Hukum Kredit Motor di Lembaga Leasing, Denda Keterlambatan, dan Penyitaan Barang


Assalamualaikum wr wb
Izin bertanya tentang hukum kredit motor pada leasing. Banyak sekali akad-akad muamalah, saya bingung. Ambil contoh. Harga (motor) matic jika beli cash adalah Rp20 juta. Bila ambil kredit, DP Rp3 juta, dan angsuran tetap Rp1 juta selama 2 tahun. Jika ditotal angsuran sekalian DP-nya adalah Rp27 juta. BPKB ditahan sampai cicilan lunas. Jika kredit macet maka kena denda sekian rupiah. Jika macet beberapa bulan, maka motor disita. Bagaimana hukumnya, halal ataukah haram? Ngapunten, maturnuwun. Wassalamualaikum wr wb.

Jawaban

Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.
Penanya budiman yang semoga dirahmati oleh Allah. Saya dalam kesempatan ini akan menjawab permasalahan saudara dari sudut pandang kultur beragama masyarakat Mojokerto, yang mayoritas bermazhab Syafi’i.

Tapi sebelumnya, kita perlu memetakan terlebih dulu mengenai akad jual beli yang anda bingungkan. Pertama, kita perlu tahu mengenai pengertian jual beli kontan dan jual beli kredit. Kedua, kita perlu mengetahui kedudukan akad leasing menurut kultur masyarakat yang bermazhab Syafi’i, dalam memandang jual beli sistem leasing. Ketiga, risiko ketika tidak bisa dilakukan pemenuhan angsuran kredit.

Jual Beli Kontan versus Jual Beli Kredit

Jual beli kontan sering didefinisikan sebagai jual beli yang serah terima harga dan barangnya langsung secara yadan bi yadan (dari tangan ke tangan). Hukumnya adalah boleh selagi pembeli mendapatkan kesempatan untuk meneliti barangnya (khiyar), harganya ma’lum (diketahui jelas), dan barangnya merupakan barang yang bisa diambil manfaatnya, ditambah ketentuan wajibnya barang itu milik sendiri dari orang yang menjual atau merupakan barang yang diperintah untuk menjual oleh pemiliknya. Syariat menyatakan hukum jual beli ini adalah sah, tanpa adanya khilaf.

Jual beli kredit merupakan jual beli dengan sistem penyerahan salah satu harga dan barangnya secara tunda. Bila harganya diserahkan secara rutin bulanan, maka jual beli semacam ini dikenal sebagai bai’ taqshith. Bila tanpa syarat penyerahan bulanan, namun penyerahannya dalam model angsuran, maka jual beli semacam ini sering dikenal dengan istilah bai’ bi tsaman al-ajil. Baik bai’ taqshith maupun bai’ bi tsamani al-ajil, keduanya adalah sah, dengan catatan bahwa harganya harus ma’lum dan diketahui kapan waktu hulul (pelunasannya).

  1. Contoh dari kejelasan harga dan waktu hululyang diterapkan pada kredit, dalam hemat penulis bisa disampaikan dengan cara-cara berikut, yaitu:
  2. Bila sebuah sepeda dikredit selama 2 tahun dengan cicilan bulanannya adalah Rp1 juta, maka itu tandanya harga maklumnya adalah Rp1 juta x 24 bulan = Rp24 juta. Akad seperti ini adalah sah tanpa khilaf. Bila di awal disyaratkan ada DP (down payment, uang muka) sebesar Rp3 juta, dan cicilan bulanan selama 1 bulan selama 2 tahun, maka harga akhirnya adalah ketemu Rp3 juta + Rp24 juta = Rp27 juta. Pola kedua ini juga sah dan dibolehkan oleh syara’ kendati ada persoalan sedikit mengenai uang muka yang terkenal dalam jual beli urbun tersebut.
  3. Harga cash sebesar Rp20 juta. Bunga (keuntungan yang dikehendaki) dari harga kredit bila diambil dari pokok cash adalah sebesar 35% dalam 2 tahun, maka itu artinya bahwa harga jadi dari sepeda itu (harga maklum) adalah sebesar 27 juta. Lebih dari total akhir 27 juta yang timbul karena adanya unsur aridli (unsur eksternal) dan bersifat wan-prestasi debitur, semisal karena menyepelekan, sembrono dan sengaja berbuat kerugian terhadap kreditur (udwan, dlarar, ta’addy), maka beberapa lembaga keuangan syariah (LKS) dibolehkan menetapkan denda/ta’zir bi al-mal dengan niatan untuk ta’dib (pendidikan bagi debitur agar tidak menunda pelunasan). Namun denda ini bukan termasuk bagian dari pendapatan, melainkan kelak dipergunakan untuk kepentingan aksi sosial, seperti membangun jembatan dan lain sebagainya. Akad model ketiga ini, diperselisihkan oleh ulama, ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Masing-masing berbeda dalam memandang makna bunga pada akad di atas.
Alhasil, jual beli kredit dengan mekanisme sebagaimana di atas ini, hukumnya adalah masih boleh, dengan catatan, ketiadaan illat (alasan hukum) yang menyebabkan jatuh pada keharaman, seperti riba, judi, spekulatif, kecurangan dan jual beli dengan harga dan barang yang tidak diketahui (majhul).

Adapun mengenai adanya perbedaan antara harga kontan dengan harga kredit, maka itu adalah hal yang lumrah, dan boleh, asalkan sebelum berpisah majelis, pihak pembeli sudah menetapkan pilihan jual belinya dengan mengambil salah satu skema, yaitu harga kontankah, atau harga kreditkah. Harga kredit lebih mahal dari harga kontan adalah sudah merupakan keumuman. Perbedaan harga keduanya bukan merupakan illat keharaman jual beli, sehingga sah.

Leasing dalam Kultur Mazhab Syafi’i

Leasing merupakan mekanisme jual beli yang penagihan angsurannya dipindahkan dari penjual aslinya ke lembaga finance (atau pembiayaan). Pemindahan ini sudah sepengetahuan tiga pihak yang terlibat, yaitu (1) penjual pertama, (2) lembaga pembiayaan, dan (3) pembeli. Karena terjadi pemindahan, maka akad ini juga termasuk bagian dari akad hawalah (pemindahan) yang hukumnya boleh.

Karena di dalam leasing, sistem yang berlaku adalah pola kredit, maka setiap cicilan yang dibayarkan oleh pihak pembeli ke pihak lembaga finance, adalah termasuk akad syuf’ah, yaitu sistem akuisisi barang secara berangsur oleh pihak pembeli. Objek yang merupakan milik bersama (mal musytarak)/harta musya’ dan dikehendaki untuk diakuisisi (al-masyfu’ bih) dalam kasus di atas adalah “sepeda”.

Jika harga jadi sepeda adalah Rp27 juta, dan diangsur selama 2 tahun, ditambah uang muka (DP) 3 juta, maka itu artinya, setiap bertambah angsuran yang diberikan, hishah (nisbah kepemilikan) yang dimiliki pihak pembeli adalah terus bertambah. Misalnya, pihak pembeli sudah melaksanakan cicilan selama 12 bulan, yang berarti ia total telah mencicil sebanyak Rp12 juta ditambah DP Rp3 juta, sehingga total Rp15 juta, maka hishah (rasio) kepemilikan sepeda oleh pembeli adalah sudah masuk hitungan 15:12. Separuh lebih dari sepeda (mal musytarak) itu telah beralih menjadi milik pembeli. 

Risiko Pembatalan Jual Beli Kredit di Lembaga Leasing

Pada dasarnya akad jual beli yang melewati akad syuf’ah (akuisisi), hukumnya adalah boleh-boleh saja. Dan itu, merupakan kewajaran dalam kasus muamalah, bilamana ada pandangan bahwa melanjutkan akad justru dapat berakibat masyaqqah (berat) bagi salah satunya. Namun, karena dalam syuf’ah itu ada harta bersama (mal musyatarak) yang harus mendapatkan perhatian dari kedua pihak (pembeli dan finance), maka diperlukan langkah yang adil dan tidak merugikan semua pihak untuk melakukan negosiasinya. 

Dalam ketetapan mazhab Syafi’i, bila salah satu pihak bermaksud menjual harta kepemilikan syuyu’ yang dimilikinya, maka pihak syarik wajib segera berlaku sebagai syafi’(pengakuisisi) secara otomatis (tsubut). Alhasil, bila pembeli tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka pihak finance wajib berlaku selaku syafi’ (penebus/pengakusisi barang). Orang menyebutnya sebagai penyitaan. Namun, syariat menyebutnya sebagai tsubut (otomatis) disebabkan ikatan akad syuf’ah-nya.

Oleh karena itu, bila disyaratkan dalam jual beli tersebut, bahwa mal musyatarak itu akan disita bila terjadi kasus keterlambatan cicilan oleh pembeli selama 3 bulan, maka penyitaan itu dibolehkan dengan syarat:
  1. Hishah kepemilikan yang dimiliki oleh pembeli terhadap harta musya’ (sepeda), harus mendapat ganti rugi (dlaman). Di dalam akad modern, harta musya’ ini menyerupai akad syirkah musahamah atau ijarah muntahiyah bi al-tamlik.
  2. Adapun penilaian terhadap berapa besar ganti rugi yang harus diberikan oleh finance kepada pihak pembeli yang tidak bisa melanjutkan angsuran, adalah ditetapkan berdasar harga saat terjadi penyitaan (akuisisi) kembali barang oleh finance itu kembali.
  3. Penyitaan dalam konteks ini, kedudukannya disejajarkan dengan kebutuhan untuk akuisisi oleh pihak finance bila syarik-nya berhalangan untuk melunasi tanggungannya.
  4. Suatu misal, jika pihak pembeli sudah mencicil sebesar 13.5 juta, maka itu artinya ia memiliki nisbah kepemilikan sebesar separo barang. Harga dari separo barang ini harus ditetapkan nilainya berdasar harga jual saat terjadi penyitaan (tsaman mitsil).
  5. Biaya melakukan akuisisi, ditanggung oleh pihak yang mengakuisisi terhadap masyfu’ (barang yang diakuisisi/sepeda), yaitu finance.
  6. Boleh bagi pihak leasing menarik biaya sewa penggunaan barang miliknya oleh pembeli, yang dicirikan semakin bertambah angsuran, biaya sewa itu semakin menurun. Akad seperti ini menjadi ciri khas dari ijarah muntahiyah bi al-tamlik atau syirkah mutanaqishah. Namun, keduanya masyhur di kalangan Mazhab Hanafi dan tidak masyhur di kalangan Mazhab Syafi’i.
Tindakan yang dilakukan oleh lembaga finance dalam melakukan penyitaan, namun tanpa disertai akad tebus bersama, adalah sebuah langkah yang tidak adil (dhalim) dan sama dengan telah memakan harta pihak lain secara batil. Ketiadaan keadilan ini yang menyebabkan sebuah lembaga finance bisa jatuh dalam akad ijarah fasidah (sewa jasa yang rusak) yang baik disadari atau tidak, telah mereka lakukan.

Ijarah fasidah terjadi disebabkan:
  1. Penyerahan barang kepada orang lain, dengan upah berupa uang, dan diharapkan barang tersebut kembali pada waktu yang ditetapkan (waktu hulul), maka akad ini adalah termasuk akad ijarah. Ketidakjelasan jatuh temponya waktu kontrak (waktu hulul) tersebut, merupakan ciri khas dari ijarah fasidah (sewa jasa yang rusak)
  2. Akibat penyitaan yang dilakukan pihak finance, maka barang yang diserahkan kepada pembeli dengan harapan akan dimiliki namun dicabut kembali oleh pihak finance, maka kedudukan barang tersebut menjadi sama dengan barang yang dijual dan sekaligus disewa oleh pembeli. Secara tidak langsung, menjadi terdapat akad murakkab (akad ganda) d dalamnya. Tidak sahnya akad ganda sebagaimana tergambar dalam kasus di atas, adalah karena kedua akad sewa dan beli itu bersifat saling tanaqudl (saling membatalkan), sehingga menyebabkan tidak jelasnya akad(tidak maklum), apakah hendak disewa, ataukah hendak dibeli.
  3. Sebuah relasi antara finance dan pembeli bisa disebut ijarah yang benar, manakala memenuhi syarat: (a) jelasnya harga jasa, (b) jelasnya waktu jatuh tempo sewa, (c) pihak penyewa berhak mendapatkan manfaat atas barang yang disewa. Bila sewa ini diakhiri dengan perpindahan hak milik barang kepada penyewa, maka perpindahan kepemilikan ini harus melewati akad baru, seperti hibah atau janji (wa’d) penyerahan kepemilikan.
Wallahu a’lam bish shawab.

Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel