Jual Beli yang Dilarang Syariat (1): Sebab ‘Gharar’
Senin, 20 Juli 2020
Ibnu Rusyd mengklasifikasi bahwa ada dua faktor penyebab rusaknya akad jual beli. Pertama adalah karena faktor dzatiyah (internal) jual beli. Faktor ini disebut juga sebagai sumber pokok rusaknya akad. Setidaknya ada empat hal yang masuk unsur ini, yaitu:
- karena status haramnya barang yang dijual,
- adanya unsur gharar (penipuan),
- adanya unsur riba,
- dan/atau barang yang dijual dihasilkan melalui turunannya riba.
- karena adanya unsur kecurangan (ghabn), seperti tidak bisanya melihat barang yang dijual (al-ghasy) karena ada penghalang antara barang dengan pembeli,
- adanya unsur membahayakan (dlarar),
- karena keharaman melakukan jual beli itu sendiri,
- karena tempat dan waktu melaksanakan jual beli lebih penting dibanding jual beli itu sendiri. Dari kedelepan sebab di atas, ke depan kita akan kupas tiga penyebab utama rusaknya jual beli dalam forum ini, antara lain sebab adanya gharar, adanya dlarar dan karena waktu dan tempat melaksanakan jual beli.
Gharar secara bahasa bermakna bermakna penipuan secara batil. Adapun pengertian secara syara’, adalah:
وجود جهالة ما في البيع أو شك في حصول أحد عوضيه
Artinya: “Terdapatnya unsur tidak mengetahuinya barang dalam jual beli atau keraguan yang muncul dalam mendapatkan salah satu dari dua barang sebagai gantinya harga yang dibayarkan.” (Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’awadlat al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarī’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Nashr bi Jâmi’at al-Qâhirah, tt.: 49)
Ada dua unsur utama penyebab gharar, yaitu: 1) karena tidak mengetahui barang, dan 2) karena terbitnya keraguan atas barang yang menjadi penukar harganya disebabkan adanya dua pilihan yang sulit di-ta’yin (ditentukan). Sebagai contoh, ada dua baju ditaruh dalam gantungan di tempat gelap. Pembeli diminta memilih salah satunya. Barang yang terambil adalah barang yang dibeli. Jual beli seperti ini merupakan contoh dari jual beli yang menimbulkan keraguan disebabkan tidak bisa menta’yin atau mengenal secara pasti terhadap barang yang dibeli.
Ada beberapa model gharar akibat tidak mengetahui barang yang dibeli. Ibnu Rusyd mengklasifikasi model-model gharar akibat tidak mengetahui ini sebagai berikut:
والغرر يوجد في المبيعات من جهة الجهل على أوجه: إما من جهة الجهل بتعيين المعقود عليه، أو تعيين العقد، أو من جهة الجهل بوصف الثمن والمثمون المبيع، أو بقدره أو بأجله إن كان هنالك أجل، وإما من جهة الجهل بوجوده أو تعذر القدرة عليه، وهذا راجع إلى تعذر التسليم، وإما من جهة الجهل بسلامته: أعني بقاءه، وههنا بيوع تجمع أكثر هذه أو بعضها، ومن البيوع التي توجد فيها هذه الضروب من الغرر بيوع منطوق بها وبيوع مسكوت عنها، والمنطوق به أكثره متفق عليه
Artinya: “Gharar yang terdapat dalam transaksi jual beli dengan penyebab tidak mengetahuinya pembeli (juhâlatu al-ba-i’) ada beberapa bentuk:
- adakalanya karena karena faktor tidak mengetahui barang yang dijual,
- tidak mengetahui ketentuan akad,
- tidak mengetahui klasifikasi harga dan barang, atau
- tidak mengetahui kadarnya,
- tidak mengetahui temponya jika di dalam akad tersebut terdapat unsur tempo yang disyaratkan.
- Adakalanya juga karena tidak mengetahui wujud barang,
- sulit menguasai barang, sehingga sulit untuk diserahterimakan,
- Gharar kadang juga disebabkan karena tidak mengetahui sifat selamatnya barang, yakni utuhnya barang.
Maksud dari jual beli manthuq biha adalah jual beli yang ditetapkan haramnya secara nash dan ijma’. Menurut Ibnu Rusyd, ada 13 macam jual beli yang dilarang secara syara’, yaitu:
- Jual beli kandungannya kandungan, misalnya menjual janinnya janin ternak yang masih ada dalam kandungan, semacam Multi level Marketing (MLM)
- Jual beli sesuatu yang belum tercetak (inden)
- Jual beli buah yang belum masak/siap dituai
- Jual beli mulaamasah, yaitu jual beli dengan jalan bahwa barang yang disentuh adalah barang yang dibeli
- Jual beli munabadzah, yaitu jual beli dengan jalan melempar ke barang yang hendak dibeli. Barang yang terkena lemparan, harus dibeli.
- Jual beli dengan kerikil
- Jual beli mu’awamah, yaitu menjual pohon selama beberapa tahun
- Dua akad jual beli di dalam satu akad
- Jual beli dengan syarat
- Jual beli dan pesan
- Jual beli buah yang masih ada ditandan dan belum siap dituai, seperti jual beli anggur yang belum berubah warna kulitnya menjadi hitam.
- Jual beli kandungan hewan
- Jual beli mani hewan
Adapun menurut Imam Malik, jual beli barang yang ghaib ini dinyatakan boleh selagi dirasa aman dari perubahan. Pendapat ini didasarkan pada tradisi penduduk Madinah yang sering melakukan praktik jual beli serupa. Menurut Imam Abu Hanifah, jual beli barang yang ghaib adalah boleh meskipun tanpa bisa ditunjukkan karakteristik barang, dengan catatan ada kebebasan khiyar, yaitu apabila barang sudah berada di hadapan pembeli, pembeli boleh memilih antara setuju dengan membeli barang tersebut sehingga transaksi menjadi terus berjalan, atau memilih tidak setuju dengan barang yang dijual sehingga transaksi dibatalkan.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim