Menjual Barang yang Dibeli secara Tunai ke Penjualnya Lagi secara Kredit


Ada seorang individu yang membutuhkan uang. Ia tidak berani berutang kepada orang lain disebabkan kebutuhannya kali ini jumlahnya besar. Sebut saja misalnya Rp200 juta. Sementara mau utang ke bank, ia takut bunga bank karena dalam keyakinannya bunga bank itu riba. Lalu ia berpikir, apa solusinya?

Selintas sulit dibenaknya untuk memecahkan jawabannya. Kemudian ia menghubungi saudaranya agar sudi kiranya membeli rumah yang dimilikinya. Terjadilah permufakatan, bahwa rumah tersebut dibeli. Harganya pas 200 juta. Kemudian terjadilah dialog, mengapa rumah tersebut dijual? Setelah ditelusuri, si saudara ini ternyata baru tahu bahwa akar masalahnya adalah kebutuhan dana yang tidak bisa ditunda. Pinjam ke bank tidak berani karena takut bunga. Pinjam ke dirinya, juga tidak berani lantaran jumlahnya besar. Mau dibatalkan akad jual belinya juga tidak enak karena akad jual beli sudah terlanjur terjadi.

Lalu si saudara ini memberi solusi, bahwa rumah tersebut akan dijualnya kembali kepada pemilik pertama, karena bagaimanapun itu adalah saudaranya sendiri. Tapi pemilik pertama tidak mau karena jumlah uangnya itu besar dan ia butuh dana itu dalam bentuk cash. Antara kebutuhan dan rasa tidak enak, lalu terbitlah solusi, bahwa rumah tersebut akan dijual secara kredit kepadanya. Selisih cash dan kredit disepakati sebesar Rp25 juta yang akan dilunasi selama 2 tahun. Tercapailah kesepakatan deal antara keduanya.

Yang jadi masalah pokok antara kedua orang tersebut, adalah bahwa:
  1. Kejadian peralihan antara menjual dan membeli tadi terjadi dalam hari yang sama
  2. Kejadian akad jual beli yang kedua terjadi setelah tahu akar masalahnya
  3. Apakah akad kedua ini bisa disebut sebagai hilah (rekayasa menghindari riba yang diharamkan)?
Tidak diragukan lagi bahwa akad jual beli di atas adalah masuk kategori akad bai'ul 'inah. Abu 'Ubaid Ahmad ibn Muhammad al-Harawy menjelaskan bahwasanya:

العينة هو أن يبيع الرجل من رجل سلعة بثمن معلوم إلى أجل مسمى ثم يشتريها منه بأقل من الثمن الذي باعها به قال وإن اشترى بحضرة طالب العينة سلعة من آخر بثمن معلوم وقبضها ثم باعها من طالب العينة بثمن أكثر مما اشتراه إلى أجل مسمى ثم باعها المشتري من البائع الأول بالنقد بأقل من الثمن فهذه أيضا عينة وهي أهون من الأولى وهو جائز عند بعضهم 


Artinya: "Al-'Inah merupakan transaksi jual beli suatu barang oleh pihak pertama (penjual) dengan pihak kedua (pembeli) dengan harga yang diketahui sampai suatu tempo yang telah ditentukan kemudian pihak pertama membeli kembali barang tersebut dengan harga yang lebih sedikit dibanding ketika menjualnya, dengan harga yang diketahui juga. Disampaikan juga bahwa bai'u al-inah adalah jika seorang thalibu al-'înah meminta orang lain membeli suatu barang darinya dengan harga yang maklum, lalu diserahkannya barang tersebut, kemudian meminta agar pembeli menjual kembali barang ke dia dengan harga yang lebih tinggi dibanding saat dia membeli darinya, dengan tempo yang disebutkan (disepakati). Lalu pembeli (melakukan apa yang diperintahkannya) dengan menjual barang tersebut ke penjual pertama dengan harga yang lebih sedikit dari saat dia membelinya. Hal sebagaimana disebutkan terakhir ini juga termasuk akad 'înah, meskipun kelihatannya lebih ringan dari akad yang pertama. Dan hal semacam ini adalah boleh menurut sebagian ulama'." (Al-Nawawy, al-Majmu' Syarah Al-Muhadźab, Jedah: Maktabah al-Irsyâd, tt.: Juz 10/143 )

Ada dua model bai'u al-'inah dalam keterangan di atas, yaitu:
  1. Jual beli 'inah dengan inisiatif pemilik harta (shahibu al-tsaman), dan
  2. Jual beli 'inah dengan inisiatif pemilik barang (shahibu al-sil'ah)
Bai' 'inah dengan inisiator shahibu al-tsaman biasanya dipraktikkan dalam produk pembiayaan, sementara orang yang mencari pembiayaan (kredit) tidak memiliki barang apapun yang bisa dijadikan jaminan. Lain halnya dengan yang kedua, meskipun juga diterapkan pada produk pembiayaan yang sama. Pada bank konvensional, akad ini umumnya diterapkan pada produk kredit dengan agunan. Anda pernah pinjam uang di bank konvensional dengan agunan bukan? Nah, pola itu berubah jadi akad bai'u al-'înah pada bank syariah, tentunya dengan basis akad jual beli.

Ada kontroversi dalam praktik bai'u al-'înah ini. Dari keempat mazhab besar yang masyhur, hanya Imam Syafii dan ulama Syafi'iyah yang menyatakan bahwa praktik tersebut adalah boleh. Tiga mazhab lainnya menghukumi tidak boleh dengan alasan bahwa praktik tersebut hanyalah berusaha menghindar dari praktik riba utang (riba qardly). Hakikatnya pelaku hendak mencari pinjaman dan berusaha melepaskan diri dari jebakan pasal

كل قرض جرى نفعا للمقرض فهو ربا


(segala utang piutang yang mensyaratkan manfaat bagi pihak yang memberi utang, adalah riba),

oleh karena itu ia bersiasat dengan wasilah jual beli 'inah ini. Dasar dalil yang dipergunakan tiga kelompok mazhab di atas adalah hadits Nabi SAW.

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُـمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَيَنْزِعُهُ شَيْئٌ حَتَّى تَرْجِعُواْ إِلَى دِيْنِكُمْ


Artinya: “Apabila kalian melakukan jual beli dengan cara ‘inah, berpegang pada ekor sapi, kalian ridha dengan hasil tanaman dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan membuat kalian dikuasai oleh kehinaan yang tidak ada sesuatu pun yang mampu mencabut kehinaan tersebut (dari kalian) sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhuma).

Lalu pertanyaannya, adalah mengapa justru Imam Syafii radliyallâhu 'anhu dan pengikut mazhabnya justru membolehkan bai' 'înah? Apakah mereka tidak tahu akan hadits tersebut?

Pertanyaan ini dijawab oleh Syeikh Yahya Syaraf al Nawàwy rahimahullah:

Bahwa dalam pandangan Imam al-Syafii, hadits/atsar yang dipegang oleh Abu Hanifah (sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud) tersebut perlu ditafshil. Titik tekan pendapat Imam Abu Hanifah adalah larangan jual beli secara tangguh. 'Inah yang dilarang dalam pendapat Abu Hanifah adalah yang diawali dengan jual beli tangguh dan tidak disebutkan sampai kapan waktu jatuh temponya. Itu pula yang melatarbelakangi mengapa Imam Malik dan Imam Ahmad Ibn Hanbal juga melakukan pelarangan yang sama dan menganggapnya sebagai akad yang rusak. Kedua imam mazhab yang terakhir mendasarkan diri pada upaya mencegah terjadinya perselisihan akibat praktik jual beli tangguh tersebut (bai' bi al-ajal). Jadi, dalam hal ini mereka berdua memakai peran saddu al-dzarî'ah. (Al-Zuhaili, al-Mu'amalatu al-Mâliyah al-Mu'âshirah, Beirut: Dâr al-Fikr, 2007: 45).

Dalam pandangan al-Syafii, atsar sahabat di atas justru bertentangan dengan ayat tentang dihalalkannya jual beli (QS. Al-Baqarah: 275). Keraguan Imam Syafii muncul terhadap dhahir teks yang berisi celaan terhadap praktik 'inah, apakah celaan itu murni karena larangan adanya dua harga yang berbeda dalam satu sil'ah (barang), ataukah karena dua harga yang berbeda dalam satu akad (jual beli cash dan kredit). Menurutnya, 'inah yang dilarang itu adalah manakala dalam satu barang itu dijual dengan tanpa disertai kejelasan harga dan kejelasan pilihan akad. Jadi, celaan itu bukan sebab semata karena jual beli kredit dan dilanjut dengan jual beli tangguh yang dilaksanakan dalam satu waktu. (Al-Syafii, al-Umm, Beirut: Dâr al-Ma'rifah, 1990: Juz 3, halaman 79).

Ingat bahwa dalam pandangan mazhab Syafii, jual beli yang diperbolehkan pada dasarnya ada dua bentuk, yaitu:
  1. Jual beli yang mana kedua barang yang hendak dipertukarkan oleh kedua pihak yang bertransaksi sama-sama di bawa ke majelis akad.
  2. Jual beli yang mana salah satu barang tidak dibawa oleh kedua pihak yang bertransaksi. Contoh praktik dari model transaksi yang kedua ini adalah penerapan akad salam dan jual beli tangguh. Namun, untuk yang kedua ini, syarat yang wajib dipenuhi adalah harus jelas waktunya kapan barang yang belum diserahkan itu akan diterimakan ke lawan transaksi. Ketidakjelasan inilah yang merupakan akar masalah bagi tidak sahnya akad. (Al-Syafii, al-Umm, Beirut: Dâr al-Ma'rifah, 1990: Juz 3, halaman 3)
Berdasarkan batasan ini, di dalam 'inah, menurut mazhab Syafii, masing-masing akad jual beli itu dilakukan secara sah. Baik jual beli secara cashnya, maupun jual beli secara kreditnya. Jika keduanya sah, lantas mengapa harus berubah hukumnya menjadi diharamkan?

Adapun dalam mazhab Hanafi, jual beli tangguh memang dinyatakan sebagai tidak boleh disebabkan laba yang merupakan selisih antara kredit dan cash dipandang sebagai riba. Hal ini berbeda dengan konsepsi dasar mazhab Syafii, yang mana konsep dasar riba pada jual beli tangguh adalah selagi tidak mengikut kaidah: الربح مالم يضمن (laba yang tidak bisa dijamin (saat transaksi)). Pertanyaannya, bagaimana laba itu dijamin dalam mazhab Syafii?

Dengan mencermati konsep bai' salam, sahnya akad adalah manakala diketahui kapan waktu penyerahan barang yang tidak dibawa. Oleh karena itu, agar tidak terjebak dalam riba, maka harus ditentukan waktunya, kapan barang/harga diserahkan.

Dalam praktik 'inah dewasa ini, akad 'inah di atas termasuk yang lazim. Waktu penyerahan barang/harga sudah ditentukan di muka dan di awal transaksi. Sebagaimana contoh yang sudah disampaikan di atas, bahwa waktu akhir penyerahan adalah 2 tahun. Andaikan tidak ada ketetapan waktu ini, maka kedua mazhab sepakat bahwa transaksi bai' bi al ajal (jual beli tangguh) adalah tidak sah. Jika jual beli tangguh tidak sah, maka akad yang mengiringi berikutnya juga tidak sah pula. Itulah sebabnya dalam atsar di atas disampaikan celaan itu.

Walhasil, bai 'inah yang dicela dalam atsar adalah karena praktik jual beli tangguh yang tidak diketahui batasan waktu akhir penyerahan barang/harga. Jadi, celaan itu bukan sebab memang terlarangnya 'inah yang disertai jual beli tangguh yang disertai batasan waktu penyerahan.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah itu bukan hanya sekedar rekayasa sistemik saja agar terhindar dari riba?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada yang perlu diingat bahwa secara dhahir nash (bunyi eksplisit teks), baik jual beli kredit maupun jual beli secara cash, keduanya adalah boleh bila berdiri secara terpisah. Saya membeli barang dari A seharga 100 ribu rupiah secara cash. Jual beli saya ini adalah sah. Kemudian hari itu juga, saya menjual barang tersebut ke orang lain secara kredit dengan jangka waktu pelunasan selama 1 tahun, dengan harga 200 juta rupiah. Apakah sah? Jawabnya adalah sah. Mengapa? Karena jelas waktu pelunasannya.

Bagaimana jika barang itu saya jual kembali ke penjual pertama juga secara kredit, di hari itu juga, dengan ketetapan waktu pelunasan selama 2 tahun? Sahkah? Jawabnya adalah sah juga. Alasannya, karena barang yang saya jual sudah menjadi milik saya. Mau saya jual ke siapapun dan kapan pun, barang itu adalah hak saya. Jadi tidak diragukan lagi bahwa jual beli dengan model seperti ini adalah boleh.

Lantas bagaimana bila disediakan alurnya dan sistemnya? Saya akan beli barang A secara cash dari anda, tapi dengan kesediaan bahwa anda harus membelinya lagi dari saya secara kredit. Atau sebaliknya, anda harus beli barang A dari saya dengan harga sekian, tapi dengan kesediaan anda harus menjualnya lagi ke saya secara cash dengan harga sekian (lebih rendah dari harga beli). Bolehkah akad seperti ini? Nah, dalam wilayah ini justru malah mazhab Hanafi menyebutnya sebagai sah. Nama akadnya adalah bai' 'uhdah atau akad sende. Mazhab Syafii justru menghukuminya sebagai makruh.

Syeikh Abdullah Ba'alawi dalam kitab Bughyatu al-Mustarsyidin menjelaskan bahwa:

بَيْعُ اْلعُهْدَةِ اْلمَعْرُوْفُ صَحِيْحٌ جَائِزٌ وَتَثَبَتْ بِهِ الْحُجَّةُ شَرْعًا وَعُرْفًا عَلَى قَوْلِ اْلقَائِلِيْنَ بِهِ وَقَدْ جَرَى عَلَيْهِ اْلعَمَلُ فِى غَالِبِ جِهَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ زَمَنٍ قَدِيْمٍ وَحَكَمَتْ بِمُقْتَضَاهُ الْحُكَّامُ وَاَقَرَّهُ مَنْ يَقُوْلُ بِهِ مِنْ عُلَمَاءِ اْلإِسْلاَمِ مَعَ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِىِّ وَاِنَّمَا اِخْتَارَهُ مَنْ اِخْتَارَهُ وَلِفِقْهٍ مِنْ مَذَاهِب لِلضَّرُوْرَةِ الْمَاسَّةِ اِلَيْهِ وَمَعَ ذَلِكَ فَاْلإِخْتِلاَفُ فِى صِحَّتِهِ مِنْ أَصْلِهِ وَفِى التَّفْرِيْعِ عَلَيْهِ لاَيَخْفَى عَلَى مَنْ لَهُ إِلْمَامٌ بِاْلفِقْهِ


Artinya: “Jual beli bertempo yang sudah terkenal itu hukumnya adalah sah dan boleh. Ini sudah bisa dijadikan ketetapan hujjah secara syara’ maupun secara urfi. Pendapat yang mengatakan kebolehan transaksi ini sudah berlangsung di banyak daerah kaum muslimin sejak zaman dulu dan sudah dinyatakan sebagai keputusan para ahli hukum dan diakui  oleh mayoritas ulama. Pada dasarnya, persoalan ini bersumber dari bukan kalangan mazhab Syafi’i. Namun, pilihan hukum kebolehan transaksi oleh pengkaji fiqih dari beberapa mazhab, adalah bertemu berdasar cara pandang sifat dlarurat akad dan mendesak. Oleh karena itu, perbedaan dalam sah atau tidaknya akad berdasar dalil asalnya, dan berdasar pemerinciannya, adalah bukan sesuatu yang mengkhawatirkan di kalangan orang yang sudah menguasai ilmu fiqih.” (Abdullah Ba'lawi, Bughyatu al-Mustarsyidin, Beirut: Dâr al-Fikr, tt., 133)

Sampai di sini sepakat bukan, atas kebolehan bai'u al-inah bila jual beli tangguh yang disertakan di dalamnya disertai waktu penyerahan yang jelas di antara kedua barangnya?

Jika bai' al-inah hukumnya dilarang karena dianggap sebagai rekayasa lantas mengapa bai' 'uhdah justru dibolehkan, padahal jelas di akad terakhir harus ada syarat bahwa pembeli harus menjual kembali barangnya kepada penjual pertama ketika masa tertentu? Justru syarat ini yang dipandang oleh kalangan Syafiiyah sebagai yang tidak diperbolehkan disebabkan akad tersebut membatalkan status kepemilikan yang harus ihtiyaz (menguasai sepenuhnya terhadap hak milik yang sudah dibelinya). Pengkaji rasa bahwa faktor yang menyebabkan kebolehan sistematisasi itu tidak lepas dari faktor darurat sebagaimana disebutkan Syeikh Abdullah Ba'alawi di atas. Untuk itu perlu kita mencermatinya. Wallahu a'lam bish shawab.

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syarî'ah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel