Sistem Jaminan Risiko Investasi dalam Fiqih Muamalah


BI Rate merupakan istilah lain dari suku bunga acuan. Keberadaannya diyakini sebagai sebuah langkah antisipatif terhadap gejolak larinya modal usaha ke negara lain. Karena bagaimana juga keberadaan modal asing itu dibutuhkan guna mendorong transformasi teknologi dan pengetahuan di dalam negeri.

Dulu, sebelum orang mengenal hape android, tidak ada satu pun teknisi dan usaha reparasi pesawat hape tersebut. Namun, seiring adanya hape android masuk ke dalam negeri, pada akhirnya muncul banyak tukang servis hape android.

Adanya risiko melahirkan kebutuhan akan manajemen. Manajemen sendiri bermakna sebagai sebuah sistem pengelolaan. Sistem ini disusun atas dasar menyikapi kemungkinan adanya kerugian langsung atau tidak langsung yang ditimbulkan oleh suatu usaha/kegiatan.

Setiap risiko pasti sifatnya adalah kompleks sehingga perlu strategi guna menghadapinya. Dalam kajian fiqih, praktik dari manajemen risiko ini diatur dan dikaji secara khusus dalam satu topik bahasan khusus, yaitu bab dhaman.

Pada dasarnya, sebuah risiko memerlukan sebuah penyikapan dari pelaku yang berani mengambil suatu keputusan langkah. Dalam sebuah adagium terkenal, ada sebuah pepatah, “Setiap langkah pasti ada risikonya. Jangankan orang yang berusaha, orang yang tidur saja ada risikonya. Jadi untuk apa takut dengan risiko? Takut terhadap risiko adalah sama dengan mati sebelum kematian.”

Tidak ada orang yang sukses tanpa keberanian menanggung risiko. Risiko memang tidak bisa dihindari. Risiko itu membutuhkan penyikapan. Penyikapan risiko sudah pasti ditujukan agar tidak terjadi apa yang dinamakan sebagai pelanggaran (at-ta’addy), merugikan pihak lain (dharar) sehingga mengakibatkan lahirnya permusuhan (al-’adawah) terus menerus.

Fokus dari sebuah manajemen risiko ini selalu tertuju pada empat hal, yaitu: menghindari risiko (avoidance), mengurangi risiko (reduction), memindahkan risiko (kafalah/sharing), dan menerima risiko (acceptance). Dengan memahami keberadaan locus (ruang) dari manajemen ini, maka selanjutnya dapat dipahami apa yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan sabdanya:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ربح ما لم يضمن


Artinya, “Rasulullah SAW melarang memungut laba dari sesuatu yang tidak berjamin risiko.”

Fondasi yang dibangun oleh Nabi Muhammad lewat konteks hadits di atas sejatinya mengisyaratkan akan pentingnya manajemen risiko itu. Bagaimana tidak? Adanya laba, berarti mengisyaratkan adanya saldo usaha. Saldo yang dipotong oleh modal usaha, adalah laba, atau yang biasa disebut sebagai keuntungan usaha (profit). Secara tidak langsung pula, konteks sabda Rasulullah SAW juga mengisyaratkan pelarangan sebuah usaha tanpa manajemen risiko. Larangan ini sudah pasti berguna untuk menghindari hal yang dapat menimbulkan kerugian sehingga melahirkan pada kebangkrutan. 

Alhasil, manajemen risiko memiliki fokus pada usaha menghindari kerugian/kebangkrutan, baik kerugian langsung (mubasyir) akibat aktivitas usaha, maupun kerugian tidak langsung (mutasabbib). Puncak dari manajemen risiko ini adalah menghindari terjadinya kerugian beruntun (tasalsulul idhrar). Oleh karena itu pula, obyek manajemen risiko pasti berkaitan erat dengan aspek kebutuhan orang banyak yang dilihat dari semua lini (maslahah hajatin nas).

Langkah Mengatasi Risiko Kerugian

Setidaknya ada beberapa langkah guna mengatasi kemungkinan adanya risiko kerugian yang ditimbulkan oleh suatu aktivitas usaha, yaitu:
  1. pembuatan kebijakan/prosedur standar,
  2. pendelegasian wewenang untuk mengeksekusi sebab yang dapat menimbulkan kerugian, termasuk di dalamnya pengalokasian waktu dan sumber daya,
  3. pengamanan kekayaan/aset perusahaan dan nasabah,
  4. pembagian tugas pokok dan fungsi tenaga, dan
  5. melakukan supervisi/pengawasan.

Langkah antisipasi risiko kerugian melalui lima saluran ini sudah pasti memiliki fungsi dan cara tertentu. Salah satu caranya adalah dengan menetapkan suatu rumus sebagai standar baku mutu. Sebagaimana penetapan standar buku mutu air, maka suatu air disebut sebagai air yang sehat mana kala memiliki unsur oksigen terlarutnya dalam kapasitas tertentu dan COD (karbon monoksida terlarut) dalam jumlah terukur, dan lain sebagainya.

