعل عين مالية وثيقةً بِدَينٍ يُستوفى منها عند تعذر الوفاء


“Gadai secara syara’ merupakan upaya menjadikan suatu barang hartawi sebagai jaminan kepercayaan atas utang (dain) yang akan dilunasi dengan mengambil sebagian harganya ketika terjadi kesulitan pelunasan” (Fathu al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfadh al-Taqrib, Beirut: Dar Ibn Hazm li Thaba’ah wa al-Tauzi’, tt., h. 177).

Dilihat dari asal-usul akad gadai, maka akad gadai (rahn) ini merupakan akad amanah. Sebagai amanah, maka tidak layak bagi pihak yang menerima gadai (murtahin) untuk mengambil “manfaat” dari barang gadai (marhun) yang merupakan barang amanah. Termasuk bagian dari mengambil “manfaat” barang gadai tersebut adalah menggunakan atau mengelola barang gadai. Dalam mazhab Syafi’i, pemanfaatan semacam ini dipandang sebagai qardlu jara naf’an (utang menarik kemanfaatan) sehingga masuk rumpun riba qardli.

Setiap barang amanah, pemanfaatannya menghendaki adanya izin dari pemiliknya (penggadai). Tanpa adanya izin, maka pemanfaatan itu termasuk pengambilan hak secara ghashab. Sebaliknya, bila disertai adanya izin, maka penggunaan barang tersebut adalah termasuk akad i’arah (pinjam barang) khususnya bila fisik barang tersebut masih ada dan tidak rusak. Namun, bila fisik barang yang dipinjam itu menjadi rusak/hilang, maka hukum i’arah tersebut berubah menjadi utang barang (qardlu) sehingga wajib mengembalikan kepada pemiliknya.

Adapun, dalam konteks pertanyaan Saudara, buah dari pohon yang ada di tanah gadai merupakan hak milik dari penggadai. Oleh karenanya hak memanen dan memetik adalah hak penggadai dan bukan hak Saudara yang menerima gadai. Pemanfaatan Saudara terhadap buah/hasil pohon tersebut dapat dipandang sebagai pengambilan manfaat atas utang gadai yang anda berikan kepada penggadai, sehingga hukumnya adalah haram karena illat (alasan) riba. Pendapat ini merupakan pendapat yang terkuat dari kalangan mazhab Syafi’i.

Apakah ada akad lain yang menyerupai gadai, sehingga bisa memanfaatkan barang yang ada di tanah gadai? Sebab, bila barang tersebut tidak dimanfaatkan, justu khawatir pihak penerima gadai akan jatuh pada memakan perkara haram juga atau melakukan tindakan haram. Atau, bila barang gadai itu tidak dimanfaatkan, justru lebih merugikan terhadap kemaslahatan barang gadai. Nah, adakah cara pemanfaatan oleh pihak penerima gadai terhadap barang gadai yang dibenarkan oleh syariat? 

Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang seyogianya diutarakan agar tidak terkesan menghindar atau melakukan rekayasa akad yang diharamkan (hilah muharramah) secara syara’. Tidak sepatutnya bagi seorang Muslim untuk bertanya: “Bagaimana akad yang bisa saya lakukan agar saling menguntungkan?” Mengapa? Sebab pertanyaan terakhir ini dapat berujung pada dua hal, yaitu: (1) menghilangkan esensi dari utang yang hukum asalnya adalah untuk tolong-menolong, dan (2) dapat menggiring kita pada upaya melakukan hilah murammah. Suatu perbuatan yang bisa menyebabkan sempurnanya perkara haram, adalah haram juga.

Untuk menjawab pertanyaan di atas (terkait dengan akad lain yang menyerupai gadai), adalah ada sebuah praktik muamalah yang masyhur di kalangan mazhab Hanafi, yang dikenal dengan istilah bai’ bi al-wafa. Praktiknya yaitu melakukan jual beli barang yang disertai janji akan dibeli lagi oleh pihak yang menjual sebelumnya. Karena adanya janji akan dibeli lagi itu, maka praktik jual beli ini juga sering disamakan dengan bai’  bi al-wa’di. Dalam konteks Syafi’iyah, dikenal dengan istilah bai’ bi syarthin.

Meski dalam mazhab Syafi’i ada istilah bai’ bi syarthin, namun syarat yang dimaksud di sini tidak boleh bersifat berlawanan dengan maksud jual beli, yaitu hurriyatu al-tasharruf (bebasnya pengelolaan oleh pembeli) dan tamlik (berpindahnya kepemilikan). Oleh karenanya, dalam konteks Syafi’iyah, jual beli yang disertai janji akan dibeli lagi oleh pihak penjual, merupakan akad yang bertentangan dengan muqtadlal ‘aqdi (tujuan akad) dari jual beli, yaitu bebasnya tasarruf, karena dalam barang yang sudah dibeli terdapat hak kebebasan bagi pembeli untuk menjualnya ke pihak lain atau mengelolanya sendiri. Namun, jika barang itu kelak harus dijual lagi ke penjual pertamanya, maka itu sama saja dengan menghindar dari utang menarik kemanfaatan yang berlaku lewat akad rahn (gadai), sehingga termasuk riba yang diharamkan.

Namun, dalam konteks Hanafiyah, bai’ bi al-wa’di atau bai’ bi al-wafa ini hukumnya adalah boleh karena pertimbangan istihsan dan kemaslahatan yang umum pada kedua pihak yang berakad. Hal tersebut juga didukung dengan dasar dalil bahwa orang Islam itu senantiasa taat pada janji yang telah dilakukan (al-muslimuna ala syuruthihim). Alhasil, praktik yang menyerupai gadai dalam mazhab Hanafi ini dilakukan dengan jalan:
  1. Pihak penggadai menjual barangnya kepada pihak penerima gadai disertai janji bila penggadai itu telah memiliki sejumlah uang untuk menebusnya, maka barang itu harus dijual kembali oleh penerima gadai kepada pihak penggadai
  2. Selama pihak penggadai belum bisa membeli lagi barang yang telah dijualnya, pihak penerima gadai berhak memanfaatkan barang yang sudah dibelinya dengan pola jual beli bai’ bi al-wafa’ ini.

Catatan:
Akad bai’ bi al-wafa’ ini secara  resmi dinyatakan sebagai legal oleh Fatwa DSN MUI dan dipergunakan dalam praktik transaksi REPO karena illat kemaslahatan. Oleh karena itu, dalam konteks individu, akad ini juga bisa dimanfaatkan dengan catatan bahwa barang yang dijadikan objek akad merupakan barang yang tidak susut nilai (seperti tanah). Adapun untuk barang yang bersifat susut nilai (mobil atau sepeda motor), kiranya pemakaian akad ini justru tidak maslahah disebabkan kerugian dapat terjadi pada pihak penggadai. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syarî'ah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel