Praktik Jasa Pendidikan yang Haram sebab Money Game


Awal mula pendidikan (tarbiyah) itu muncul, adalah sami’na wa atha’na, yaitu kami mendengar dan kami patuh. Konsepsi ini kemudian dikenal dengan istilah doktrin. Relasi pendidikan ala doktrin ini, mewujud dalam relasi guru-murid sebagai satu arah. Guru menyampaikan sesuatu yang diakui sebagai suatu ajaran kebenaran mutlak (absolut) kepada murid atau para sahabat (ashab). Teori ini berkembang dari ajaran Baginda Nabi shallalallahu ‘alaihi wasallam ketika menyampaikan suatu ajaran kepada para sahabat. Bahkan dalam relasi antara Nabi dengan Malaikat Jibril, dan Allah SWT dengan Malaikat Jibril, seluruhnya ditengarai dengan relasi sami’na wa atha’na, kami mendengar dan kami patuh.

Di kalangan umat nabi-nabi dan rasul terdahulu, seperti Nabi Isa alaihissalam dengan kaum Nashrani yang berjumlah 12 orang dan antara Nabi Musa dengan kaum Bani Israil yang lari dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya, pola relasi pendidikan yang dsampaikan oleh nabi-nabi tersebut adalah relasi sami’na wa atha’na. Output yang dihasilkan dari relasi ini, oleh KH Muhammad Hasyim Asy’ari rahimahullahu ta’ala dilabeli sebagai relasi pendidikan ilmu al-huda (ilmu petunjuk). Mengapa? Karena di dalam relasi tersebut, yang disampaikan adalah semata merupakan wahyu yang bersifat suprarasional dan absolut. Tidak ada tawar-menawar di dalamnya seiring legitimasi yang disematkan oleh Syari’ (Allah) terhadap Baginda Nabi shalllallahu ‘alaihi wasallam adalah semata-mata merupakan wahyu.

وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى


“Tiada apa yang diucapkan oleh Nabi adalah karena menuruti keinginan (hawa nafsu), melainkan ia merupakan wahyu yang disampaikan.”

Karena ajaran yang disampaikan bersifat absolut muthlaq, maka bagi pihak yang tidak patuh (taat) dalam relasi tersebut, ada ancaman berupa sanksi (punishment), yaitu masuk neraka atau azab yang pedih. Bagi pihak yang melakukan ketaatan, maka ada imbal prestasinya yaitu berupa jannah (surga). 

Visi yang ada dalam relasi penyampaian ilmu al-huda ini adalah semata dakwah seruan untuk menuju keteraturan yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Oleh karenanya, wilayah pokok yang menjadi inti ajarannya adalah senantiasa berkaitan dengan aspek vertikal (imanen), yaitu keyakinan dan kepercayaan.

Karena syarat dengan hal yang bersifat imanen, maka tidak ada relasi upah (ujrah) di dalamnya sebab penyampaiannya merupakan perintah langsung dari Syari’ (Allah).

اتَّبِعُوا مَن لَّا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ


“Ikutilah orang yang tidak meminta upah kepada kalian, dan mereka adalah orang yang mendapatkan petunjuk” (QS Yasiin [36]: 21).

Ketiadaan relasi upah ini disebabkan karena al-Hadi (pihak yang memberi petunjuk) merupakan orang yang terkena khithab (perintah) yang bersifat absolut/muthlaq untuk menyampaikan petunjuk sehingga wajib baginya menjalankan. Jika tidak menjalankan maka berdosa sebab menyembunyikan ilmu (kitman). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من سئل عن علم فكتمه ألجمه الله يوم القيامة بلجام من نار


“Barang siapa ditanya suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka kelak Allah akan mengekangnya di hari kiamat dengan tali kekang yang terbuat dari api neraka” (HR Abu Dawud dengan sanad dari Sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu)

Kendati hadits di atas disampaikan dengan kalam khabar (kalimat berita), namun menyimpan makna kalam insya’i (kalimat berisi anjuran menunaikannya). Namun, perintah yang terkandung di dalamnya adalah bersifat muthlaq dan ‘am (umum) dengan ciri khas isim nakirah pada diksi ilmin. Oleh karena itu, kalam insya’ tersebut masih memungkinkan adanya taqyid (pembatasan) dan takhshish (mengarahkan ke pengertian khusus) apabila dijumpai dalil lain yang bersifat khas dan muqayyad (membatasi). Misalnya, keberadaan hadits Muadz bin Jabal sebaga berikut:

 كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم عَلى حِمارٍ يُقالُ لَهُ عُفَيْرٌ، فَقَالَ: يَا مُعاذُ هَلْ تَدْري حَقَّ اللهِ عَلى عِبادِهِ وَما حَقُّ الْعِبادِ عَلى اللهِ قُلْتُ اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّ حَقَّ اللهِ عَلى الْعِبادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ الْعِبادِ عَلى اللهِ أَنْ لا يُعَذِّبَ مَنْ لا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا فَقُلْتُ يا رَسُولَ اللهِ: أَفَلا أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ قَالَ: لا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا) متفق عليه


“Suatu kali aku dibonceng oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas sebuah himar yang bernama ‘ufair. Kemudian beliau bersabda: Muadz, tahukah kamu, apa haq Allah atas hamba-Nya dan apa haq hamba atas Allah SWT? Aku menjawab: Hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui akan hal itu. Beliau lantas bersabda: Sesungguhnya haq Allah atas hamba-Nya adalah disembah dan tidak disekutukan dengan selain-Nya. Adapun haq hamba terhadap Allah SWT adalah tidak disiksa bila tidak menyekutukan-Nya. Aku berkata: Ya Rasulullah, bolehkah saya memberitahukan kabar gembira ini kepada manusia? Rasulullah bersabda: Jangan kau beri kabar mereka sehingga mereka bertawakkal kepadamu!” (HR al-Bukhari-Muslim).

Maksud dari hadits di atas adalah bahwa tidak semua pengetahuan (ilmu) itu boleh disampaikan. Terkadang ilmu hanya bisa disampaikan bila pihak yang menimba ilmu itu memasrahkan diri kepada pihak yang bisa menunjukkan ketidaktahuannya. Jika suatu ilmu ditunjukkan kepada orang yang tidak menunjukkan akan kapasitasnya menerima ilmu, maka justru menunjukkannya kadang malah berujung pada keburukan atau fitnah. Sekali lagi, ilmu semacam ini sering dikenal sebagai ilmu al-huda (ilmu petunjuk) yang kuncinya ada pada diksi samina wa atha’na, dengan ciri khas penyampainya adalah orang yang tidak mengambil ujrah (upah) dari penyampaiannya.

Masalahnya kemudian adalah, ilmu itu ada 3, yaitu (1) ilmu yang berkaitan dengan akhirat, (2) ilmu yang berkaitan dengan dunia, dan (3) ilmu yang berkaitan dengan dunia dan akhirat. Syekh Sulaiman Al-Zarnuji di dalam kitab beliau, Ta’lim al-Muta’allim, menjelaskan bahwa Ilmu yang berkaitan dengan akhirat adalah ilmu yang hukumnya fardlu ain untuk dipelajari, sebab ada hubungannya dengan kewajiban mukallaf. Seperti, ilmu bersuci, shalat, zakat, puasa dan haji. Ilmu yang berkaitan dengan duniawi adalah ilmu berdagang, kehakiman, pemerintahan, dan lain-lain yang tujuan dasarnya adalah mencari keuntungan dunia. Adapun ilmu yang berkaitan dengan dunia dan akhirat, misalnya adalah ilmu tentang munakahah, menjadi qadli, kepemimpinan, ilmu hisab, dan tata cara berdagang menurut konteks syariat.

Baik ilmu yang masuk kategori kedua maupun yang ketiga, disatukan akan adanya visi ke depannya yaitu berupa pribadi yang siap mendapatkan keuntungan material. Keuntungan ini bisa disimbolkan sebagai keuntungan duniawi dan ukhrawi.

Karena adanya visi mendapatkan keuntungan ini, maka terbitlah yang dinamakan lembaga jasa pendidikan yang berbasis akad ijarah dengan beragam variasinya. Ada yang murni berorientasi duniawi, namun tidak sedikit pula yang berorientasi pada duniawi dan ukhrawi. Masuk ke dalam lembaga pendidikan model seperti ini, sudah pasti dengan niat dan akad awal yaitu ijarah (sewa jasa pendidikan).

Jika materi yang disampaikan berkaitan dengan duniawi saja, maka jasa yang dipesan saat masuk adalah ijarah maushufah fi al-dzimmah (ijarah salam). Ciri khasnya adalah (1) kategori lulusannya harus jelas. Jika fakultasnya adalah ekonomi, maka output-nya haruslah berupa orang yang sudah digodok dan diberi pemahaman mengenai ekonomi.

Adanya upaya memberi pemahaman ini, menandakan adanya kulfah atau kerja lembaga, sehingga ia berhak mendapatkan ujrah (upah) dari peserta didiknya.

Namun, beberapa instansi pendidikan terkadang ada yang tidak menyelenggarakan dasar pendidikan dan pembelajaran itu. Oleh karenanya tidak ada kulfah (kerja) di dalamnya. Jika yang terjadi adalah pola semacam, maka tak ayal lagi bahwa telah terjadi praktik gharar (penipuan) dan ghabn (kecurangan) di dalamnya. Orientasi peserta didik hanya tertuju pada sertifikat/ijazah keahlian, yang dalam fiqihnya sejatinya sertifikat itu menempati kedudukan sebagai bonus (ju’lu). Mengapa? Sebab dalil asal pendidikan dan pembelajaran adalah pada pengondisian peserta didik dalam situasi siap diajari sebuah keahlian, dibimbing dan diarahkan untuk mendalaminya.

Oleh karena itu, mengikuti atau menyelenggarakan aktivitas pendidikan dengan hanya berorientasi pada janji diberi sertifikat keahlian tanpa adanya kulfah (beban bimbingan belajar), hukumnya adalah haram sebab tersimpan makna unsur jahalah (ketidaktahuan) dan bahkan bisa diserupakan dengan money game yang hukumnya haram, khususnya bila ada indikasi praktik lain berupa arisan berantai. Memangnya ada?

Suatu misal, agar jumlah peserta didik yang terdaftar di lembaga yang menjanjikan sertifikat keahlian itu meningkat pesat, mereka menyebarkan sebuah brosur kepada peserta didik lain yang sudah mendaftar duluan. Pihak ini kita sebut sebagai pihak referral. Bila ada pihak yang mendaftar lewat program referral semacam ini, maka pihak referralnya mendapatkan bonus dari setiap peserta didik yang mendaftar lewat dirinya sebesar 30% dari uang pendaftaran yang diserahkan oleh calon siswa tersebut.

Nah, apakah cara seperti ini hukumnya adalah boleh? Tentu hal semacam adalah boleh jika lembaga pendidikan itu memang benar-benar melaksanakan aktivitas pendidikan, alias tidak hanya menjanjikan ijazah. Namun, bila ternyatadi lembaga pendidikan itu hanya menjanjikan ijzah, tanpa adanya kerja pendidikan dan pembelajaran, atau basic pendidikannya hanya dilaksanakan sebulan sekali, atau satu semester sekali, maka tak ayal lagi, bahwa praktik semacam adalah termask money game dengan kemasan produk pendidikan. Jika peserta didik yang dididik dalam balutan situasi khusus dan reguler saja susah untuk mendapatkan keahlian, maka bagaimana mungkin yang hanya sebulan sekali masuk, atau satu semester sekali, tanpa ada media kendali mutu, bisa mendapatkan keahlian?

Apa pun bentuk lembaga pendidikan itu, baik sekolah atau lembaga kursus keahlian, sebuah “sertifikat” hanya bisa diberikan, manakala ada upaya mendidik dan mengajari. Tanpa keberadaannya, maka tidak ada aktivitas transfer pengetahuan dan keahlian. Karena sertifikat merupakan bukti (syahadah) suatu keahlian, menerbitkan sesuatu yang bukan keahlian adalah termasuk tindakan penipuan dan kecurangan. Alhasil, hukumnya adalah haram. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel