Saat Khalifah Umar Mengkhawatirkan Gereja Menjadi Masjid
Jumat, 17 Juli 2020
Panglima-panglima Khalifah Umar bin Khattab berhasil merebut negeri Palestina tepatnya di Kota Yerusalem pada 636 Masehi dari Heraklitus, Raja imperium besar Romawi Timur. Ketika itu proses selanjutnya ialah perjanjian serah terima dari Romawi Timur ke umat Islam.
Panglima Romawi dan Patriarch (Uskup Agung) Sophronius meminta agar perjanjian penyerahan Kota Yerusalem itu ditandatangani langsung oleh Khalifah Umar bin Khattab. Awalnya, permintaan tersebut ditolak oleh Panglima Abu Ubaidillah bin Jarrah dan Panglima Khalid bin Walid beserta pasukan Muslim. Namun, dengan kebijaksanaannya, Khalifah Umar bin Khattab menyetujui permintaan tersebut.
Setelah selesai penandatanganan perjanjian penyerahan Kota Yerusalem, tibalah waktu shalat dzuhur. KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya Berangkat dari Pesantren (2013) mencatat bahwa Patriarch Sophronius menawarkan kepada Khalifah Umar bin Khattab untuk menunaikan shalat di Gereja Sepulchre. Gereja tersebut merupakan tempat paling suci dalam pandangan orang-orang Kristen Romawi.
Tetapi Khalifah Umar tidak berkenan dan menyampaikan penolakan dengan halus. Umar bin Khattab berkata, “Kalau saya shalat di situ, dikhawatirkan di kemudian hari umat Islam merampas gereja Tuan untuk dijadikan masjid.” (KH Saifuddin Zuhri, 2013: 689)
Sikap penolakan Khalifah Umar bukan ditujukan pada persoalan lokasi shalat, melainkan ia memikirkan hal yang lebih besar dan maslahat, yaitu agar gereja tersebut tidak dirampas untuk dijadikan masjid karena alasan pemimpin besar umat Islam pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Khalifah Umar patut memikirkan hal tersebut karena hubungan antar-agama harus tetap baik di tengah suasana konflik saat itu.
Tentang sosok Khalifah Umar bin Khattab, sejarawan muslim, Muhammad Husain Haekal memberikan kesaksian. Haekal berkata, “Dialah Umar ibn al-Khaththâb, lelaki agung yang namanya semerbak harum dalam sejarah besar umat Nabi Muhammad. Umar adalah sahabat Rasulullah yang paling cemerlang, sang inspirator umat Islam, hamba yang takwa kepada Rabb-nya.” (Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, 2016)
Umar bin Khattab adalah sosok besar yang menata sejarah besar. Di tangan seorang khalifah Umar, Islam telah menjelma ‘imperium’ adiluhung dalam tempo waktu yang tak lebih dari sepuluh tahun, yang mampu menaklukkan negeri-negeri legendaris, meruntuhkan imperium agung Persia, juga mengguncang keberadaan imperium masyhur Bizantium.
Islam pun pada akhirnya memiliki wilayah kekuasaan yang membentang luas mulai dari Cerynecia (Tripoliana), Mesir, Nubia, Levantina atau Mediterania Timur (Syam; sekarang wilayahnya meliputi Syria, Lebanon, Yordania, dan Palestina), Anatolia, hingga Persia.
Sebab itulah, sosok Umar kerap disebut sebagai seorang ‘Kaisar’ yang setara dengan Alexander Agung, Kaisar Macedonia, dan Cyrus The Great, Kaisar Persia, dua emperor besar dunia pada zamannya, yang kebesaran serta kekuasaannya malang melintang di seantero jagat.
Namun demikian, jangan pernah membayangkan jika kehidupan Umar layaknya para Kaisar pada umumnya, sebuah potret kehidupan yang bergelimang duniawi sebagaimana yang diceritakan oleh epik-epik sejarah.
Umar tetap hidup sederhana dan bersahaja, ketika takwa adalah cita-cita utamanya, ketika Allah jauh lebih ia cintai dari segala isi dunia, ketika Rasulullah adalah teladan abadinya, dan ketika kebahagiaan, dan kesejahteraan rakyat banyak adalah impiannya.
Hati dan akhlak Umar jauh lebih besar dari nama besarnya, jauh lebih luas dari wilayah kekuasaan dan taklukan-taklukannya, jauh lebih mulia dari kemuliaan yang diberikan orang-orang kepadanya. Hal ini bukan karena apa-apa, tetapi karena Umar lebih mengedepankan ketakwaan di atas segalanya.
Bagi Umar bin Khattab, ketakwaan ini bukan hanya mempertebal keshalihan vertikal kepada Allah, tetapi juga keshalihan sosial kepada rakyat yang dipimpinnya, apapun suku, agama, dan kelompoknya. Tenggang rasa terhadap seluruh rakyatnya bagi Umar merupakan upaya mewujudkan ketakwaan kepada Allah.