Renungan Menyentuh dari Qasidah Burdah
Sabtu, 02 Mei 2020
Tulis Komentar
Qasidah Burdah sudah tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Maulaya shalli wa sallim dâiman abada seakan-akan menjadi shalawat yang nyaris tak ditinggalkan di setiap pembacaan maulid Baginda Besar Muhammad ﷺ. Qasidah ini dikarang oleh Imam al-Busiri (610 H), yang wafat pada tahun 695 Hijriah.
Imam al-Bushiri merupakan seorang penyair andal pada masanya. Beliau juga adalah seorang kaligrafer yang memiliki tulisan yang indah. Gurunya yang terkenal adalah Abdul ‘Abbas al-Mursi.
Qasidah Burdah terdiri dari 160 bait. Setiap baitnya mengandung nilai sastra yang tinggi, lembut, dan menyentuh pembacanya yang mengerti sastra Arab. Imam al-Bushiri mengisahkan kehidupan Nabi di dalam Qasidahnya. Lebih menariknya, sebelum menceritakan sirah Nabi, terdapat renungan indah yang dapat menyentak jiwa para pembacanya. Tepatnya di dalam pasal kedua, mengenai bahayanya hawa nafsu.
فَإِنّ أَمّارَتِ بِالسّـوءِ مَا اتّعَظَتْ ۞ مِنْ جَهْلِهَا بِنَذِيرِ الشّيْبِ وَالَهَرَمِ
Sungguh nafsu amarahku tak dapat menerima nasihat, karena ketidaktahuannya. Akan peringatan berupa uban di kepala, dan ketidakberdayaan tubuh akibat umur senja.
Dalam bait ini, al-Bushiri menegaskan bahwa hampir saja semua manusia tidak sadar akan hawa nafsu yang mengelabuinya sepanjang hidup. Bahkan di usia senja, tak dapat dijamin hidayah akan datang kecuali melalui ‘inayah Allah ﷻ kepadanya. Padahal tanda-tanda maut bakal menjemput sudah ada, yaitu uban yang tumbuh pada rambutnya.
مَنْ لِي بِرَدِّ جِمَاحٍ مِنْ غَوَايَتِهَا ۞ كَمَا يُرَدُّ جِمَاحُ الَخَيْلِ بِاللُّجُمِ
Siapakah gerangan yang sanggup mengendalikan nafsuku dari kesesatan Sebagaimana kuda liar yang terkendalikan dengan tali kekangan
Teringat dengan kisah pasca-Rasulullah ﷺ pulang dari perang Badar, beliau ﷺ berujar, “Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran akbar.” Lalu sahabat bertanya, “Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, "Jihad (memerangi) hawa nafsu.”
Artinya, betapa besarnya kekuatan hawa nafsu, hingga Rasulullah pun menggambarkannya sedemikian rupa.
فَلاَ تَرُمْ بِالْمَعَاصِيْ كَسْرَ شَهْوَتِهَا ۞ إِنّ الطَّعَامَ يُقَوِّيْ شَهْوَةَ النَّهِمِ
Jangan kau berharap, dapat mematahkan nafsu dengan maksiat. Karena makanan justru bisa perkuat bagi si rakus makanan lezat.
وَالنّفْسُ كَالطّفِلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى ۞ حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ
Nafsu bagaikan bayi, bila kau biarkan akan tetap suka menyusu. Namun bila kau sapih, maka bayi akan berhenti sendiri
Sebagian orang menganggap, dengan mengikuti hawa nafsunya, rasa itu akan menghilang karena habis dilampiaskan. Namun ternyata tidak begitu, hawa nafsu akan menjadi-jadi ketika dituruti, bak orang yang rakus jika diberi makanan maka ia malah bertambah kerakusannya.
Imam al-Bushiri menyerupakan nafsu dengan seorang anak bayi. Apabila seorang anak bayi tidak disapih, maka sampai besar ia akan hobby menyusu pada ibunya, dan tentunya itu amat membahayakan.
فَاصْرِفْ هَوَاهَا وَحَاذِرْ أَنْ تُوَلِّيَهُ ۞ إِنّ الْهَوَى مَا تَوَلَّى يُصِمْ أَوْ يَصِمِ
Maka palingkanlah nafsumu, takutlah jangan sampai ia menguasai-nya Sesungguhnya nafsu, jikalau berkuasa maka akan membunuhmu dan membuatmu tercela
وَرَاعِهَا وَهْيَ فِيْ الأَعْمَالِ سَآئِمَةٌ ۞ وَإِنْ هِيَ اسْتَحْلَتِ الْمَرْعَى فَلاَتُسِمِ
Dan gembalakanlah nafsu, karena dalam amal nafsu bagaikan hewan ternak. Jika nafsu merasa nyaman dalam kebaikan, maka tetap jaga dan jangan kau lengah
Dalam dua bait diatas, Imam al-Bushiri menghimbau kita untuk mengolah hawa nafsu supaya menjadi teratur dan tidak liar. Kemudian beliau mengingatkan kita bahwa tidak semua sesuatu yang kita anggap indah, hakikatnya juga indah. Bisa jadi ia adalah racun yang terkandung di dalam makanan yang lezat, sebagaimana dalam syairnya:
كَمْ حَسّنَتْ لَذّةً لِلْمَـــــــرْءِ قَاتِلَةً ۞ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَدْرِ أَنّ السَّمَّ فِي الدَّسَمِ
Betapa banyak kelezatan, justru membawa kematian bagi seseorang Karena tanpa diketahui, adanya racun tersimpan dalam makanan
Kemudian, setelah merenungi nafsu yang menjangkiti kita. Kita dianjurkan pula untuk meminta ampunan pada Allah SWT dari perkataan kita yang tidak disertai dengan ucapan. Tentunya ini menjadi cerminan bagi kita, bahwa selama ini amal perbuatan kita tidak sebaik dari perkataan yang terlontar dari lisan kita maupun unggahan kita di media sosial.
أَسْتَغْفِرُ الَّلهَ مِنْ قَوْلٍ بِلاَعَمَــلٍ ۞ لَقَدْ نَسَبْتُ بِهِ نَسْلً لِذِي عُقُمِ
Aku mohon ampun kepada Allah dari ucapan tanpa disertai amal # Aku telah menasabkan diriku dengan perkataan itu, bagaikan seorang yang mandul mengharap keturunan
Semoga kita dianugerahi kesempatan untuk bertafakur dan muhasabah akan kesalahan dan dosa yang ada dalam diri kita, sehingga kita pun luput dari banyak menghukumi kesalahan orang lain. Wallahu a'lam.
(Amien Nurhakim)
Belum ada Komentar untuk "Renungan Menyentuh dari Qasidah Burdah"
Posting Komentar