Hal yang sama berlaku pada ekonomi. Agar tidak rugi namun tetap dalam bingkai terjaga dari timbulnya kerugian yang tidak dikehendaki, maka sebuah rumusan untuk pengalokasian tindak antisipatif terhadap munculnya risiko dibutuhkan dalam tingkat keuntungan yang dipatok.

Tanpa keberadaannya, maka sesuai dengan konteks hadits di atas, seorang Muslim sangat dianjurkan untuk tidak terlibat di dalam bagian usaha itu. Ujung-ujungnya, pasti akan timbul sengketa. Jika potensi sengketa tidak ditutup jauh-jauh hari, maka ada baiknya tidak usah terlibat di dalamnya.

Sebuah gambaran lagi, ketika ada seorang pemodal mendirikan sebuah usaha, maka contoh potensi yang bisa diantisipasi, antara lain:
  1. cara mendatangkan bahan baku,
  2. risiko gangguan akibat transportasi yang digunakan,
  3. potensi gangguan terhadap lingkungan,
  4. potensi gangguan terhadap masyarakat.

Bila bahan baku harus didatangkan lewat kapal, maka salah satu risiko yang harus ditempuh adalah risiko perlu tidaknya mengangkat orang kepercayaan (duta) yang sudah barang tentu gajinya menjadi bagian yang harus diperhitungkan dalam perjalanan usaha. Bila risiko itu berupa gangguan akibat transportasi yang digunakan, maka risiko yang mungkin timbul adalah rusaknya jalan akibat kendaraan yang dipergunakannya.

Bila potensi gangguan terhadap lingkungan, maka risiko yang mungkin akan menimbulkan macetnya usaha adalah pencemaran yang ditimbulkan sehingga menyebabkan masyarakat protes. Akibat lainnya adalah masyarakat demonstrasi sehingga menghambat laju kerja perusahaan. Masih banyak lagi risiko harus ditanggung.

Umumnya setiap risiko ini diantisipasi dalam bentuk pengalokasian dana reservasi (dana pemulihan). Misalnya, sebagai kompensasi agar tidak mengganggu lingkungan, perusahaan harus mengatur pengolahan limbah. Jika unit pengelola limbah sudah disediakan, antisipasi lainnya adalah kebisingan dan risiko sosial.

Semua ini harus jelas diantisipasi dalam skala nilai yang terukur. Bahkan termasuk antisipasi mengalihkan wacana, makanya di dalam setiap unit usaha ada bidang hubungan masyarakat (humas) yang aktif melakukan pendidikan dan pembinaan kepada masyarakat sekitar atau tugas lain yang dibebankan. Jika langkah-langkah antisipatif risiko ini tidak dilakukan, maka alamat bahwa usaha itu pasti berjalan tidak sehat.

Dalam perjalanan perbankan, penetapan suku bunga acuan (BI Rate) umumnya ditentukan hanya berdasar keberdayaan nilai tukar mata uang domestik bila dibandingkan dengan mata uang asing, termasuk di dalamnya adalah iklim investasi di negara lain.

Pada saat negara lain menetapkan inflasi sebesar 5% terhadap dana investasi (deposito) investor asing di dalam negerinya, maka investor akan cenderung lari ke negara tersebut mana kala dipandangnya dengan nilai itu, keuntungan akan lebih cepat tercapai bila dibanding dengan negara yang hanya memiliki nilai inflasi deposito sebesar 4%.

Angka senilai 5% dari modal 1 miliar pada jalur investasi tertentu saja sudah bisa menghasilkan 50 juta. Lain halnya bila inflasi dipatok pada 4%, maka pendapatan yang diperoleh dari modal tanam investasi per 1 miliar modal adalah senilai 40 juta. Ada selisih sebesar 10 juta. Tentu dalam kondisi seperti ini, negara dengan inflasi 5% dianggap lebih potensial menjanjikan dibanding negara dengan inflasi 4%. Untuk itu, perlu antisipasi risiko oleh Bank Indonesia (BI). Suatu misal, BI menurunkan bea tarif ekspor-impor, atau melakukan tindakan lain dengan jalan menyesuaikan inflasi sebesar 5%.

Kebijakan menaikkan BI rate (inflasi) dan menurunkannya (deflasi) ini adalah bagian dari manajemen risiko terukur. Ini kembali sebagai sebuah strategi persaingan dagang. Bahkan dalam bagian tertentu, kadang sebuah negara menggunakan palang pintu masuk barang yang ada di pelabuhan-pelabuhan sebagai bagian dari strategi menahan banjir barang impor. Penaikkan tarif cukai masuk barang impor umumnya diterapkan untuk melindungi segmen usaha dalam negeri sehingga tetap berdaya di negerinya sendiri. Wallahu a‘lam bis shawab.

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Belum ada Komentar untuk "Sistem Jaminan Risiko Investasi dalam Fiqih Muamalah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel